MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Sumut belum menyikapi rencana kenaikan BPIH tahun 2019 sebesar Rp627.198 dibanding tahun ini, yang diusulkan Kemenag ke DPR Kepala Bidang (Kabid) Haji melalui Kepala Seksi Pembinaan Haji dan Umroh Kemenag Sumut, Drs H Farhan Indra MA mengatakan, rencana kenaikan itu masih sebatas usulan, yang nantinya akan dirapatkan terlebih dahulu di DPR RI.
“Kenaikan BPIH yang diusulkan pemerintah ini, harus dibicarakan di DPR dulu. Mungkin pemerintah mengusul, apa hasil pembicaraan itu baru disampaikan ke masyarakat. Jadi masih belum final,” ungkapnya kepada Sumut Pos, Senin (27/11).
Jika seandainya usulan tersebut disahkan, tentunya akan berlaku secara nasional. “Artinya, kalau naik di Jakarta, naiklah di Sumatera, naiklah di Kalimantan dan daerah lainnya. Cuma bedanya letaknya di zona dan embarkasi. Jadi semakin dekat jarak embarkasi ke Mekkah, otomatis biayanya murah. Contohnya Aceh dan Medan itu yang paling dekat. Sementara yang jauh itu, Sulawesi dan Kalimantan karena jarak embarkasi mereka itu menempuh perjalanan yang jauh,” terang Farhan.
Sementara, faktor yang menyebabkan kenaikan BPIH ini terjadi lantaran fluktuasi dollar, kebijakan pemerintah Arab Saudi yang menaikan transportasi dan untuk meningkatkan pelayanan jamaah. Artinya, seiring berlakunya usulan kenaikan BPIH ini, sudah tentu pelayanan terhadap jamaah akan terus ditingkatkan.
“Untuk tahun ini, tingkat kepuasan jamaah haji berdasarkan data BPS sangat memuaskan dengan indeks kumulatifnya 85,25 persen. Jadi dari hari ke hari, tingkat kepuasan jamaah haji itu semakin naik,” sebutnya.
Dia mencontohkan, bila pada musim haji sebelumnya, jika makan di Mekkah tidak diberi, pada haji musim lalu (2018) jamaah sudah diberi makan. “Kemudian sewa hotel di Madinah sudah flat tidak lagi menunggu-nunggu, kapan aja bisa masuk. Kemudian jamaah kita tidak campur lagi dengan bangsa negara lain. Ada 10 kebijakan pak Menteri yang diusulkannya, termasuk yang di Mekkah 40 kali makan,” jelasnya.
Dari daftar tunggu jamaah haji asal Sumut yang berkisar 14 tahun, tidak akan dibebankan terkait usul kenaikan BPIH ini. “Tidak. Jadi ongkos musim haji berlaku pada musim haji keberangkatan. Bisa jadi tahun depan murah biayanya, Jadi nggak tetap harus segitu,” kata Farhan.
Selain itu, kuota jamaah haji Sumut pada musim depan tidak akan berubah dari tahun lalu. “Kuota haji tetap 8.292 untuk di Sumut. Hingga kini belum penambahan kuota dari pemerintah pusat dari jamaah yang masuk dalam daftar tunggu,” pungkasnya.
Komisi VIII: Psikologinya Luar Biasa
Terkait usulan Kemenag mengenai Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2019 sebesar USD 2.675 atau setara Rp39 juta (asumsi kurs 14.586 per USD), atau naik USD 43 (Rp627.198) dari 2018, Komisi VIII menilai, secara psikologis angka kebaikannya masih terbilang besar.
“Padahal (memang) tidak terlalu besar, tidak sampai USD 100 seperti (kenaikan) tahun lalu. Tapi yang namanya naik, itu psikologinya luar biasa,” ujar anggota Komisi VIII dari Fraksi PKB Marwan Dasopang kepada wartawan, Selasa (27/11).
Menurut dia, saya secara psikologis dirasakan oleh masyarakat, kenaikan itu juga akan berpengaruh terhadap isu politik menjelang Pemilu dan juga Pilpres yang akan berlangsung tahun depan. “Bagi kami, anggota DPR, untuk tahun politik (kenaikan BPIH) itu berbahaya,” ucapnya.
Oleh karena itu, pemerintah disarankan untuk mematangkan biaya yang rencananya akan dipungut dengan nilai tukar (kurs) dolar Amerika Serikat tersebut. Pasalnya, kondisi rupiah terhadap USD tidak bisa diprediksi dan terus mengalami fluktuasi.
“Maka menetapkan besaran nilai mata rupiah ke dolar itu harus secara hati-hati. Itu yang kita perlukan. Kalau usulan katakan itu tadi (kurs dolar) Rp 14.458, sementara di APBN kita menetapkan sampai Rp15.000. Kalau itu sebuah perkiraan yang menjadi ketetapan itu bisa berbahaya,” tutur dia.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengungkapkan, pihaknya masih mengkaji usulan Menteri Agama itu. “Kita sedang mencoba untuk ke Panja (Panitia Kerja) Komisi VIII DPR RI, soal haji ini masih mengkajinya secara detail,” ujar Ace, Selasa (27/11).
Menurutnya, jika penetapannya mengacu pada rupiah, akan ada fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Akibatnya, muncul selisih biaya yang harus ditanggung negara. Namun menurut Ace, pengeluaran dengan masing-masing mata uang masih perlu dikaji secara mendalam. “Menurut saya itu tidak bisa digeneralisasi, harus dikaji komponen-komponen mana saja yang memang proses pembiayaannya itu menggunakan rupiah, menggunakan dollar dan mana yang menggunakan riyal,” jelas dia.
Selain itu, Ace menuturkan, hal lain yang masih dikaji mendalam adalah pengaruh fluktuasi tersebut terhadap pengeluaran negara maupun terhadap biaya haji yang harus dibayarkan jamaah.
Sebelumnya, Menag Lukman Hakim mengatakan, pada 2018, muncul selisih yang cukup besar antara biaya yang telah dilunasi oleh jemaah dengan biaya belanja di lapangan karena saat itu nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS. Beberapa komponen yang harganya ikut melambung di antaranya ialah avtur.
Pemerintah melalui kementerian agama harus menganggarkan Rp530 miliar untuk menutup selisih tersebut. “Jadi konsekuensi kemarin 2018 karena ditetapkan dengan rupiah, pada saat ditetapkan pada saat pelaksanaan ternyata mata uang rupiah melemah terhadap dollar AS sehingga harus membayar selisihnya itu dari save guarding,” ujar Lukman. “Dan cukup besar sampai Rp500 miliar untuk itu, oleh karenanya di 2019 sebaiknya kita tak mengulang peristiwa seperti itu,” lanjut dia. (man)