26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Belajar Transplantasi Hati di Internet

“Demi kesembuhan Aquila, saya rela mendonorkan hati saya. Saya sudah tahu risikonya, berbagai pengetahuan tentang pendonoran hati lewat internet dan sesekali diskusi dengan dokter telah saya lakukan. Tingkat keberhasilannya cukup tinggi, 1000:1. Dan, saya sudah siap.”

Puput Julianti Damanik, Medan

ATRESIA BILLIER: Khairani Parinduri (kiri)  keponakannya, Aquila Qatrunnadha Parinduri,  menderita Atresia Billier itu.//istimewa for sumut pos
ATRESIA BILLIER: Khairani Parinduri (kiri) dan keponakannya, Aquila Qatrunnadha Parinduri, yang menderita Atresia Billier itu.//istimewa for sumut pos

Khairani Parinduri (24) sudah menganggap Aquila Qatrunnadha Parinduri (2) sebagai anaknya sendiri. Bahkan aktivitas sehari-harinya saat ini hanya dihabiskan untuk mengurus bayi penderita Atresia Billier itu. Ya,, anak dari abang kandungnya, Khairul Asyahri Parinduri (27) dan kakak iparnya Soraya (27) tersebut.

Setelah Aquila dinyatakan menderita penyakit langka tersebut, tepat 9 bulan yang lalu, Khairani bersama kedua orangtuanya (opung Aquila) langsung merawatnya. Pasalnya, kedua orangtua Aquila harus tetap menjalankan pekerjaannya mencari dana untuk perobatan Aquila di kediamannya di Batubara. Karena alasan jauh dari kota, Aquila pun dirawat di Galang.

Keseharian Khairani hanya berdagang membantu ayahnya, Husin Parinduri. Namun setelah Aquila dirawat di rumahnya di Petumbukan, Kecamatan Galang, Deliserdang, Khairani memutuskan untuk berhenti bekerja. Dia pun rutin menemani keseharian keponakan satu-satunya tersebut.
Kecintaannya kepada keponakannya juga dibuktikannya dengan mendonorkan hatinya kepada Aquila. “Tepat sembilan bulan yang lalu, kita melakukan pemeriksaan Aquila dan ia dinyatakan menderita Bilier Atresia. Setelah itu, dokter menyarankan untuk melakukan  operasi transplantasi hati dan disarankan ayahnya yang satu golongan darah dengan Aquila untuk mendonorkan hatinya. Namun, karena tidak profesional dan kondisi kesehatan, organ tubuh, hati abang saya tidak bisa,” katanya.

Untuk itu, ia pun langsung memutuskan untuk menggantikan abangnya untuk mendonorkan hati kepada Aquila. “Karena kebetulan golongan darah saya sama, saya langsung memutuskan agar hati saya saja yang didonorkan untuk Aquila. Saya rela demi kesembuhan Aquila,” ujarnya.

Lanjutnya, setelah melakukan diskusi bersama keluarga, akhirnya, Khairani pun melakukan check-up pada Januari 2013 lalu di RSCM di Jakarta. “Periksa darah dan ternyata semua normal. Gula, tekanan darah, tensi semua normal. Hanya saja kolestrol saya yang berlebih. Dan menunggu transplantasi hati dilakukan, saya berusaha untuk mengurangi kolestrol tersebut. Selain itu juga dilakukan biopsi hati atau pengambilan sampel hati saya,” katanya.
Selain melakukan check-up, perawatan untuk menurunkan kolestrol, ia juga rutin mencari informasi di internet tentang ketentuan donor hati dan sesekali melakukan diskusi dengan dokter di RSUP Adam Malik. Karena melihat dari internet dan diskusi bersama dokter, perasaan takut dan ragu yang sempat ia rasakan pun sekarang hilang.

“Saya sudah sangat siap untuk mendonorkan hati saya ke Aquila. Saya lihat di internet, keberhasilan pendonoran darah itu keberhasilannya cukup besar. Dari seribu, hanya satu kasus yang tidak berhasil,” katanya.

Menanggapi hal ini, dokter spesialis penyakit dalam DR dr Umar Zein menyampaikan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelah melakukan donor hati. Karena sejauh fungsi hatinya masih normal, kesehatan pendonor tidak akan terganggu.

“Risikonya tidak ada, sejauh fungsi hatinya itu masih normal, jadi ketika mau mendonorkan hati, memang harus diperiksa terlebih dahulu. Tidak ada masalah,” katanya.

Namun, lanjutnya, sang pendonor hati untuk pasien memang lebih baik memiliki hubungan kekeluargaan, sehingga reaksi penolakannya kecil dan untuk mencegah adanya hal-hal yang ditakutkan, sang pendonor harus rutin melakukan check-up dan meminum obat khusus setelah melakukan donor hati.
“Memang lebih baik, donor hati ini dilakukan oleh keluarganya sendiri sehingga reaksi penolakannya tipis. Tapi meskipun tidak ada risiko yang berbahaya, si pendonor juga harus melakukan perawatan, meminum obat, pengecekan kesehatan. Donor hati, tidak harus sama golongan darahnya,” ujarnya.

