Sementara itu, Julius Ibrani dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) setuju dengan desakan Fitra agar Kejaksaan terbuka. Besarnya anggaran eksekusi mati menurut Julius bertolak belakang keluhan minimnya anggaran untuk Kejagung tahun ini.
Sebagaimana diketahui, sejumlah instansi mengalami pengeprasan anggaran termasuk Kejagung. Mereka pun sempat keberatan dengan pemotongan anggaran tersebut. Nah jika eksekusi mati membutuhkan anggaran Rp200 juta per narapidana, berarti kini Kejagung tengah menyiapkan dana Rp32 miliar untuk menembak 16 terpidana.
Sementara Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Noor Rochmad menuturkan, anggaran doble dalam eksekusi mati tersebut tentunya tidak ada. Yang pasti, memang ada anggaran di Kejagung dan Polri.
”Anggaran ini ada di keduanya,” tuturnya.
Dari anggaran Rp200 juta per terpidana mati tersebut, dipastikan porsi terbesar ada pada Polri. Hal itu dikarenakan Polri memiliki persiapan yang jauh lebih banyak.
”Dari jumlah anggota polisi yang menjadi penembak juga lebih banyak. Jaksa hanya koordinator saja,” ujarnya.
Bagian lain, Kadivhumas Polri Irjen Boy Rafli Amar menampik dengan tegas tuduhan dari Fitra bahwa ada anggaran dobel. Menurutnya, semua itu hanya tuduhan yang tidak berdasar.
”Polri dan Kejagung itu institusi yang berbeda,” paparnya.
Karena itulah, lanjutnya, tidak bisa anggaran itu disamakan. Walau, tentunya, semua anggaran berasal dari APBN.
”Kami tentunya tidak bisa minta ke Kejagung untuk anggarannya, kami harus menyiapkannya sendirilah,” jelasnya.
Apalagi, kebutuhan dari Polri dan Kejagung itu berbeda untuk anggaran tersebut. Dia mengatakan, jumlah anggota Polri yang membantu eksekusi itu saja lebih dari 100 orang. ”Transport hingga logistik tentunya diperlukan ya,” paparnya.
Dia menuturkan, anggaran memang diajukan dari kedua belah pihak untuk acara yang sama. Namun, bukan berarti bisa disebut sebagai anggaran dobel. ”Ini satu acara yang terlibat itu beberapa instasni, apa itu satu instansi minta anggaran instansi lain,” tegasnya. (gun/idr/mg4/jpg/adz)