“Penuh kesan, bahkan saat saya di Bali karena saya bawa bendera segala di tas, ada polisi yang mengira saya itu mahasiswa yang mau melakukan demo. Akhirnya saya jelaskan, eh polisi itu malah ngasih saya duit. Lucunya lagi, uangnya itu hanya Rp7.000,” katanya sembari ketawa.
Tak hanya itu, saat melakukan perjalanan dari Bantimurung Makassar ke Bone, empat malam dirinya berjalan dan sepanjang jalan adalah hutan. “Sayakan makanan gak stok di tas, tapi beli kalau ada warung. Ternyata dari Bantimurung ke Bone itu tidak ada perumahan. Akhirnya saya lihat-lihat di sepanjang hutan apa yang bisa diambil buat dimakan. Akhirnya saya cabut ubi yang terlihat, itu yang saya bakar,” katanya.
Tak hanya itu, masih banyak cerita senang juga duka saat perjalanan. Saat ia di Papua, ia disarankan temannya untuk memasukkan bendera ke dalam tas demi keamanan. “Intinya di setiap daerah pasti ada saja yang bantu. Kalau sedihnya yah mungkin saat saya ketemu dengan anak dengan HIV/AIDS. Rasanya sedih sekali, apalagi ada yang masih belum diterima keluarganya,” katanya.
Sedangkan perjalan ke Sumut, ia pilih karena kasus HIV/AIDS di Sumut masih cukup tinggi. “Penyakit HIV/AIDS di Sumut menempati posisi ketujuh di Indonesia. Saya juga cari data sebelum berangkat. Rencana, dari Medan saya berjalan menuju Langkat, sampai ke Aceh dan rencana ke Sabang. Target perjalanan saya berhenti di tahun ini,” paparnya.
Melalui perjalanannya ini, ia menyimpulkan bahwa stigma negatif dan tindakan diakriminasi pada ODHA terjadi lebih besar di daerah. Di Kota, sudah jarang sekali ada tindakan diskriminatif pada ODHA. “Artinya, sosialisasi atau edukasi soal HIV/AIDS masih berfokus di kota saja. Saya rencananya, setelah perjalanan ini ingin membuat rangkumannya menjadi sebuah buku. Buku tersebut nantinya saya berikan kepada pemerintah agar jadi evaluasi,” katanya penuh semangat. (ain/ila)