Sementara, Soraya, ibu Aquila mengaku saat ini tengah berusaha mencari dana untuk kesembuhan buah hatinya. Berbagai usaha telah ia dan suaminya lakukan untuk kesembuhan Aquila. Demi mendapatka uang Rp 800 juta, ia membuat proposal kepada pemerintahan Kabupaten Batubara untuk memberikan bantuan kepada anaknya. Urusannya tidak gampang, bahkan sudah tiga bulan, ia terpaksa harus menahan malu karena harus terus-terus datang ke kantor pemerintahan tersebut.

“Sekarang saya di Batubara, kebetulan rumah kami memang di sini. Kami udah memasukkan proposal permohonan bantuan dana untuk kesembuhan anak kami dan masih dalam proses, tapi memang lama. Sudah hampir 3 bulan. Selain itu, kami juga sudah meminta bantuan Dinkes Sumut agar membantu pengurusan administrasinya di RSCM,” katanya.

Lanjutnya, ia telah mendapatkan informasi langsung dari RSCM bahwa Aquila telah masuk antrean keempat dan pada April akan dilakukan operasi transplantasi hati. Untuk itu, sembari menunggu nomor antrean Aquila, ia harus berusaha mengumpulkan dana sebesar Rp800 juta. “Sampai saat ini sudah hampir mencapai 100 juta. Masih sangat banyak biaya yang dibutuhkan,” katanya.

Lanjutnya, bila biaya juga belum terkumpul, terpaksa opersi juga diundur. “Kalau belum terkumpul dananya, kita juga tidak bias meneruskan operasinya,” katanya.

Tambahnya, saat ini kondisi Aquila masih sehat meskipun sesekali sering menangis karena sakit. “Kondisinya masih biasa, ceriah, tapi kadang ia mau muntah tapi tidak ada yang dimuntahkan. Tubuhnya semakin lama mengkitam., kadang mau demam. Tapi Aquila tetap semangat. Kami juga selalu menjaga makanannya, obatnya.

Tidak banyak, ia dan suaminya hanya mengharapkan empati dari masyarakat dan pemerintah untuk membantu pengobatan Aquila. “Mimpi kami tidak besar, tidak perlu berobat sampai ke Singapura karena kalau di Singapura biayanya bisa lebih tinggi lagi. Karena semua kami serahkan kepada yang di atas, yang penting kita sudah berusaha, untuk itu kami harap doanya,” ujarnya saat dihubungi. (*)

“Demi kesembuhan Aquila, saya rela mendonorkan hati saya. Saya sudah tahu risikonya, berbagai pengetahuan tentang pendonoran hati lewat internet dan sesekali diskusi dengan dokter telah saya lakukan. Tingkat keberhasilannya cukup tinggi, 1000:1. Dan, saya sudah siap.”

Puput Julianti Damanik, Medan

ATRESIA BILLIER: Khairani Parinduri (kiri)  keponakannya, Aquila Qatrunnadha Parinduri,  menderita Atresia Billier itu.//istimewa for sumut pos
ATRESIA BILLIER: Khairani Parinduri (kiri) dan keponakannya, Aquila Qatrunnadha Parinduri, yang menderita Atresia Billier itu.//istimewa for sumut pos

Khairani Parinduri (24) sudah menganggap Aquila Qatrunnadha Parinduri (2) sebagai anaknya sendiri. Bahkan aktivitas sehari-harinya saat ini hanya dihabiskan untuk mengurus bayi penderita Atresia Billier itu. Ya,, anak dari abang kandungnya, Khairul Asyahri Parinduri (27) dan kakak iparnya Soraya (27) tersebut.

Setelah Aquila dinyatakan menderita penyakit langka tersebut, tepat 9 bulan yang lalu, Khairani bersama kedua orangtuanya (opung Aquila) langsung merawatnya. Pasalnya, kedua orangtua Aquila harus tetap menjalankan pekerjaannya mencari dana untuk perobatan Aquila di kediamannya di Batubara. Karena alasan jauh dari kota, Aquila pun dirawat di Galang.

Keseharian Khairani hanya berdagang membantu ayahnya, Husin Parinduri. Namun setelah Aquila dirawat di rumahnya di Petumbukan, Kecamatan Galang, Deliserdang, Khairani memutuskan untuk berhenti bekerja. Dia pun rutin menemani keseharian keponakan satu-satunya tersebut.
Kecintaannya kepada keponakannya juga dibuktikannya dengan mendonorkan hatinya kepada Aquila. “Tepat sembilan bulan yang lalu, kita melakukan pemeriksaan Aquila dan ia dinyatakan menderita Bilier Atresia. Setelah itu, dokter menyarankan untuk melakukan  operasi transplantasi hati dan disarankan ayahnya yang satu golongan darah dengan Aquila untuk mendonorkan hatinya. Namun, karena tidak profesional dan kondisi kesehatan, organ tubuh, hati abang saya tidak bisa,” katanya.

