31 C
Medan
Tuesday, May 7, 2024

Berencana Bunuh 4 Pejabat Negara

Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Polisi berhasil mengungkap kelompok baru yang ikut menunggangi aksi menolak hasil pilpres pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta. Kelompok ini berusaha menciptakan martir dalam aksi massa itu dan juga berencana membunuh 4 pejabat negara serta seorang pemimpin lembaga survei.

KEPALA Divisi Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal menjelaskan, kelompok baru ini merencanakan aksi pembunuhan sejak Oktober 2018, atas perintah seseorang. Ada enam tersangka yang sudah ditangkap. Mereka adalah HK alias Iwan, AZ, IF, TJ, AD, dan AF alias Fifi. Semuanya memiliki peran berbeda.

“Pada 1 Oktober 2018, tersangka HK menerima perintah dari seseorang untuk membeli dua pucuk senjata api (senpi) laras pendek di Kalibata. Seseorang ini, pihak kami sudah mengetahui identitasnya. Sedang didalami,’ “ kata Iqbal dalam jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (27/5).

Setelah itu, lanjut Iqbal, pada 13 Oktober HK menjalankan pemerintah dan membeli senjata. Ada empat senjata yang didapat oleh HK dari AF dan AD. Sebagian senjata itu lalu diserahkan HK kepada dua rekannya, AZ, TJ, dan IR.

Pada 14 Maret, HK mendapat transfer Rp150 juta. Sebanyak Rp25 juta ia bagikan kepada TJ.

“TJ diminta membunuh dua tokoh nasional. Saya tak sebutkan di depan publik. Kami TNI Polri sudah paham siapa tokoh nasional tersebut,” kata Iqbal.

Lalu pada 12 April, HK kembali mendapat perintah lagi untuk membunuh dua tokoh nasional lainnya. “Jadi, ada empat target kelompok ini menghabisi nyawa tokoh nasional,” ujarnya.

Saat ditanya apakah tokoh nasional yang dimaksud adalah pejabat negara, Iqbal membenarkan. “Pejabat negara. Tapi bukan presiden. Tapi bukan kapasitas saya menyampaikan ini. Nanti kalau sudah mengerucut baru dikasih tahu,” kata dia.

Selain empat pejabat negara, belakangan HK juga mendapat perintah untuk membunuh seorang pemimpin lembaga survei. “Terdapat perintah lain melalui tersangka AZ untuk bunuh satu pemimpin lembaga swasta. Lembaga survei. Dan tersangka tersebut sudah beberapa kali menyurvei rumah tokoh tersebut. Dan tersangka IR sudah mendapat uang sebesar Rp5 juta,” ujar Iqbal.

Untungnya, pembunuh bayaran itu ditangkap polisi beserta sejumlah barang bukti seperti senjata api laras panjang dan laras pendek beserta peluru dan rompi antipeluru. Saat ini, HK beserta dua rekannya AZ, TJ dan IR yang mencoba melakukan upaya pembunuhan sudah ditetapkan sebagai tersangka. Begitu juga AF dan AD selaku penyuplai senjata.

Keenam tersangka diduga adalah pelaku kejahatan professional dan sudah berpengalaman menggunakan senjata api.

Mereka telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kepemilikan senjata api ilegal dengan ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara.

Namun, otak yang meminta melakukan pembunuhan ini, polisi mengaku masih melakukan pendalaman.

Pelaku Turut Membaur

Pada aksi massa tanggal 21 Mei 2019 di depan kantor Bawaslu RI di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat, HK dan kawan-kawan turut hadir membaur dengan massa aksi. Mereka bertujuan menciptakan korban sebagai martir, agar terjadi kerusuhan.

“Tersangka HK dengan membawa 1 pucuk senpi beserta tim turun ke depan bercampur dengan massa aksi pada 21 mei untuk melakukan aksinya dengan massa aksi lainnya. “ kata M. Iqbal.

Dalam rilis itu polisi menunjukan barang bukti berupa senpi rakitan yang diduga senjata organik illegal yang didapat dari seorang tersangka perempuan.

“Senjata ini ada teleskopnya. Jadi diduga kuat emang ingin menghabisi dari jarak jauh, walau rakitan ini efeknya luar biasa.” kata Muhammad Iqbal.

Polisi juga menemukan barang bukti sebuah rompi anti peluruh bertuliskan polisi. Sehingga polisi juga sedang mendalami motif kelompok ini untuk membentuk citra bahwa polisi melakukan kekerasan terhadap massa aksi.

Sementara itu, Polri menyatakan hingga kini pihaknya masih menelusuri keterkaitan antara senjata yang dimiliki kelompok ini dengan kasus tewasnya sejumlah korban dalam kerusuhan pada 22 Mei 2019 lalu yang saat ini ditangani tim pencari fakta bentukan Polri bersama sejumlah lembaga independen lainnya.

