26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

3 Tahun Hanya Diberi Makan Ikan Asin

Foto: Gibson/PM/JPNN Kasat Reskrim Polresta Medan, Kompol Jean Calvijn Simanjuntak, didampingi Kanit Judisila, AKP Jama K Purba, menginterogasi para pekerja asal Kupang, NTT di Polresta Medan.
Foto: Gibson/PM/JPNN
Kasat Reskrim Polresta Medan, Kompol Jean Calvijn Simanjuntak, didampingi Kanit Judisila, AKP Jama K Purba, menginterogasi para pekerja asal Kupang, NTT di Polresta Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sebanyak 18 wanita asal Nusa Tenggara Timur (NTT) terpaksa menjalani perawatan di tiga rumah sakit terpisah. Mereka menjalani perawatan dengan berbagai keluhan penyakit setelah lebih 3 tahun bekerja di rumah pengusaha sarang wallet dan hanya diberi makan nasi pakai ikan asin. Bahkan satu diantara korban trafficking, Riska Bota yang sempat dirawat di RS Methodist meninggal dunia, Kamis (27/2) malam.

Perlakuan tersangka Mohar, pemilik usaha sarang burung wallet di Jalan Brigjen Katamso, Komplesk Family, Medan Johor, tampaknya memang tak manusiawi. Setelah menipu para pekerja wanita itu dengan iming-iming gaji Rp 700 ribu, namun hanya Rp 450 ribu, makan juga menderita.

Menurut keterangan salah seorang korban, Yanti Lasveto (24) yang tinggal di Kampung Wel Ekam Kupang NTT mengatakan, sekitar April 2012 datang seorang pria ke rumahnya menawarkan pekerjaan membersihkan sarang burung Walet di Medan. “Katanya gajinya Rp 700 ribu per bulan, tapi di Medan gajinya cuma Rp 450 per bulan,” ungkap Yanti yang hanya tamat sekolah dasar ini di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSU dr Pirngadi Medan, Kamis (27/2) pagi.

Atas perlakuan tersebut ia dan teman-temannya hanya bisa pasrah dan tidak dapat menuntut gaji yang tidak sesuai saat pertama dijanjikan. Mirisnya lagi, gaji yang hanya Rp 450 ribu per bulan itu juga tidak pernah mereka rasakan. “Sejak kerja kami tidak pernah diberi gaji. Kalau ditanya, katanya nanti diberikan saat habis kontrak kami 3 tahun. Kalau minta pulang juga dibilang hanya dikasi ongkos aja. Gaji kami pun dipotong kalau kami perlu untuk baju dan sabun,” tambahnya lagi.

Begitu juga pengakuan Ennita Tae (20) yang tinggal di Takari Kupang, NTT itu menuturkan, kalau ia juga dijanjikan kerja oleh Rebeka dengan gaji Rp 700 ribu. Namun tiba di Medan hanya di gaji Rp 450 ribu. “Nggak pernah terima gaji bang,” katanya yang mulai bekerja sejak Mei 2011 lalu dan dikontrak selama 3 tahun.

Selain tak digaji, mereka juga tidak bisa berhubungan dengan keluarga di NTT karena Hp milik mereka disita sama majikan. Parahnya lagi, meskipun menurut pengakuan mereka tidak pernah disiksa dan dilecehkan, tetapi untuk kebutuhan makan sehari-hari mereka hanya diberi makan nasi putih, ikan asin dan kerupuk.

“Nggak pernah disiksa. Kalaupun ada sayur sebulan sekali. Kalau mau ke kamar mandi juga kami diperiksa sama mandor meriksa apa kami ada menyelipkan sarang burung walet. Nggak pernah ngubungi orangtua dan mereka nggak tau saya dimana, Hp ditahan,” tutur Ennita seraya menambahkan bahwa mereka kerja sejak pukul 07.00 Wib sampai 12.00 Wib dan pukul 13.00 Wib sampai 18.00 Wib.

Oleh karena itu, mereka pun berharap untuk dapat segera bertemu dengan keluarga mereka karena sudah sangat rindu dan tidak mau lagi kerja di tempat tersebut.

