Di sisi lain dari hasil monitoring itu, diakui Isfan bahwa peternak menyebut dari harga pengecekan hewan sudah termasuk biaya pada SKKH. “Kita memang tidak tanya harganya berapa, namun mereka menjawab sudah tercantum pada SKKH. Selama pemantauan ke beberapa lokasi itu sangat bagus, sapi-sapinya juga cukup bagus. Mulai dari 80 kg sampai 1 ton juga sudah kami lihat,” pungkasnya.
Pengamat ekonomi dan bisnis Gunawan Benjamin mengaku sangat setuju jika bobot sapi yang mau dipotong itu ditimbang beratnya, bukan ditaksir.
“Penaksiran yang dilakukan sebelumnya seakan-akan menunjukan bahwa kita tidak memiliki investasi yang dinilai murah seperti tidak memiliki timbangan sapi tersebut. Ini budaya yang keliru menurut saya. Tidak transparan, tidak adil tentunya dan cenderung memunculkan kecurigaan bahwa penaksiran ini sengaja dilakukan untuk memberikan keuntungan kepada oknum atau pihak tertentu,” katanya.
Menurut dia praktik seperti ini juga bisa menurunkan kredibilitas PD RPH. Kecuali jika penaksiran tersebut menguntungkan peternak. “Tapi apa mungkin bentuknya seperti itu. Saya pikir sangat tidak mungkin. Yang besar kemungkinannya adalah ada oknum tertentu yang mengambil keuntungan yang nantinya akan merugikan si peternaknya. Oknum yang diuntungkan tersebut benar-benar merusak nama baik RPH itu sendiri,” katanya.
Penghitungan melalui taksiran sudah pasti tidak syariah, sehingga cenderung tidak adil dan tidak jujur. Praktek-praktek berbisnis seperti ini tentunya sangat merugikan banyak pihak. Dirinya juga mendukung niat RPH menjalin kerjasama dengan MUI guna membahas masalah ini. “Saya pikir ini langkah yang sangat tepat. Jangan ada lagi praktek-praktek serupa di masa yang akan datang. Zaman sudah berkembang dengan teknologi yang tinggi. Ada timbangan konvensional dan digital, masa kita masih pake taksiran, ini aneh namanya. Gak wajar menurut saya,” pungkasnya. (prn)