24 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

14 Perusahaan Gulung Tikar, Dampak Permen KP 71/2016

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen – KP) Nomor 71 tahun 2016, sebanyak 14 perusahaan gulung tikar dan ribuan pekerja dirumahkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB).

Ketua Assosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB), M Gultom, mengatakan, kebijakan pemerintah mengatur tentang larangan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik yang tertuang dalam Permen KP 71/2016, sangat merugikan segala sektor di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB).

Selama tiga bulan belakangan, dari 628 jumlah kapal ikan yang ada, sebanyak 70 persen kapal ikan tidak boleh lagi melaut. Akibatnya, ribuan nelayan dan karyawan dari perusahaan pendukung di Gabion Belawan dirumahkan atau menganggur, distribusi es dan bahan bakar minyak (BBM) menurun serta pasokan ikan didistribusikan untuk kebutuhan masyarakat menurun.

“Bayangkan saja, ada 10 perusahan ikan dan 4 perusahaan penyalur BBM dengan total 14 perusahaan di Gabion Belawan sudah gulung tikar. Karena dampak dari Permen KP 71/2016 melumpuhkan aktivitas perekonomian, sehingga perusahaan yang ada merumahkan ribuan nelayan dan karyawan,” ungkap M Gultom.

Selain itu, dari data yang mereka terima ada sebanyak 4 perusahaan terancam gulung tikar. Artinya, dampak keterpurukan secara ekonomi akan terus dialami para pengusaha, nelayan dan pekerja yang ada di Gabion Belawan. Sehingga, imbas dari Permen KP 71/2016 akan terus berdampak pendapatan asli daerah (PAD) dari hasil pungutan hasil perikanan.

“Secara umum, pergudangan ikan, pabrik es, penyalur BBM, pedagang, nelayan dan karyawan sangat merasakan dampak ini sejak 3 bulan belakangan. Seharusnya, pemerintah harus melakukan kajian terhadap imbas yang merugikan segala sektor di Sumatera Utara khususnya Belawan,” tegas M Gultom didampingi Sekretarisnya, Alfian MY.

Dampak lain yang menjadi masalah, kata pria berusia 53 tahun ini, pasokan ikan menurun dalam kurun pertahunnya, pada tahun 2015 pasokan ikan mencapai 50.801,63 ton, pada tahun 2016 pasokan ikan mencapai 30.615,72 ton dan tahun 2017 pasokan ikan mencapai 28.709,33 ton. Penyebabnya, banyak kapal ikan dengan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik tidak boleh melaut.

“Kita bukan tidak mendukung aturan Permen KP 71/2016, tapi kenapa sampai saat ini pengganti alat tangkap larangan itu belum juga dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Sehingga, banyak yang dirugikan, seharusnya pemerintah pusat memberikan toleransi untuk memberikan kapal – kapal ini untuk melaut, sebelum alat tangkap pengganti diterbitkan,” ujar M Gultom.

Harapannya, kepada pemerintah daerah harus mampu mendorong dan memberikan solusi kepada pemerintah pusat, untuk membolehkan kapal yang dilarang melaut, mengingat dampak pengangguran dan kerugian secara ekonomi terus dirasakan di Gabion Belawan.

“Lihat sekarang ini, dampak pengangguran terjadi, tingkat kriminalitas meningkat. Banyak nelayan yang dirumahkan, harus melakukan tindakan di luar sehat, mereka sudah lapar terpaksa merampok, itu sudah ada beberapa kejadian di sekitaran Gabion Belawan. Kami, berharap kepada gubernur untuk bisa peduli melihat dampak yang terjadi, agar nelayan untuk diperobolehkan melaut sebelum alat tangkap pengganti diterbitkan,” pinta Gultom.

Seorang nelayan, Yadi Sitorus yang kini menganggur sejak tiga bulan belakangan, harus merasakan keseharian tanpa kerja dan pendapatan. Bahkan, pria berusia 31 tahun ini harus hidup luntang lantung di sekitaran Gabion Belawan.

“Aku sudah tiga bulan tidak lagi melaut, karena kapal tidak boleh berangkat. Jadi, aku kerja apa adanya disini, kadang aku mancing. Mau pulang ke kampung di Kisaran malu, karena tidak ada uang. Harusnya, pemerintah memikirkan nasib yang kami alami ini, agar kami tidak melaut,” ungkap Yadi.

Terpisah anggota DPRD Sumut, Sutrisno Pangaribuan, menegaskan, pemerintah Sumatera Utara melalui gubernur harus mancari solusi kepada Menteri Kelautan Perikanan. Sehingga, dapat merumuskan solusi yang dihadapi nelayan di Sumatera Utara.

“Peraturan yang dikeluarkan, banyak menimbulkan masalah. Ada nelayan yang mendukung dan menolak, sehingga di dua sisi nelayan ada yang dirugikan dan diuntungkan. Makanya, kita minta gubernur dan Ketua DPRD Sumut, untuk saling kordinasi menjelaskan masalah ini ke menteri,” kata Sutrisno.

Harapan politisi PDI Perjuanga ini, seluruh komponen yang terlibat dalam pemecahan masalah itu, harus menampung seluruh aspirasi nelayan. Maka, pimpinan daerah dapat membicarakan masalah nelayan Sumatera Utara ke menteri, makanya perlu dilakukan rapat konsultasi, sebelum menjumpai menteri. (fac/ila)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen – KP) Nomor 71 tahun 2016, sebanyak 14 perusahaan gulung tikar dan ribuan pekerja dirumahkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB).