Dalam pemaparannya Muhammad Iqbal kembali menegaskan bahwa kelompok ini bukanlah peserta aksi damai. Tapi pelaku kejahatan kerusuhan.

Kelompok ini juga berbeda dari 2 kelompok lainnya yang sudah diungkapkan polisi sebelumnya. Yakni kelompok preman bayaran dan kelompok teroris yang hendak menunggangi aksi massa untuk menjalankan aksi jihadnya.

“Kelompok ini sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Menkopolhukan dan Kapolri sebelumnya. Fakta hukumnya beda. Tersangkanya beda dan senjata apinya juga beda. Berarti ada 3 kelompok penunggang gelap. Bisa jadi masih ada kelompok lain yang belum berhasil kami tangkap dan identifikasi,” tambahnya.

Pasca kerusuhan aksi massa 21-22 Mei 2019, selain mengungkap 3 kelompok penunggang aksi massa menolak hasil pemilu 2019 ini, polisi juga telah menangkap 442 tersangka perusuh lainnya. Hingga saat ini polisi masih menyelidiki keterkaitan para perusuh dengan kelompok-kelompok tersebut.

Temuan Komnas HAM Dukung Temuan Polri

Sementara itu, Komnas HAM mendesak agar polisi segera mengungkap siapa dalang di balik kelompok-kelompok yang menunggangi aksi massa 21-22 Mei 2019.

Apalagi kerusuhan ini telah memakan korban, ratusan warga luka-luka, dan 8 orang meninggal dunia. Korban tewas diketahui terkena peluru tajam.

Komisioner Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan temuan sementara yang diperoleh lembaganya sedikit mendukung temuan yang dipaparkan oleh kepolisian.

“Salah satu korban remaja yang kami wawancarai, tangannya tertembak peluru tajam. Dia bilang dia tidak tahu dari mana datangnya peluru itu. Dan ini berbeda dengan keterangan korban lainnya yang tertembak peluru karet. Mereka mengaku melihat langsung pasukan yang menembaki mereka ketika pecah kerusuhan ada aksi bakar mobil.” katanya.

“Ini menguatkan indikasi memang ada sniper seperti yang dikatakan Kapolri. Polisi harus cari siapa sniper itu dan kelompok mana yang menembakan peluru tajam,” katanya.

Komnas HAM telah menerima berbagai aduan dari organisasi masyarakat (ormas) pascaperistiwa kerusuhan pada 21 dan 22 Mei 2019. Sebagian besar, pengaduan berkaitan dengan dugaan tindakan kesewenang-wenangan aparat kepolisian.

Komnas HAM menolak bergabung dengan tim pencari fakta kerusuhan 21-22 Mei 2019 yang dibentuk polisi. Sebaliknya Komnas HAM membentuk tim khusus sendiri untuk mengusut peristiwa kekerasan tersebut.

“Bukan kami tidak bersedia. Tapi UU yang memayungi kami tidak memungkinkan untuk itu. Makanya kami membentuk tim khusus sendiri. Kami juga melibatkan pihak lain dan pakar yang berpengalaman dalam hal ini,” Kata Ahmad Taufan Damanik.

Selain Komnas HAM, Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan juga meminta Polri segera mengambil tindakan hukum terhadap pihak yang bertanggung jawab atas kerusuhan 21 dan 22 Mei 2019 di Jakarta.

Apalagi, Menkopolhukkam Wiranto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah menyatakan ada orang kuat yang mendesain kerusuhan, dan memanfaatkan demonstrasi damai untuk kepentingan politik mereka.

Selain itu, ujar Bara, berdasar pengakuan aparat juga terjadi pengerahan massa dari luar Jakarta, serta ditemukan sejumlah uang diduga untuk membayar oknum perusuh.

“Jadi, jelas sekali ada pihak yang memberikan dana terhadap aksi tersebut. Jadi itu bisa dikatakan sebagai sebuah tindakan yang menyebar teror dan itu tidak bisa ditoleransi,” kata Bara di gedung DPR, Jakarta, Senin (27/5).

Menurut Bara, yang mesti diberikan tindakan hukum bukan hanya kepada ratusan pelaku lapangan, tetapi elite yang diduga mendesain ini dengan motif politiknya juga harus ditindak. Bara menegaskan, orang semacam ini tidak punya ruang demokrasi di Indonesia.

“Jadi, kita tidak bisa bernegosiasi dengan orang-orang ini karena sangat berbahaya dan mereka merupakan pengkhianat menyebar teror untuk tujuan politiknya,” ujar Bara.