Sementara itu, Staf Satuan Bakti Pekerja Sosial Kemensos RI yang ditugaskan di Dinas Sosial Sumut Monalisa Siahaan yang turut hadir di rumah sakit milik Pemko Medan tersebut mengatakan, untuk kasus ini masih dilakukan kordinasi dan ia tidak bisa memberi banyak komentar. “Korbannya ada yang anak-anak di bawah 18 tahun dan di atas 18 tahun. Hampir semua daerah ada kasus taffiking seperti di Kalimantan dan Pontianak. Faktornya karena ekonomi dan SDM,” katanya.

Terpisah, Kabag Hukum dan Humas RSUD Dr Pirngadi Medan Edison Perangin-angin mengatakan, ke 15 wanita muda korban traffiking yang saat ini dirawat di IGD sekitar pukul 09.00 wib telah dilakukan pemeriksaan kesehatannya. “Mereka juga akan dilakukan pemeriksaan psikiater karena disekap. Apa ada gangguan kejiwaan. Kita berkordinasi dengan dinas sosial karena mereka nggak punya keluarga di sini dan dianggap orang terlantar walaupun anaknya lengkap,” ujar Edison.

Sedangkan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumut Drs Zahrin Piliang menerangkan, penyakit yang diderita dominan ISPA, juga ada 1 orang yang TB Paru. “Mereka bangun jam 5 pagi, bereskan rumah, Jam 7 pagi makan dengan menu yang minim nasi putih, kerupuk sesekali tempe, ikannya ikan asin. Tidak ada kekerasan fisik. Ini Eksploitasi karena istirahatnya 1 jam,” kata Zahrin.

Empat dari korban traffiking, sambungnya, merupakan anak dibawah usia 18 tahun. “Ini melanggar Undang Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 83 dengan hukuman maksimal 15 tahun, karena termasuk eksploitasi ekonom. UU Nomor 21 Tahun 2007 Tindak Pidana dan Perdagangan Orang (TPPO) atau traffiking, hukumannya lebih tinggi,” tegas Zahrin.

Zahrin juga mengapresiasi Polresta Medan yang mengungkap peristiwa ini dan berharap mengusut tuntas, mencari dalang termasuk yang merekrut. Putusan pengadilan memberikan efek jera pada pelaku. “Proses pidana agar ada kasus untuk memulihkan hak-hak korban. Ada hak-hak Restitusi (pemulihan) termasuk gaji yang belum mereka terima,” harapnya.

Ke delapan belas korban trafficking yang menderita sakit tersebut menjalani perawatan di tiga rumah sakit terpisah, yakni 15 orang di RSU dr Pirngadi Medan, 2 orang di RS Deli dan 1 orang di RS Methodist Medan (meninggal dunia).

Sumber POSMETRO MEDAN menyebut, korban mengalami pembengkakan jantung. Hal itu disebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi) dan maag akut. Akibatnya korban meninggal pukul 20.00 malam. “Karena tak dikasih makan, dipaksa kerja. Jadi kena maag akut, dihantam hipertensi lagi,” ucap salah satu tenaga medis di RS Methodist, Medan.

Terpisah, Kanit Vice Control Polresta Medan, AKP Jama K. Purba membenarkan tewasnya Riska Bota. “Ya, satu lagi pekerja tewas. Tapi belum bisa kita pastikan penyebabnya. Besok ya, kita kembangkan dulu malam ini,” tegasnya, Kamis (27/2) malam.

Menanggapi tewasnya Riska Bota, Salim Ketua KPID Medan menyebut pelaku jelas-jelas sudah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). “Pelaku pantas diberikan hukuman berat, karena pelangaran yang dia lakukan sudah melebihi binatang. Dan akibat perlakuanya banyak korban yang tewas dan jatuh sakit,” tegas Salim saat ditemui di depan RS Metodis Medan.

