Tak Ada Dasar
Menyikapi diskresi yang akan diambil gubernur, Pengamat Anggaran Elfenda Ananda mengatakan, penerbitan Pergub atas penolakan penandatanganan KUA-PPAS PAPBD tidak memiliki dasar hukum. Karenanya Edy diminta bersama TAPD untuk duduk lagi dengan Banggar DPRD Sumut membahas hal tersebut. “Kalau dia (Gubsu) mau buat Pergub, tentu pagu anggarannya harus ikut yang lama (APBD murni). Artinya, ya tidak ada perubahan sama sekali, jadi buat apa ada Pergub?” katanya.
Dijelaskan dia, ada dua asumsi yang terbangun dari P-APBD. Dimana jika ada perkiraan uang berlebih, akan ada penambahan proyek atau kegiatan. Sebaliknya, jika pendapatannya tidak mencapai target, maka akan dilakukan rasionalisasi. “Tren biasanya P-APBD Sumut terjadi penambahan. Karena target yang dibuat sejak APBD murni memang didesain ada penambahan saat perubahan,” katanya.
Mantan Sekretaris Fitra Sumut ini menambahkan, di sinilah sebenarnya seni berpolitik Edy dan Ijeck diuji. Sebab mereka tidak akan bisa berjalan mengendalikan pemerintahan jika tidak beriringan dengan legislatif. “Sesuai UU, APBD itu disusun dan dibahas secara bersama-sama antara eksekutif dan legislatif. Tidak bisa pakai gaya otoriter berjalan sendiri-sendiri. Inilah seninya berpolitik sebab jabatan dia dipilih dari proses politik,” katanya.
Soal bagaimana kompromi kepala daerah dan wakil rakyat mengenai alokasi anggaran yang mau diakomodir, menurut Elfenda, seperti halnya permintaan dana bansos oleh legislatif, tentu Edy harus punya trik jitu mencari jalan tengah terbaik. “Kalau mau tegas dalam APBD umpamanya, gubernur tinggal sampaikan kepada dewan apa dasar hukum untuk penganggaran bansos atau dana hibah. Kalau memang ada kemudian penerimanya jelas, berarti tidak masalah jika dianggarkan. Sebenarnya mudah saja kalau gubernur tidak pakai gaya otoriter,” katanya.
Apalagi memasuki tahun politik seperti ini, sambungnya, gubernur harus memahami kondisi tersebut secara bijak. Artinya para legislatif saat ini banyak kebutuhan dan kepentingan konstituennya masing-masing. “Cuma harus ada dasar yang kuat juga. Kan ada aturan mainnya. Ada verifikasi penerima bansos dan lainnya. Sebab kita tidak mau mengulangi sejarah yang pernah dibuat Gatot (Gubsu sebelumnya), berdasarkan selera politik. Kalau memang mau menghambat DPRD dalam hal bansos, bisa saja Gubsu minta alasan dan argumentasi seperti penerima yang sudah terverifikasi,” paparnya.
Artinya kebijakan tersebut imbuh dia akan terasa sia-sia, sebab anggaran yang ada tetap memakai APBD murni yang telah disahkan sebelumnya. “Jika nanti ada kelebihan anggaran Rp300 juta sampai Rp400 juta di akhir tahun, maka itu akan jadi SiLPA sebab memang tidak disetujui. Tinggal masyarakat yang menilai kinerja eksekutif dan legislatifnya,” pungkasnya. (bal/prn)