25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Ribuan Bayi Diguling-gulingkan, Para Pemuda Minta Disuapi

Foto: Bayu Putra/Jawa Pos/JPNN.com FESTIVAL LANGKA: Para turis asing peserta Sail Raja Ampat 2014 mampir ke Buton untuk menyaksikan festival budaya tua di pulau itu.
Foto: Bayu Putra/Jawa Pos/JPNN.com
FESTIVAL LANGKA: Para turis asing peserta Sail Raja Ampat 2014 mampir ke Buton untuk menyaksikan festival budaya tua di pulau itu.

SUMUTPOS.CO – Verli Salsabila tampak terkejut saat tiba-tiba ada tangan keriput yang mengambil dirinya dari gendongan Marlina, ibunya. Bayi setahun itu kemudian berhadapan muka dengan ina (nenek) Woe, salah seorang sesepuh di Kecamatan Batauga, Buton, yang akan ’’meruwat’’-nya.

Sejurus kemudian, ina Woe membalik badan Verli. Wajah bayi itu lalu didekatkan ke tungku arang kelapa yang masih mengeluarkan asap. Sontak, Verli menangis kencang dan memberontak karena kepanasan.

Namun, perempuan 85 tahun tersebut tidak peduli. Setelah beberapa kali mendekatkan wajah si bayi ke tungku, dia merebahkannya dalam posisi tengkurap di atas selembar daun pisang yang telah diolesi minyak kelapa. Dia juga memercikkan air ke punggung bayi tersebut dengan tangkai-tangkai tanaman yang masih berdaun.

Urutan berikutnya, tubuh Verli digulingkan beberapa kali di atas daun pisang tersebut sehingga tangisnya semakin kencang. Prosesi yang disebut Pedhole-dole itu berlangsung hanya beberapa menit, namun membuat si bayi ’’menderita’’. Tetapi, Marlina, sang ibu yang masih berusia 19 tahun, bukannya kasihan melihat anaknya ’’disiksa’’. Dia justru tampak gembira melihat bayinya diguling-gulingkan sampai menangis sejadi-jadinya.

Verli hanyalah satu di antara 1.445 balita yang ikut dalam upacara Pedhole-dole masal di Lapangan Pasarwajo, Buton, Jumat (22/8). Prosesi itu dulu merupakan ritual wajib bagi bayi yang baru lahir di Kerajaan Wolio-Buton. Tujuannya, si bayi tumbuh sehat dan terhindar dari penyakit.

Menurut Waladu, salah seorang perempuan yang dituakan di Kecamatan Kaindea, Pedhole-dole merupakan upacara yang ditradisikan nenek moyang orang Buton untuk menyambut bayi yang baru lahir. Namun, dalam perkembangannya, terjadi beberapa penyesuaian. Misalnya, bila dulu bayi ’’diruwat’’ sehari setelah dibawa pulang dari bidan atau tempat persalinan, sekarang balita berumur setahun pun bisa ikut diupacarakan.

’’Yang penting, ini upacara agar anak tidak kurus dan sakit-sakitan,’’ tutur perempuan asal suku Cia-Cia itu.

Dalam tradisi Buton, pada bayi atau anak balita yang telah menjalani prosesi Pedhole-dole, akan tumbuh sugesti positif kepada orang tua bayi. Orang tua akan yakin sang buah hati tumbuh sehat karena ritual tersebut difungsikan sebagai imunisasi. Dan terbukti, anak yang semasa kecilnya menjalani upacara Pedhole-dole jarang sakit.

’’Boleh percaya atau tidak, seperti itu kenyataannya,’’ ujar Waladu.

Dalam festival yang melibatkan ribuan warga Buton itu juga dilangsungkan upacara Peka Kande-kandea. Ritual tersebut dulu merupakan pesta syukuran menyambut prajurit Kesultanan Buton yang pulang dari medan perang. Kini tradisi itu menjadi ajang mencari jodoh.

