
NYOBLOS_Seorang warga menggunakan hak pilih nya pada pilkada sumut 2018 di TPS 16 Jalan Sampul Medan, Rabu (27/6) Masyarakat Sumut melakukan pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur Sumut, Pilkada serentak juga di lakukan di berbagai daerah di indonesia.
Kekuatan Partai, Ketokohan, dan Momentum
Sementara, jika melihat hasil quick count Pilgub Sumut 2018 yang dimenangkan pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah, pengamat politik dan pemerintahan dari UMSU Rio Affandi Siregar melihat ada sejumlah faktor yang punya pengaruh dalam menentukan perolehan suara di Pilgub Sumut kali ini. Meskipun hasilnya belum final, namun dia menilai ada tiga sudut pandang yang bisa ditarik, yakni kekuatan mesin partai, ketokohan serta momentum dalam menarik simpati pemilih.
“Faktor pertama harus kita akui kekuatan mesin partai punya peran dalam prosesnya. Bagaimana jumlah partai pendukung Edy-Ijeck itu lebih banyak dari Djarot-Sihar. Sehingga hal itu wajar saja,” ujar Rio kepada Sumut Pos, kemarin.
Namun menurutnya, yang menjadi perhatian adalah bagaimana kekuatan partai pengusung Djoss itu, yakni PDIP dan PPP ditambah PKPI sebagai pendukung bisa mendapatkan suara hingga 43 persen. Sebab dari jumlah partai, hampir dapat dikatakan bahwa partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini merupakan pemain tunggal melawan koalisi partai politik. Sebab kekuatan koalisinya hampir tidak terlihat berperan besar dalam upaya pemenangan.
“Ini menunjukkan PDIP adalah partai yang kuat, solid dan pantas diperhitungkan. Jika dilihat dari statistiknya, maka persentase yang didapat paanfna Djarot-Sihar itu cukup signifikan. Apalagi kita tahu, sosok Djarot sendiri baru diperkenalkan di saat pencalonan kan,” sebutnya.
Faktor berikutnya, lanjut Rio, adalah ketokohan yang dimiliki masing-masing pihak. Isi putra daerah katanya, masih begitu melekat di sebagian besar masyarakat Sumut. Meskipun seorang Sihar merupakan putra keturunan asli dari provinsi ini, namun posisi sebagai Wakil menurutnya mempengaruhi animo masyarakat.
“Kalau ketokohan, sebenarnya sosok Djarot kurang kuat. Apalagi beliau kan pernah mendampingi Ahok yang sempat menjadi isu nasional, dan kalah di Pilgub DKI. Maka ketepatan memilih sosok calon juga bisa jadi faktor penentu,” sebutnya yang membandingkan pasangnya Edy-Ijeck yang sudah bersosialisasi setahun sebelumnya.
Sedangkan faktor yang menurut Rio juga begitu mempengaruhi perolehan adalah momentum yang digunakan untuk sosialisasi dan konsolidasi beberapa kekuatan ormas di saat memasuki Ramadhan dan Idul Fitri. Hal ini yang kemudian dapat mengubah dinamika politik yang datangnya pada saat menjelang hari pemungutan suara.
“Namanya saat akhir atau last minute, biasanya politik itu bisa berubah seketika. Kita lihat, momentum ini yang digunakan Edy-Ijeck untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Ditambah lagi isu yang dibangun juga menguntungkan posisi mereka. Jadi bisa dibilang, mereka berhasil merebut simpati rakyat,” katanya.
Rio pun menilai, ketiga faktor tersebut saling berkaitan dan harus dijaga. Sehingga meskipun diertengaha masa kampanye, kans Eramas untuk menang masih kecil, namun di penghujung, justru keadaan berbalik. “Dari survey yang dilakukan pada masa kampanye, justru posisi Eramas mengkhawatirkan. Tetapi lagi-lagi kita harus bicara politik yang bisa berubah justru di menit-menit akhir,” sebutnya. (bal)

