Menurut masyarakat tiga sektor yang disinyalir berpotensi korupsi terjadi di kepolisian (58,6%), penerimaan PNS (57,1%) dan implementasi anggaran pemerintah (56,9%). Saat dilakukan tabulasi silang antara persepsi masyarakat terhadap penyebaran tingkat korupsi dengan provinsi over-sampel, menunjukkan terjadinya perbedaan di setiap sektor. Persepsi terhadap potensi penyebaran korupsi yang tertinggi di pelayanan kesehatan disampaikan oleh 45,6 responden di Jawa Barat, sekolah (tertinggi di Jawa Barat; berhubungan dengan universitas negeri (tertinggi di Sumut; pengadaan barang dan jasa (tertinggi di Jawa Barat): berhubungan dengan polisi (tertinggi di Jawa Tengah); PNS (tertinggi di Sumut) dan pengurusan administrasi publik (tertinggi di Riau).
Direktur Eksekutif CSIS, Philips J Vermote, mengungkapkan dukungan KPK tetap tinggi tapi tidak naif dalam pemberantasan korupsi. “Sebanyak 86,2 persen masyarakat masih mempercayai KPK. Kepercayaan tersebut berdasarkan atas kerja penindakan. Dukungan publik terhadap KPK tinggi, publik paham keterbatasan dan berharap KPK bekerja lebih baik lagi. Hal-hal perlu diperhatikan adalah peningkatan kerja di daerah, upaya pencegahan yang lebih kuat dan pembatasan pengaruh politik pada suatu bangsa,” jelasnya.
Menurutnya, hakekat korupsi dari kesimpulan survei yang mereka lakukan adalah kekuasaan dan bukan uang. “Responden mengutarakan pengalamannya terkait korupsi. Mereka berulangkali mengutarakan dalam forum diskusi, rasa frustasi bahkan mengutuk transaksi yang melibatkan korupsi. Merasa tidak memiliki kekuatan dan bergantung pada belas kasihan petugas/pejabat,” katanya lagi.
Kesimpulan lain dari praktek korup, yakni menawarkan sejumlah uang agar dapat mengontrol kekuasaan. Selanutnya coba menolak terlibat dalam praktik suap-menyuap, seringkali gagal karena tidak ada pilihan lain. “Upaya pemberantasan korupsi harus mampu mengurangi monopoli kekuasaan dan menanamkan rasa percaya diri masyarakat,” pungkasnya. (prn/ije)