Dalam tradisi masyarakat Buton yang tertutup, Peka Kande-kandea menjadi arena bertemunya para gadis dengan pria lajang yang hendak menyatakan cinta. Mereka dipertemukan dalam sebuah upacara untuk melihat kemungkinan apakah keduanya akan berjodoh.

Dalam ritual tersebut, sang gadis yang mengenakan pakaian tradisional Buton duduk menunggu pria yang hendak mengutarakan isi hatinya. Gadis itu menyiapkan sebuah meja makan mini berbentuk bulat yang disebut talang. Di atasnya tersaji berbagai makanan khas pulau itu.

Ketika sang lelaki lajang tiba, dia harus melakukan prosesi Tompa. Yakni, melantunkan syair Dlouna-una yang berisi ungkapan perasaan kepada sang gadis. Selanjutnya, jika sang gadis berkenan, tamu lelaki tersebut dipersilakan memilih makanan yang tersedia. Setelah itu, sang gadis menyuapi tamu lelaki sebagai tanda bahwa dia menerima cintanya.

Setelah makan, sang lelaki akan mohon pamit dan menyerahkan hadiah kepada sang gadis yang sudah bersedia melayani makan. Hadiah itu akan diselipkan di antara piring-piring makanan yang tersaji di atas talang. Ritual Peka Kande-kandea kemarin juga dimasalkan. Sedikitnya 2.009 perempuan beserta talangnya ikut menyambut para tamu Sail Raja Ampat 2014 yang mampir ke Buton sebelum berlayar menuju Raja Ampat, Papua Barat.

Beberapa pemuda, terutama tamu dari luar Buton, tampak memanfaatkan ajang itu untuk mencari jodoh. ’’Kapan lagi disuapi gadis cantik asal Buton,’’ ujar Ahmad, salah seorang peserta.

Pedhole-dole maupun Peka Kande-kandea kini memang sudah jarang dilakukan masyarakat Buton. Namun, dua tahun terakhir Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiunberusaha menghidupkan kembali tradisi warisan nenek moyang itu dengan menggelar Festival Budaya Tua Buton.

Menurut Bupati Samsu Umar, bagi masyarakat Buton, seni budaya merupakan sarana pemersatu. Meski tinggal di satu pulau, masyarakat Buton terdiri atas banyak suku yang menggunakan empat bahasa ibu. Yakni, bahasa Wuna, Cia-Cia, Tolaki, dan Wolio.

’’Zaman bisa berubah, tapi budaya akan tetap bertahan sampai kapan pun,’’ ujarnya.

Sejak menjabat bupati pada 2012, Umar terus mengampanyekan kebangkitan budaya tua Buton. Perlahan masyarakat diajak menghidupkan kembali budaya-budaya asli tersebut. Hasil ikhtiar itu kini mulai terlihat. Hal tersebut ditandai penyelenggaraan Festival Budaya Tua Buton mulai tahun lalu.

Festival Budaya Tua Buton tahun ini, kata Umar, lebih meriah jika dibandingkan dengan tahun lalu. Masyarakat yang terlibat maupun yang menonton jauh lebih banyak. Apalagi kali ini berbarengan dengan Sail Raja Ampat yang diselenggarakan di Papua Barat, namun jalur pelayaran peserta melewati kawasan Pulau Buton.

’’Sebagian peserta sempat belok, turun ke darat, dan menyaksikan festival Buton,’’ tutur Umar.

Para peserta disuguhi berbagai upacara adat dan diakhiri dengan pergelaran tari kolosal Bentena Butuni yang diikuti 20 ribu penari. ’’Festival ini kami persiapkan untuk menyambut program Visit Buton 2016,’’ lanjut bupati 48 tahun itu.

Masyarakat Buton memang tampak antusias mengikuti festival budaya tua daerahnya. Selama dua hari pelaksanaan festival, warga menyemut di Lapangan Pasarwajo dan Bukit Takawa. Tidak banyak aparat keamanan yang berjaga. Bahkan, pada pergelaran tari kolosal, hanya puluhan petugas kepolisian yang mengamankan jalannya acara.

