29 C
Medan
Sunday, February 23, 2025
spot_img

Harga Karet Anjlok, Pasutri ini Putar Setir jadi Pemecah Batu Padas

Siang itu, keduanya menambang dan memecah untuk memenuhi pesanan batu belah ukuran 5/7 dan 3/5. Ukuran seperti itu biasanya untuk kebutuhan proyek pembangunan jalan setapak di desa-desa.

“Yang ini ukuran 5/7 harganya Rp110 ribu semeter kubik. Yang itu 3/5 Rp120 ribu sekubik. Ada lagi yang lebih halus ukuran 2/3 seharga Rp130 ribu per kubik,” kata Hutabarat sambil menunjuk ke arah tumpukan batu yang dimaksudnya, saat disambangi di areal penambangan secara manual itu.

Padahal, dalam sehari, sejak pagi hingga petang, keduanya tidak mampu memproduksi 1 meter kubik. Apalagi untuk yang ukuran 3/5 dan 2/3. Sementara jika batunya laku, mereka harus menyetorkan uang hasil penjualan sebesar Rp20 ribu untuk setiap 3 meter kubiknya, kepada pemilik lahan tersebut.

Ada beberapa kelompok warga penambang di areal itu. Pola kerja dan peralatannya serupa. Dengan palu kecil dan sebatang besi menyerupai pahat batu. Secara manual mereka menaiki lereng untuk membongkar bongkahan batu padas yang ada di lereng perbukitan itu.

Bongkahan yang berhasil dibongkar kemudian diturunkan ke bawah. Di dasar bukit itulah mereka kemudian memecahkannya sesuai ukuran yang diinginkan.

“Tanah ini bukan punya kami. Ada marga Panggabean yang punya. Kami harus setor kepadanya setiap kali batu laku,” tukas Br Sitompul.

Untuk mengirit pengeluaran, mereka selalu membawa bontot (persediaan makanan dan minuman) dari rumah. Bila posisi matahari tepat di atas kepala, mereka beristirahat sambil makan siang di bawah tenda plastik darurat yang didirikan di dekat tumpukan bebatuan. Walau dengan nasi lauk seadanya, mereka tetap bisa tersenyum menikmatinya.

Siang itu, keduanya menambang dan memecah untuk memenuhi pesanan batu belah ukuran 5/7 dan 3/5. Ukuran seperti itu biasanya untuk kebutuhan proyek pembangunan jalan setapak di desa-desa.

“Yang ini ukuran 5/7 harganya Rp110 ribu semeter kubik. Yang itu 3/5 Rp120 ribu sekubik. Ada lagi yang lebih halus ukuran 2/3 seharga Rp130 ribu per kubik,” kata Hutabarat sambil menunjuk ke arah tumpukan batu yang dimaksudnya, saat disambangi di areal penambangan secara manual itu.

Padahal, dalam sehari, sejak pagi hingga petang, keduanya tidak mampu memproduksi 1 meter kubik. Apalagi untuk yang ukuran 3/5 dan 2/3. Sementara jika batunya laku, mereka harus menyetorkan uang hasil penjualan sebesar Rp20 ribu untuk setiap 3 meter kubiknya, kepada pemilik lahan tersebut.

Ada beberapa kelompok warga penambang di areal itu. Pola kerja dan peralatannya serupa. Dengan palu kecil dan sebatang besi menyerupai pahat batu. Secara manual mereka menaiki lereng untuk membongkar bongkahan batu padas yang ada di lereng perbukitan itu.

Bongkahan yang berhasil dibongkar kemudian diturunkan ke bawah. Di dasar bukit itulah mereka kemudian memecahkannya sesuai ukuran yang diinginkan.

“Tanah ini bukan punya kami. Ada marga Panggabean yang punya. Kami harus setor kepadanya setiap kali batu laku,” tukas Br Sitompul.

Untuk mengirit pengeluaran, mereka selalu membawa bontot (persediaan makanan dan minuman) dari rumah. Bila posisi matahari tepat di atas kepala, mereka beristirahat sambil makan siang di bawah tenda plastik darurat yang didirikan di dekat tumpukan bebatuan. Walau dengan nasi lauk seadanya, mereka tetap bisa tersenyum menikmatinya.

spot_img

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

spot_imgspot_imgspot_img

Artikel Terbaru

/