Untuk itu, ia pun langsung memutuskan untuk menggantikan abangnya untuk mendonorkan hati kepada Aquila. “Karena kebetulan golongan darah saya sama, saya langsung memutuskan agar hati saya saja yang didonorkan untuk Aquila. Saya rela demi kesembuhan Aquila,” ujarnya.

Lanjutnya, setelah melakukan diskusi bersama keluarga, akhirnya, Khairani pun melakukan check-up pada Januari 2013 lalu di RSCM di Jakarta. “Periksa darah dan ternyata semua normal. Gula, tekanan darah, tensi semua normal. Hanya saja kolestrol saya yang berlebih. Dan menunggu transplantasi hati dilakukan, saya berusaha untuk mengurangi kolestrol tersebut. Selain itu juga dilakukan biopsi hati atau pengambilan sampel hati saya,” katanya.
Selain melakukan check-up, perawatan untuk menurunkan kolestrol, ia juga rutin mencari informasi di internet tentang ketentuan donor hati dan sesekali melakukan diskusi dengan dokter di RSUP Adam Malik. Karena melihat dari internet dan diskusi bersama dokter, perasaan takut dan ragu yang sempat ia rasakan pun sekarang hilang.

“Saya sudah sangat siap untuk mendonorkan hati saya ke Aquila. Saya lihat di internet, keberhasilan pendonoran darah itu keberhasilannya cukup besar. Dari seribu, hanya satu kasus yang tidak berhasil,” katanya.

Menanggapi hal ini, dokter spesialis penyakit dalam DR dr Umar Zein menyampaikan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelah melakukan donor hati. Karena sejauh fungsi hatinya masih normal, kesehatan pendonor tidak akan terganggu.

“Risikonya tidak ada, sejauh fungsi hatinya itu masih normal, jadi ketika mau mendonorkan hati, memang harus diperiksa terlebih dahulu. Tidak ada masalah,” katanya.

Namun, lanjutnya, sang pendonor hati untuk pasien memang lebih baik memiliki hubungan kekeluargaan, sehingga reaksi penolakannya kecil dan untuk mencegah adanya hal-hal yang ditakutkan, sang pendonor harus rutin melakukan check-up dan meminum obat khusus setelah melakukan donor hati.
“Memang lebih baik, donor hati ini dilakukan oleh keluarganya sendiri sehingga reaksi penolakannya tipis. Tapi meskipun tidak ada risiko yang berbahaya, si pendonor juga harus melakukan perawatan, meminum obat, pengecekan kesehatan. Donor hati, tidak harus sama golongan darahnya,” ujarnya.

Sementara, Soraya, ibu Aquila mengaku saat ini tengah berusaha mencari dana untuk kesembuhan buah hatinya. Berbagai usaha telah ia dan suaminya lakukan untuk kesembuhan Aquila. Demi mendapatka uang Rp 800 juta, ia membuat proposal kepada pemerintahan Kabupaten Batubara untuk memberikan bantuan kepada anaknya. Urusannya tidak gampang, bahkan sudah tiga bulan, ia terpaksa harus menahan malu karena harus terus-terus datang ke kantor pemerintahan tersebut.

“Sekarang saya di Batubara, kebetulan rumah kami memang di sini. Kami udah memasukkan proposal permohonan bantuan dana untuk kesembuhan anak kami dan masih dalam proses, tapi memang lama. Sudah hampir 3 bulan. Selain itu, kami juga sudah meminta bantuan Dinkes Sumut agar membantu pengurusan administrasinya di RSCM,” katanya.

Lanjutnya, ia telah mendapatkan informasi langsung dari RSCM bahwa Aquila telah masuk antrean keempat dan pada April akan dilakukan operasi transplantasi hati. Untuk itu, sembari menunggu nomor antrean Aquila, ia harus berusaha mengumpulkan dana sebesar Rp800 juta. “Sampai saat ini sudah hampir mencapai 100 juta. Masih sangat banyak biaya yang dibutuhkan,” katanya.

Lanjutnya, bila biaya juga belum terkumpul, terpaksa opersi juga diundur. “Kalau belum terkumpul dananya, kita juga tidak bias meneruskan operasinya,” katanya.

Tambahnya, saat ini kondisi Aquila masih sehat meskipun sesekali sering menangis karena sakit. “Kondisinya masih biasa, ceriah, tapi kadang ia mau muntah tapi tidak ada yang dimuntahkan. Tubuhnya semakin lama mengkitam., kadang mau demam. Tapi Aquila tetap semangat. Kami juga selalu menjaga makanannya, obatnya.

Tidak banyak, ia dan suaminya hanya mengharapkan empati dari masyarakat dan pemerintah untuk membantu pengobatan Aquila. “Mimpi kami tidak besar, tidak perlu berobat sampai ke Singapura karena kalau di Singapura biayanya bisa lebih tinggi lagi. Karena semua kami serahkan kepada yang di atas, yang penting kita sudah berusaha, untuk itu kami harap doanya,” ujarnya saat dihubungi. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/