30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Peluang Dan Strategi Menuju Kursi Legislatif, Petahana Jual Prestasi, Caleg Baru Beri Harapan

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
SOSIALISASI: Petugas KPU Medan memberikan sosialisasi cara menyoblos kepada ibu-ibu penyandang disabilitas di Sekretariat HWDI Sumut, Jalan Sampul Medan, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Hari pencoblosan, 17 April 2019 tinggal 19 hari lagi. Seluruh calon anggota legislatif (Caleg) dari masing-masing partai politik (Parpol) peserta Pemilu semakin sibuk dengan strateginya masing-masing dalam memenangkan hati pemilihnya. Namun begitu, caleg petahana dianggap lebih berpeluang duduk kembali di lembaga legislatif, dibanding caleg baru. Mereka dinilai sudah memiliki basis massa yang jelas, plus didukung sejumlah fasilitas yang melekat pada mereka saat ini.

SOSOK caleg sangat menentukan dan berpengaruh besar untuk merebut hati rakyat dalam kontestasi ini. Terlebih bagi calon petahana yang memang sudah terbukti dan teruji kinerjanya di tengah masyarakat. “Sudah barang tentu setiap petahana pasti lebih kuat dari sisi pencitraan. Sudah punya konstituen dan kantong-kantong suara. Hanya tinggal memperkuat saja dan kemudian menebar brandingnya ke wilayah di daerah pemilihan yang selama ini belum tersentuh,” kata Pengamat politik asal Universitas Medan Area (UMA), Bimby Hidayat menjawab Sumut Pos, Jumat (29/3).

Menurutnya, masyarakat tentu akan lebih senang memilih calon yang sudah berbuat untuk mereka. “Bukan lagi sekadar mengandalkan ketokohan dan uang banyak untuk membeli suara. Sebab sekarang ini rakyat mulai cerdas berpolitik,” katanya.

Integritas personal setiap calon, kata Bimby, memang penting diutamakan, ketimbang aspek lain. Sebab ketika integritas tergerus dengan sesuatu berbau hukum, maka masyarakat tidak akan mau memercayai calon tersebut.

“Apalagi yang kita tahu walaupun pindah partai, orang yang maju itu-itu juga. Sosok yang sudah dikenal, sudah berbuat dan punya basis massa yang jelas. Akan sulit bagi calon baru pada dapil yang sama menyaingi calon petahana. Terkecuali memang si petahana tidak maju lagi dari dapil itu, atau pernah berbuat kesalahan pada masyarakat di tempatnya maju,” katanya.

Mengenai dukungan pendanaan setiap caleg, hemat dia, tergantung dari kemampuan yang sudah diperhitungkan dengan matang sebelumnya. Karena tidak selamanya kekuatan uang menjamin seseorang sukses menjadi wakil rakyat. “Logikanya kan begini, tidak mungkin seseorang itu ingin maju sebagai caleg, jika tidak untung setelah menjabat selama lima tahun. Katakanlah walau untungnya tipis, ketika dia hendak mencalon lagi ‘kan aksesnya sudah ada. Dia tidak susah lagi membina konstituen lamanya. Bahkan bisa menambah basis massa dan jaringan baru,” ujarnya.

Pembiayaan kampanye, blusukan dan sosialisasi kepada masyarakat, menurutnya memang dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tapi bagi calon yang cerdas dan sudah memetakan potensi suaranya, modal kecil juga dianggap bisa efektif untuk duduk sebagai legislator. “Paling tidak harus tersedia minimal Rp300 juta untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Itupun sudah minim sekali angkanya. Anggaplah Rp200 juta untuk bersosialisasi selama kampanye, dan Rp100 juta untuk membayar saksi mengawal suaranya di TPS,” katanya.

Bantah Merasa Diuntungkan

Caleg petahana dari Partai Demokrat Muhri Fauzi Hafiz kepada Sumut Pos, mengaku tak pernah merasa diuntungkan dan tak merasa punya peluang yang lebih besar dari caleg-caleg baru. Akan tetapi, tentu sebagai petahana dia mengaku punya strategi yang lebih matang dalam memenangkan Pemilu kali ini.

“Tidak bisa dipungkiri, kami sebagai petahana telah bekerja dan mengabdi untuk rakyat setidak-tidaknya hampir lima tahun, tentulah banyak yang sudah kita lakukan untuk masyarakat,” kata Muhri yang kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Sumut dari Dapil 12 dari Partai Demokrat dengan nomor urut 4.