Kepada pemerintah dan polisi, Bara meyakinkan bahwa rakyat berdiri di belakang mereka dan mendukung mengambil langkah yang diperlukan agar siapa pun yang bertanggung jawab bisa ditindak. (boy/cuy/jpnn/kps)

Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Polisi berhasil mengungkap kelompok baru yang ikut menunggangi aksi menolak hasil pilpres pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta. Kelompok ini berusaha menciptakan martir dalam aksi massa itu dan juga berencana membunuh 4 pejabat negara serta seorang pemimpin lembaga survei.

KEPALA Divisi Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal menjelaskan, kelompok baru ini merencanakan aksi pembunuhan sejak Oktober 2018, atas perintah seseorang. Ada enam tersangka yang sudah ditangkap. Mereka adalah HK alias Iwan, AZ, IF, TJ, AD, dan AF alias Fifi. Semuanya memiliki peran berbeda.

“Pada 1 Oktober 2018, tersangka HK menerima perintah dari seseorang untuk membeli dua pucuk senjata api (senpi) laras pendek di Kalibata. Seseorang ini, pihak kami sudah mengetahui identitasnya. Sedang didalami,’ “ kata Iqbal dalam jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (27/5).

Setelah itu, lanjut Iqbal, pada 13 Oktober HK menjalankan pemerintah dan membeli senjata. Ada empat senjata yang didapat oleh HK dari AF dan AD. Sebagian senjata itu lalu diserahkan HK kepada dua rekannya, AZ, TJ, dan IR.

Pada 14 Maret, HK mendapat transfer Rp150 juta. Sebanyak Rp25 juta ia bagikan kepada TJ.

“TJ diminta membunuh dua tokoh nasional. Saya tak sebutkan di depan publik. Kami TNI Polri sudah paham siapa tokoh nasional tersebut,” kata Iqbal.

Lalu pada 12 April, HK kembali mendapat perintah lagi untuk membunuh dua tokoh nasional lainnya. “Jadi, ada empat target kelompok ini menghabisi nyawa tokoh nasional,” ujarnya.

Saat ditanya apakah tokoh nasional yang dimaksud adalah pejabat negara, Iqbal membenarkan. “Pejabat negara. Tapi bukan presiden. Tapi bukan kapasitas saya menyampaikan ini. Nanti kalau sudah mengerucut baru dikasih tahu,” kata dia.

Selain empat pejabat negara, belakangan HK juga mendapat perintah untuk membunuh seorang pemimpin lembaga survei. “Terdapat perintah lain melalui tersangka AZ untuk bunuh satu pemimpin lembaga swasta. Lembaga survei. Dan tersangka tersebut sudah beberapa kali menyurvei rumah tokoh tersebut. Dan tersangka IR sudah mendapat uang sebesar Rp5 juta,” ujar Iqbal.

Untungnya, pembunuh bayaran itu ditangkap polisi beserta sejumlah barang bukti seperti senjata api laras panjang dan laras pendek beserta peluru dan rompi antipeluru. Saat ini, HK beserta dua rekannya AZ, TJ dan IR yang mencoba melakukan upaya pembunuhan sudah ditetapkan sebagai tersangka. Begitu juga AF dan AD selaku penyuplai senjata.

Keenam tersangka diduga adalah pelaku kejahatan professional dan sudah berpengalaman menggunakan senjata api.

Mereka telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kepemilikan senjata api ilegal dengan ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara.

Namun, otak yang meminta melakukan pembunuhan ini, polisi mengaku masih melakukan pendalaman.

Pelaku Turut Membaur

Pada aksi massa tanggal 21 Mei 2019 di depan kantor Bawaslu RI di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat, HK dan kawan-kawan turut hadir membaur dengan massa aksi. Mereka bertujuan menciptakan korban sebagai martir, agar terjadi kerusuhan.

“Tersangka HK dengan membawa 1 pucuk senpi beserta tim turun ke depan bercampur dengan massa aksi pada 21 mei untuk melakukan aksinya dengan massa aksi lainnya. “ kata M. Iqbal.

Dalam rilis itu polisi menunjukan barang bukti berupa senpi rakitan yang diduga senjata organik illegal yang didapat dari seorang tersangka perempuan.

“Senjata ini ada teleskopnya. Jadi diduga kuat emang ingin menghabisi dari jarak jauh, walau rakitan ini efeknya luar biasa.” kata Muhammad Iqbal.

Polisi juga menemukan barang bukti sebuah rompi anti peluruh bertuliskan polisi. Sehingga polisi juga sedang mendalami motif kelompok ini untuk membentuk citra bahwa polisi melakukan kekerasan terhadap massa aksi.

Sementara itu, Polri menyatakan hingga kini pihaknya masih menelusuri keterkaitan antara senjata yang dimiliki kelompok ini dengan kasus tewasnya sejumlah korban dalam kerusuhan pada 22 Mei 2019 lalu yang saat ini ditangani tim pencari fakta bentukan Polri bersama sejumlah lembaga independen lainnya.

