Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri menyatakan, terlalu dini jika Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan suap itu dilakukan sendiri oleh jaksa Fauzi. Jaksa Agung terkesan memagari dan berusaha melokalisir agar kasus itu tidak menyeret pejabat Kejati Jatim.
Padahal, kata dia, tidak menutup kemungkinan atasan Fauzi terlibat dalam suap yang nilainya cukup besar itu. Baik itu pejabat yang langsung di atasnya atau pujuk pimpinan Kejati Jatim. Apalagi Fauzi hanya jaksa biasa yang tidak mungkin bermain sendiri. Dia tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan kebijakan. Selain itu, penanganan perkara surat tanah itu juga ditangani tim, bukan Fauzi sendiri. “Jaksa Agung jangan terburu-buru menyatakan pelakunya tunggal. Didalami dulu untuk mencari keterlibatan pihak lain,” papar dia.
Apalagi, informasinya Fauzi sudah pernah menerima uang suap sebelumnya. Uang itu kabarnya sudah mengalir ke beberapa orang. Berarti ada indikasi banyak pejabat kejaksaan yang terlibat.
Dia mengaperasiasi Jaksa Agung yang menangkap anak buahnya itu. Namun, penanganan kasus itu harus transparan. Jangan sampai ada pejabat yang dilindungi dan mengorbankan jaksa biasa. Semua yang terlibat, baik atasan Fauzi maupun pucuk pimpinan Kejati Jatim harus ditindak. Selama ini, jaksa Fauzi dikenal dekat dan menjadi kepercayaan petinggi Kejati Jatim. “Nilai suapnya besar. Tidak mungkin dia bermain sendiri,” papar Febri kemarin (25/11).
Jika Jaksa Agung memang ingin membersihkan institusinya, maka semua anak buahnya yang terlibat harus ditindak. Diproses secara hukum. Selain itu penangkapan jaksa nakal tidak boleh berhenti di sini saja. Ketika ada jaksa yang bermain-main dan melakukan pemerasan terhadap pihak berperkara, maka mereka juga harus ditangkap dan dihukum. Dengan cara itu tidak ada lagi jaksa nakal.
Emerson Yuntho, peneliti ICW yang lain menyatakan, tindakan suap yang dilakukan jaksa tidak sekali ini saja. Sudah beberapakali jaksa tertangkap menerima suap. “Artinya fungsi pengawasannya tidak berjalan,” terang dia kemarin.
Selain menindak jaksa yang melakukan pelanggaran, Jaksa Agung Prasetyo harus diganti. “Agar jaksa yang ditangkap tidak semakin banyak. Maka Jaksa Agung sudah saatnya diganti,” papar dia. Presiden Joko Widodo tidak boleh segan-segan mencopot Prasetyo. Menurut dia, butuh reformasi total di tubuh kejaksaan. Jika Jaksa Agung tidak diganti, sulit rasanya berharap kejaksaan bisa bersih dari kepentingan politik.
Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu menilai operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat jaksa Ahmad Fauzi merupakan bukti bahwa belum ada institusi penegak hukum yang secure dari pungutan liar (pungli) dan perilaku korup lainnya. Kondisi itu pun semakin mencemari penegakkan hukum secara keseluruhan. ”Sebenarnya kita tidak ingin kondisi ini (penegakan hukum, Red) dicemari,” ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin.
Sampai saat ini, pengaduan dari masyarakat terkait kinerja jaksa terus meningkat. Hingga Juni 2016, Ombudsman menerima 58 laporan yang berkaitan dengan buruknya kinerja kejaksaan. Jumlah tersebut menunjukan tren peningkatan bila dibanding 2015, yakni sebanyak 92 kasus. ”Indikasinya memang meningkat, kami akan merilis lagi jumlah itu (pengaduan kinerja kejaksaan, Red),” jelasnya.
Ninik mengatakan, indikator belum maksimalnya reformasi birokrasi kejaksaan itu menunjukan belum berjalannya fungsi pengawasan internal lembaga bersangkutan. Bila tidak ada gebrakan, praktik culas yang melibatkan para jaksa akan terus terjadi sampai kapanpun. Hal itu tidak lepas dari kewenangan kejaksaan yang sangat besar di mata rantai penegakkan hukum. ”Lagi-lagi memang pengawas internal yang harus berjalan,” tegas mantan anggota komnas perempuan ini.
Kejaksaan harus memiliki komitmen kuat untuk berbenah diri. Menurut Ninik, beberapa langkah bisa dilakukan korps adhyaksa tersebut. Salah satunya, merekonstruksi sistem rekrutmen jaksa. Penjaringan tersebut mestinya tidak hanya mengedepankan intelijensi calon jaksa, tapi juga integritas. ”Yang harus dibenahi adalah sistemnya,” paparnya.
Sistem yang baik, lanjut Ninik, nantinya akan melahirkan jaksa yang berintegritas. Pembenahan itu juga memberikan harapan positif bagi masyarakat yang saat ini cenderung pesimistis dengan penegakkan hukum. ”Sistemnya bisa melahirkan pemimpin (kejaksaan, Red) yang baik juga,” imbuhnya. (idr/lum/tyo/jpg)