Dalam hal ini, Salim meminta Unit Reskrim Polresta Medan segera menuntaskan kasus tersebut. “Kalau tidak dituntaskan hingga keakar-akarnya, percayalah korban pasti akan kembali jatuh. Ini sangat mengerikan,” pungkasnya.(tun/gib/bar/bd)

Foto: Gibson/PM/JPNN Kasat Reskrim Polresta Medan, Kompol Jean Calvijn Simanjuntak, didampingi Kanit Judisila, AKP Jama K Purba, menginterogasi para pekerja asal Kupang, NTT di Polresta Medan.
Foto: Gibson/PM/JPNN
Kasat Reskrim Polresta Medan, Kompol Jean Calvijn Simanjuntak, didampingi Kanit Judisila, AKP Jama K Purba, menginterogasi para pekerja asal Kupang, NTT di Polresta Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sebanyak 18 wanita asal Nusa Tenggara Timur (NTT) terpaksa menjalani perawatan di tiga rumah sakit terpisah. Mereka menjalani perawatan dengan berbagai keluhan penyakit setelah lebih 3 tahun bekerja di rumah pengusaha sarang wallet dan hanya diberi makan nasi pakai ikan asin. Bahkan satu diantara korban trafficking, Riska Bota yang sempat dirawat di RS Methodist meninggal dunia, Kamis (27/2) malam.

Perlakuan tersangka Mohar, pemilik usaha sarang burung wallet di Jalan Brigjen Katamso, Komplesk Family, Medan Johor, tampaknya memang tak manusiawi. Setelah menipu para pekerja wanita itu dengan iming-iming gaji Rp 700 ribu, namun hanya Rp 450 ribu, makan juga menderita.

Menurut keterangan salah seorang korban, Yanti Lasveto (24) yang tinggal di Kampung Wel Ekam Kupang NTT mengatakan, sekitar April 2012 datang seorang pria ke rumahnya menawarkan pekerjaan membersihkan sarang burung Walet di Medan. “Katanya gajinya Rp 700 ribu per bulan, tapi di Medan gajinya cuma Rp 450 per bulan,” ungkap Yanti yang hanya tamat sekolah dasar ini di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSU dr Pirngadi Medan, Kamis (27/2) pagi.

Atas perlakuan tersebut ia dan teman-temannya hanya bisa pasrah dan tidak dapat menuntut gaji yang tidak sesuai saat pertama dijanjikan. Mirisnya lagi, gaji yang hanya Rp 450 ribu per bulan itu juga tidak pernah mereka rasakan. “Sejak kerja kami tidak pernah diberi gaji. Kalau ditanya, katanya nanti diberikan saat habis kontrak kami 3 tahun. Kalau minta pulang juga dibilang hanya dikasi ongkos aja. Gaji kami pun dipotong kalau kami perlu untuk baju dan sabun,” tambahnya lagi.

Begitu juga pengakuan Ennita Tae (20) yang tinggal di Takari Kupang, NTT itu menuturkan, kalau ia juga dijanjikan kerja oleh Rebeka dengan gaji Rp 700 ribu. Namun tiba di Medan hanya di gaji Rp 450 ribu. “Nggak pernah terima gaji bang,” katanya yang mulai bekerja sejak Mei 2011 lalu dan dikontrak selama 3 tahun.

Selain tak digaji, mereka juga tidak bisa berhubungan dengan keluarga di NTT karena Hp milik mereka disita sama majikan. Parahnya lagi, meskipun menurut pengakuan mereka tidak pernah disiksa dan dilecehkan, tetapi untuk kebutuhan makan sehari-hari mereka hanya diberi makan nasi putih, ikan asin dan kerupuk.

“Nggak pernah disiksa. Kalaupun ada sayur sebulan sekali. Kalau mau ke kamar mandi juga kami diperiksa sama mandor meriksa apa kami ada menyelipkan sarang burung walet. Nggak pernah ngubungi orangtua dan mereka nggak tau saya dimana, Hp ditahan,” tutur Ennita seraya menambahkan bahwa mereka kerja sejak pukul 07.00 Wib sampai 12.00 Wib dan pukul 13.00 Wib sampai 18.00 Wib.

Oleh karena itu, mereka pun berharap untuk dapat segera bertemu dengan keluarga mereka karena sudah sangat rindu dan tidak mau lagi kerja di tempat tersebut.