Umar memastikan Festival Budaya Tua Buton akan rutin digelar setiap tahun. Selain menumbuhkan kesadaran budaya kuno kepada masyarakat Buton, festival tersebut bisa dijual sebagai potensi pariwisata. Otomatis, wisatawan dalam negeri dan mancanegara bisa tertarik untuk berkunjung ke pulau penghasil aspal itu.

Festival Budaya Tua Buton juga menghadirkan sebuah permainan bernama kamomose. Permainan itu berfungsi menghidupkan tali silaturahmi antarmasyarakat. Pesertanya para gadis berpakaian adat yang diibaratkan sedang dalam pingitan dan menunggu jodohnya. Mereka disebut sebagai kamose.

Mereka didudukkan berjajar dan di hadapan mereka terdapat sebuah keranjang yang disebut sikhipua. Begitu gong dipukul tanda permainan dimulai, para pembesar negeri, tokoh adat, dan disusul masyarakat akan berjalan mengelilingi para gadis itu untuk memberikan hadiah. Caranya dengan melemparkan hadiah tersebut ke dalam sikhipua.

Laki-laki yang merasa jatuh cinta pada salah seorang gadis di situ akan melemparkan hadiah berupa uang atau bahkan emas. Harapannya, gadis yang diidamkan akan menerima persembahan cintanya.

Para peserta Sail Raja Ampat 2014 yang turun ke darat begitu antusias mengikuti berbagai acara dalam festival tersebut. ”Ini budaya yang sangat indah. Permainannya, makanannya, sungguh luar biasa. Kami menyukainya,” ujar Nick Mercer, warga Inggris yang datang bersama istrinya, Kathy Smith, dalam bahasa Inggris.

Mereka ikut Sail Raja Ampat dengan menggunakan kapal Impala. Namun, sebelum sampai di tempat tujuan, kapal mereka mampir ke Buton untuk menyaksikan festival langka itu. ”Saya akan tinggal lama di Indonesia. Saya tertarik dengan pemandangan alam dan atraksi budayanya yang unik,” tandas Mercer. (*/c5/c9/ari)

Foto: Bayu Putra/Jawa Pos/JPNN.com FESTIVAL LANGKA: Para turis asing peserta Sail Raja Ampat 2014 mampir ke Buton untuk menyaksikan festival budaya tua di pulau itu.
Foto: Bayu Putra/Jawa Pos/JPNN.com
FESTIVAL LANGKA: Para turis asing peserta Sail Raja Ampat 2014 mampir ke Buton untuk menyaksikan festival budaya tua di pulau itu.

SUMUTPOS.CO – Verli Salsabila tampak terkejut saat tiba-tiba ada tangan keriput yang mengambil dirinya dari gendongan Marlina, ibunya. Bayi setahun itu kemudian berhadapan muka dengan ina (nenek) Woe, salah seorang sesepuh di Kecamatan Batauga, Buton, yang akan ’’meruwat’’-nya.

Sejurus kemudian, ina Woe membalik badan Verli. Wajah bayi itu lalu didekatkan ke tungku arang kelapa yang masih mengeluarkan asap. Sontak, Verli menangis kencang dan memberontak karena kepanasan.

Namun, perempuan 85 tahun tersebut tidak peduli. Setelah beberapa kali mendekatkan wajah si bayi ke tungku, dia merebahkannya dalam posisi tengkurap di atas selembar daun pisang yang telah diolesi minyak kelapa. Dia juga memercikkan air ke punggung bayi tersebut dengan tangkai-tangkai tanaman yang masih berdaun.

Urutan berikutnya, tubuh Verli digulingkan beberapa kali di atas daun pisang tersebut sehingga tangisnya semakin kencang. Prosesi yang disebut Pedhole-dole itu berlangsung hanya beberapa menit, namun membuat si bayi ’’menderita’’. Tetapi, Marlina, sang ibu yang masih berusia 19 tahun, bukannya kasihan melihat anaknya ’’disiksa’’. Dia justru tampak gembira melihat bayinya diguling-gulingkan sampai menangis sejadi-jadinya.