Ketua Assosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB), M Gultom, mengatakan, kebijakan pemerintah mengatur tentang larangan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik yang tertuang dalam Permen KP 71/2016, sangat merugikan segala sektor di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB).

Selama tiga bulan belakangan, dari 628 jumlah kapal ikan yang ada, sebanyak 70 persen kapal ikan tidak boleh lagi melaut. Akibatnya, ribuan nelayan dan karyawan dari perusahaan pendukung di Gabion Belawan dirumahkan atau menganggur, distribusi es dan bahan bakar minyak (BBM) menurun serta pasokan ikan didistribusikan untuk kebutuhan masyarakat menurun.

“Bayangkan saja, ada 10 perusahan ikan dan 4 perusahaan penyalur BBM dengan total 14 perusahaan di Gabion Belawan sudah gulung tikar. Karena dampak dari Permen KP 71/2016 melumpuhkan aktivitas perekonomian, sehingga perusahaan yang ada merumahkan ribuan nelayan dan karyawan,” ungkap M Gultom.

Selain itu, dari data yang mereka terima ada sebanyak 4 perusahaan terancam gulung tikar. Artinya, dampak keterpurukan secara ekonomi akan terus dialami para pengusaha, nelayan dan pekerja yang ada di Gabion Belawan. Sehingga, imbas dari Permen KP 71/2016 akan terus berdampak pendapatan asli daerah (PAD) dari hasil pungutan hasil perikanan.

“Secara umum, pergudangan ikan, pabrik es, penyalur BBM, pedagang, nelayan dan karyawan sangat merasakan dampak ini sejak 3 bulan belakangan. Seharusnya, pemerintah harus melakukan kajian terhadap imbas yang merugikan segala sektor di Sumatera Utara khususnya Belawan,” tegas M Gultom didampingi Sekretarisnya, Alfian MY.

Dampak lain yang menjadi masalah, kata pria berusia 53 tahun ini, pasokan ikan menurun dalam kurun pertahunnya, pada tahun 2015 pasokan ikan mencapai 50.801,63 ton, pada tahun 2016 pasokan ikan mencapai 30.615,72 ton dan tahun 2017 pasokan ikan mencapai 28.709,33 ton. Penyebabnya, banyak kapal ikan dengan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik tidak boleh melaut.

“Kita bukan tidak mendukung aturan Permen KP 71/2016, tapi kenapa sampai saat ini pengganti alat tangkap larangan itu belum juga dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Sehingga, banyak yang dirugikan, seharusnya pemerintah pusat memberikan toleransi untuk memberikan kapal – kapal ini untuk melaut, sebelum alat tangkap pengganti diterbitkan,” ujar M Gultom.

Harapannya, kepada pemerintah daerah harus mampu mendorong dan memberikan solusi kepada pemerintah pusat, untuk membolehkan kapal yang dilarang melaut, mengingat dampak pengangguran dan kerugian secara ekonomi terus dirasakan di Gabion Belawan.

“Lihat sekarang ini, dampak pengangguran terjadi, tingkat kriminalitas meningkat. Banyak nelayan yang dirumahkan, harus melakukan tindakan di luar sehat, mereka sudah lapar terpaksa merampok, itu sudah ada beberapa kejadian di sekitaran Gabion Belawan. Kami, berharap kepada gubernur untuk bisa peduli melihat dampak yang terjadi, agar nelayan untuk diperobolehkan melaut sebelum alat tangkap pengganti diterbitkan,” pinta Gultom.

Seorang nelayan, Yadi Sitorus yang kini menganggur sejak tiga bulan belakangan, harus merasakan keseharian tanpa kerja dan pendapatan. Bahkan, pria berusia 31 tahun ini harus hidup luntang lantung di sekitaran Gabion Belawan.

“Aku sudah tiga bulan tidak lagi melaut, karena kapal tidak boleh berangkat. Jadi, aku kerja apa adanya disini, kadang aku mancing. Mau pulang ke kampung di Kisaran malu, karena tidak ada uang. Harusnya, pemerintah memikirkan nasib yang kami alami ini, agar kami tidak melaut,” ungkap Yadi.

Terpisah anggota DPRD Sumut, Sutrisno Pangaribuan, menegaskan, pemerintah Sumatera Utara melalui gubernur harus mancari solusi kepada Menteri Kelautan Perikanan. Sehingga, dapat merumuskan solusi yang dihadapi nelayan di Sumatera Utara.

“Peraturan yang dikeluarkan, banyak menimbulkan masalah. Ada nelayan yang mendukung dan menolak, sehingga di dua sisi nelayan ada yang dirugikan dan diuntungkan. Makanya, kita minta gubernur dan Ketua DPRD Sumut, untuk saling kordinasi menjelaskan masalah ini ke menteri,” kata Sutrisno.

Harapan politisi PDI Perjuanga ini, seluruh komponen yang terlibat dalam pemecahan masalah itu, harus menampung seluruh aspirasi nelayan. Maka, pimpinan daerah dapat membicarakan masalah nelayan Sumatera Utara ke menteri, makanya perlu dilakukan rapat konsultasi, sebelum menjumpai menteri. (fac/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/