Dalam pemaparannya Muhammad Iqbal kembali menegaskan bahwa kelompok ini bukanlah peserta aksi damai. Tapi pelaku kejahatan kerusuhan.

Kelompok ini juga berbeda dari 2 kelompok lainnya yang sudah diungkapkan polisi sebelumnya. Yakni kelompok preman bayaran dan kelompok teroris yang hendak menunggangi aksi massa untuk menjalankan aksi jihadnya.

“Kelompok ini sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Menkopolhukan dan Kapolri sebelumnya. Fakta hukumnya beda. Tersangkanya beda dan senjata apinya juga beda. Berarti ada 3 kelompok penunggang gelap. Bisa jadi masih ada kelompok lain yang belum berhasil kami tangkap dan identifikasi,” tambahnya.

Pasca kerusuhan aksi massa 21-22 Mei 2019, selain mengungkap 3 kelompok penunggang aksi massa menolak hasil pemilu 2019 ini, polisi juga telah menangkap 442 tersangka perusuh lainnya. Hingga saat ini polisi masih menyelidiki keterkaitan para perusuh dengan kelompok-kelompok tersebut.

Temuan Komnas HAM Dukung Temuan Polri

Sementara itu, Komnas HAM mendesak agar polisi segera mengungkap siapa dalang di balik kelompok-kelompok yang menunggangi aksi massa 21-22 Mei 2019.

Apalagi kerusuhan ini telah memakan korban, ratusan warga luka-luka, dan 8 orang meninggal dunia. Korban tewas diketahui terkena peluru tajam.

Komisioner Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan temuan sementara yang diperoleh lembaganya sedikit mendukung temuan yang dipaparkan oleh kepolisian.

“Salah satu korban remaja yang kami wawancarai, tangannya tertembak peluru tajam. Dia bilang dia tidak tahu dari mana datangnya peluru itu. Dan ini berbeda dengan keterangan korban lainnya yang tertembak peluru karet. Mereka mengaku melihat langsung pasukan yang menembaki mereka ketika pecah kerusuhan ada aksi bakar mobil.” katanya.

“Ini menguatkan indikasi memang ada sniper seperti yang dikatakan Kapolri. Polisi harus cari siapa sniper itu dan kelompok mana yang menembakan peluru tajam,” katanya.

Komnas HAM telah menerima berbagai aduan dari organisasi masyarakat (ormas) pascaperistiwa kerusuhan pada 21 dan 22 Mei 2019. Sebagian besar, pengaduan berkaitan dengan dugaan tindakan kesewenang-wenangan aparat kepolisian.

Komnas HAM menolak bergabung dengan tim pencari fakta kerusuhan 21-22 Mei 2019 yang dibentuk polisi. Sebaliknya Komnas HAM membentuk tim khusus sendiri untuk mengusut peristiwa kekerasan tersebut.

“Bukan kami tidak bersedia. Tapi UU yang memayungi kami tidak memungkinkan untuk itu. Makanya kami membentuk tim khusus sendiri. Kami juga melibatkan pihak lain dan pakar yang berpengalaman dalam hal ini,” Kata Ahmad Taufan Damanik.

Selain Komnas HAM, Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan juga meminta Polri segera mengambil tindakan hukum terhadap pihak yang bertanggung jawab atas kerusuhan 21 dan 22 Mei 2019 di Jakarta.

Apalagi, Menkopolhukkam Wiranto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah menyatakan ada orang kuat yang mendesain kerusuhan, dan memanfaatkan demonstrasi damai untuk kepentingan politik mereka.

Selain itu, ujar Bara, berdasar pengakuan aparat juga terjadi pengerahan massa dari luar Jakarta, serta ditemukan sejumlah uang diduga untuk membayar oknum perusuh.

“Jadi, jelas sekali ada pihak yang memberikan dana terhadap aksi tersebut. Jadi itu bisa dikatakan sebagai sebuah tindakan yang menyebar teror dan itu tidak bisa ditoleransi,” kata Bara di gedung DPR, Jakarta, Senin (27/5).

Menurut Bara, yang mesti diberikan tindakan hukum bukan hanya kepada ratusan pelaku lapangan, tetapi elite yang diduga mendesain ini dengan motif politiknya juga harus ditindak. Bara menegaskan, orang semacam ini tidak punya ruang demokrasi di Indonesia.

“Jadi, kita tidak bisa bernegosiasi dengan orang-orang ini karena sangat berbahaya dan mereka merupakan pengkhianat menyebar teror untuk tujuan politiknya,” ujar Bara.

Kepada pemerintah dan polisi, Bara meyakinkan bahwa rakyat berdiri di belakang mereka dan mendukung mengambil langkah yang diperlukan agar siapa pun yang bertanggung jawab bisa ditindak. (boy/cuy/jpnn/kps)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/