Verli hanyalah satu di antara 1.445 balita yang ikut dalam upacara Pedhole-dole masal di Lapangan Pasarwajo, Buton, Jumat (22/8). Prosesi itu dulu merupakan ritual wajib bagi bayi yang baru lahir di Kerajaan Wolio-Buton. Tujuannya, si bayi tumbuh sehat dan terhindar dari penyakit.

Menurut Waladu, salah seorang perempuan yang dituakan di Kecamatan Kaindea, Pedhole-dole merupakan upacara yang ditradisikan nenek moyang orang Buton untuk menyambut bayi yang baru lahir. Namun, dalam perkembangannya, terjadi beberapa penyesuaian. Misalnya, bila dulu bayi ’’diruwat’’ sehari setelah dibawa pulang dari bidan atau tempat persalinan, sekarang balita berumur setahun pun bisa ikut diupacarakan.

’’Yang penting, ini upacara agar anak tidak kurus dan sakit-sakitan,’’ tutur perempuan asal suku Cia-Cia itu.

Dalam tradisi Buton, pada bayi atau anak balita yang telah menjalani prosesi Pedhole-dole, akan tumbuh sugesti positif kepada orang tua bayi. Orang tua akan yakin sang buah hati tumbuh sehat karena ritual tersebut difungsikan sebagai imunisasi. Dan terbukti, anak yang semasa kecilnya menjalani upacara Pedhole-dole jarang sakit.

’’Boleh percaya atau tidak, seperti itu kenyataannya,’’ ujar Waladu.

Dalam festival yang melibatkan ribuan warga Buton itu juga dilangsungkan upacara Peka Kande-kandea. Ritual tersebut dulu merupakan pesta syukuran menyambut prajurit Kesultanan Buton yang pulang dari medan perang. Kini tradisi itu menjadi ajang mencari jodoh.

Dalam tradisi masyarakat Buton yang tertutup, Peka Kande-kandea menjadi arena bertemunya para gadis dengan pria lajang yang hendak menyatakan cinta. Mereka dipertemukan dalam sebuah upacara untuk melihat kemungkinan apakah keduanya akan berjodoh.

Dalam ritual tersebut, sang gadis yang mengenakan pakaian tradisional Buton duduk menunggu pria yang hendak mengutarakan isi hatinya. Gadis itu menyiapkan sebuah meja makan mini berbentuk bulat yang disebut talang. Di atasnya tersaji berbagai makanan khas pulau itu.

Ketika sang lelaki lajang tiba, dia harus melakukan prosesi Tompa. Yakni, melantunkan syair Dlouna-una yang berisi ungkapan perasaan kepada sang gadis. Selanjutnya, jika sang gadis berkenan, tamu lelaki tersebut dipersilakan memilih makanan yang tersedia. Setelah itu, sang gadis menyuapi tamu lelaki sebagai tanda bahwa dia menerima cintanya.

Setelah makan, sang lelaki akan mohon pamit dan menyerahkan hadiah kepada sang gadis yang sudah bersedia melayani makan. Hadiah itu akan diselipkan di antara piring-piring makanan yang tersaji di atas talang. Ritual Peka Kande-kandea kemarin juga dimasalkan. Sedikitnya 2.009 perempuan beserta talangnya ikut menyambut para tamu Sail Raja Ampat 2014 yang mampir ke Buton sebelum berlayar menuju Raja Ampat, Papua Barat.

Beberapa pemuda, terutama tamu dari luar Buton, tampak memanfaatkan ajang itu untuk mencari jodoh. ’’Kapan lagi disuapi gadis cantik asal Buton,’’ ujar Ahmad, salah seorang peserta.

Pedhole-dole maupun Peka Kande-kandea kini memang sudah jarang dilakukan masyarakat Buton. Namun, dua tahun terakhir Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiunberusaha menghidupkan kembali tradisi warisan nenek moyang itu dengan menggelar Festival Budaya Tua Buton.