Sementara itu, Staf Satuan Bakti Pekerja Sosial Kemensos RI yang ditugaskan di Dinas Sosial Sumut Monalisa Siahaan yang turut hadir di rumah sakit milik Pemko Medan tersebut mengatakan, untuk kasus ini masih dilakukan kordinasi dan ia tidak bisa memberi banyak komentar. “Korbannya ada yang anak-anak di bawah 18 tahun dan di atas 18 tahun. Hampir semua daerah ada kasus taffiking seperti di Kalimantan dan Pontianak. Faktornya karena ekonomi dan SDM,” katanya.

Terpisah, Kabag Hukum dan Humas RSUD Dr Pirngadi Medan Edison Perangin-angin mengatakan, ke 15 wanita muda korban traffiking yang saat ini dirawat di IGD sekitar pukul 09.00 wib telah dilakukan pemeriksaan kesehatannya. “Mereka juga akan dilakukan pemeriksaan psikiater karena disekap. Apa ada gangguan kejiwaan. Kita berkordinasi dengan dinas sosial karena mereka nggak punya keluarga di sini dan dianggap orang terlantar walaupun anaknya lengkap,” ujar Edison.

Sedangkan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumut Drs Zahrin Piliang menerangkan, penyakit yang diderita dominan ISPA, juga ada 1 orang yang TB Paru. “Mereka bangun jam 5 pagi, bereskan rumah, Jam 7 pagi makan dengan menu yang minim nasi putih, kerupuk sesekali tempe, ikannya ikan asin. Tidak ada kekerasan fisik. Ini Eksploitasi karena istirahatnya 1 jam,” kata Zahrin.

Empat dari korban traffiking, sambungnya, merupakan anak dibawah usia 18 tahun. “Ini melanggar Undang Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 83 dengan hukuman maksimal 15 tahun, karena termasuk eksploitasi ekonom. UU Nomor 21 Tahun 2007 Tindak Pidana dan Perdagangan Orang (TPPO) atau traffiking, hukumannya lebih tinggi,” tegas Zahrin.

Zahrin juga mengapresiasi Polresta Medan yang mengungkap peristiwa ini dan berharap mengusut tuntas, mencari dalang termasuk yang merekrut. Putusan pengadilan memberikan efek jera pada pelaku. “Proses pidana agar ada kasus untuk memulihkan hak-hak korban. Ada hak-hak Restitusi (pemulihan) termasuk gaji yang belum mereka terima,” harapnya.

Ke delapan belas korban trafficking yang menderita sakit tersebut menjalani perawatan di tiga rumah sakit terpisah, yakni 15 orang di RSU dr Pirngadi Medan, 2 orang di RS Deli dan 1 orang di RS Methodist Medan (meninggal dunia).

Sumber POSMETRO MEDAN menyebut, korban mengalami pembengkakan jantung. Hal itu disebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi) dan maag akut. Akibatnya korban meninggal pukul 20.00 malam. “Karena tak dikasih makan, dipaksa kerja. Jadi kena maag akut, dihantam hipertensi lagi,” ucap salah satu tenaga medis di RS Methodist, Medan.

Terpisah, Kanit Vice Control Polresta Medan, AKP Jama K. Purba membenarkan tewasnya Riska Bota. “Ya, satu lagi pekerja tewas. Tapi belum bisa kita pastikan penyebabnya. Besok ya, kita kembangkan dulu malam ini,” tegasnya, Kamis (27/2) malam.

Menanggapi tewasnya Riska Bota, Salim Ketua KPID Medan menyebut pelaku jelas-jelas sudah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). “Pelaku pantas diberikan hukuman berat, karena pelangaran yang dia lakukan sudah melebihi binatang. Dan akibat perlakuanya banyak korban yang tewas dan jatuh sakit,” tegas Salim saat ditemui di depan RS Metodis Medan.

Dalam hal ini, Salim meminta Unit Reskrim Polresta Medan segera menuntaskan kasus tersebut. “Kalau tidak dituntaskan hingga keakar-akarnya, percayalah korban pasti akan kembali jatuh. Ini sangat mengerikan,” pungkasnya.(tun/gib/bar/bd)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/