Menurut Bupati Samsu Umar, bagi masyarakat Buton, seni budaya merupakan sarana pemersatu. Meski tinggal di satu pulau, masyarakat Buton terdiri atas banyak suku yang menggunakan empat bahasa ibu. Yakni, bahasa Wuna, Cia-Cia, Tolaki, dan Wolio.

’’Zaman bisa berubah, tapi budaya akan tetap bertahan sampai kapan pun,’’ ujarnya.

Sejak menjabat bupati pada 2012, Umar terus mengampanyekan kebangkitan budaya tua Buton. Perlahan masyarakat diajak menghidupkan kembali budaya-budaya asli tersebut. Hasil ikhtiar itu kini mulai terlihat. Hal tersebut ditandai penyelenggaraan Festival Budaya Tua Buton mulai tahun lalu.

Festival Budaya Tua Buton tahun ini, kata Umar, lebih meriah jika dibandingkan dengan tahun lalu. Masyarakat yang terlibat maupun yang menonton jauh lebih banyak. Apalagi kali ini berbarengan dengan Sail Raja Ampat yang diselenggarakan di Papua Barat, namun jalur pelayaran peserta melewati kawasan Pulau Buton.

’’Sebagian peserta sempat belok, turun ke darat, dan menyaksikan festival Buton,’’ tutur Umar.

Para peserta disuguhi berbagai upacara adat dan diakhiri dengan pergelaran tari kolosal Bentena Butuni yang diikuti 20 ribu penari. ’’Festival ini kami persiapkan untuk menyambut program Visit Buton 2016,’’ lanjut bupati 48 tahun itu.

Masyarakat Buton memang tampak antusias mengikuti festival budaya tua daerahnya. Selama dua hari pelaksanaan festival, warga menyemut di Lapangan Pasarwajo dan Bukit Takawa. Tidak banyak aparat keamanan yang berjaga. Bahkan, pada pergelaran tari kolosal, hanya puluhan petugas kepolisian yang mengamankan jalannya acara.

Umar memastikan Festival Budaya Tua Buton akan rutin digelar setiap tahun. Selain menumbuhkan kesadaran budaya kuno kepada masyarakat Buton, festival tersebut bisa dijual sebagai potensi pariwisata. Otomatis, wisatawan dalam negeri dan mancanegara bisa tertarik untuk berkunjung ke pulau penghasil aspal itu.

Festival Budaya Tua Buton juga menghadirkan sebuah permainan bernama kamomose. Permainan itu berfungsi menghidupkan tali silaturahmi antarmasyarakat. Pesertanya para gadis berpakaian adat yang diibaratkan sedang dalam pingitan dan menunggu jodohnya. Mereka disebut sebagai kamose.

Mereka didudukkan berjajar dan di hadapan mereka terdapat sebuah keranjang yang disebut sikhipua. Begitu gong dipukul tanda permainan dimulai, para pembesar negeri, tokoh adat, dan disusul masyarakat akan berjalan mengelilingi para gadis itu untuk memberikan hadiah. Caranya dengan melemparkan hadiah tersebut ke dalam sikhipua.

Laki-laki yang merasa jatuh cinta pada salah seorang gadis di situ akan melemparkan hadiah berupa uang atau bahkan emas. Harapannya, gadis yang diidamkan akan menerima persembahan cintanya.

Para peserta Sail Raja Ampat 2014 yang turun ke darat begitu antusias mengikuti berbagai acara dalam festival tersebut. ”Ini budaya yang sangat indah. Permainannya, makanannya, sungguh luar biasa. Kami menyukainya,” ujar Nick Mercer, warga Inggris yang datang bersama istrinya, Kathy Smith, dalam bahasa Inggris.

Mereka ikut Sail Raja Ampat dengan menggunakan kapal Impala. Namun, sebelum sampai di tempat tujuan, kapal mereka mampir ke Buton untuk menyaksikan festival langka itu. ”Saya akan tinggal lama di Indonesia. Saya tertarik dengan pemandangan alam dan atraksi budayanya yang unik,” tandas Mercer. (*/c5/c9/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/