Namun begitu, Muhri yang sekarang menjabat Ketua Komisi A DPRD Sumut itu mengatakan, tidak semua para Caleg petahana bisa merasa diuntungkan. “Tapi bagi mereka para Caleg petahana yang tidak bekerja dengan maksimal, malah akan menjadi kerugian. Karena tak ada prestasi yang nyata yang bisa disampaikannya kepada rakyat. Tapi kalau berprestasi tentu akan sedikit menguntungkan. Kita akan dengan lantang membeberkan apa yang sudah kita perjuangkan untuk rakyat dan kita pastikan akan terus mendengar aspirasi mereka serta terus memperjuangkannya. Walau tentu kami mengakui masih ada ‘PR’ yang harus kami kerjakan dan kami siap melanjutkannya diperiode berikutnya”, kata Muhri.

Namun, kata Muhri, semua prestasi itu bisa saja menjadi sia-sia. Muhri mengungkapkan keprihatinannya terhadap jumlah masyarakat yang masih mau memilih bukan atas dasar prestasi dan visi misi. “Tetapi kita juga sangat miris melihat masyarakat kita yang saat ini lebih memilih hal lain, misalnya ‘money politics’ ketimbang prestasi kerja. Saya sudah terjun langsung ke masyarakat untuk melihat apa maunya rakyat. Ternyata banyak juga rakyat ini yang lebih memilih ‘hadiah’ dari pada caleg yang sudah teruji. Inilah fakta di lapangan. Banyak masyarakat yang pesimis dengan pemilu,. Buat mereka pemilu tak akan mengubah nasib mereka, inilah yang harus kita luruskan”, ungkap Muhri.

Untuk saat ini, disebutkannya, selain mengungkapkan prestasi dan visi misi, dirinya juga menerapkan metode kontrak politik bagi masyarakat yang ada di daerah pemilihannya. “Saat ini saya sedang melakukan kontrak politik dengan kelompok-kelompok masyarakat di Dapil saya untuk melawan narkoba dan memperkuat perwiritan di wilayah itu. Tapi sayangnya, banyak juga yang tidak mau bahkan tidak tertarik sama sekali dengan kontrak politik itu,” tutupnya.

Sementara Kuat Surbakti, caleg Partai Amanat Nasional untuk DPRD Sumut dari daerah Pemilihan 2 beranggapan, tidak gampang mempertahankan kursi yang sudah diperoleh pada periode sebelumnya. Menurut dia, setiap momen pemilihan selalu ada dinamika tersendiri di dalamnya.

“Memang benar, di satu sisi calon petahana itu diuntungkan. Karena dia sudah lebih populer dan berbuat dibanding caleg yang baru. Begitupun kita tidak boleh menganggap remeh, karena dalam politik semua hal bisa saja terjadi,” kata Kuat yang sudah dua periode duduk sebagai anggota DPRD Kota Medan.

Terlebih untuk dirinya yang ingin ‘naik kelas’ dari DPRD Medan ke DPRD Sumut, Kuat menyadari pada Pileg kali ini memiliki tantangan tersendiri. Sebab meski masih berada pada daerah pemilihan yang sama, tapi luasan dapil ikut bertambah. “Nah, tentu untuk basis massa pada kecamatan yang belum pernah saya datangi, kali ini harus turun langsung mendengar aspirasi mereka. Setidaknya mereka kenal dulu dengan saya lalu setelahnya bisa menyampaikan program apa yang saya bisa ditawarkan,” katanya.

Caleg pendatang baru asal Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Wilfried Sinaga, mengakui kalau tantangan politik uang masih menjadi kendala untuk dirinya merebut hati rakyat dalam kontestasi kali ini. Selain itu yang tak kalah krusial ialah, menurut dia, adanya pengerahan aparatur hingga tingkat terbawah yakni kepala lingkungan, yang seolah dijadikan senjata pihak petahana guna mendulang suara untuk duduk di keterwakilan legislatif.

“Ini yang sangat kita khawatirkan. Politik uang juga saya pikir sejalan dengan praktik-praktik seperti ini. Di sinilah peran penting aparat Kepolisian, penyelenggara Pemilu baik KPU dan Bawaslu untuk menindak permainan aparatur yang sengaja dikerahkan oleh para oknum-oknum caleg itu sendiri,” katanya.

Pendatang Baru Tetap Optimis

Ahmad Rizal, caleg ‘pendatang baru’ di DPRD Medan dapil 5 dari Partai Garuda nomor urut 6 mengatakan, dirinya optimis dalam melakukan persaingan dengan para Caleg incumben. Menurutnya, visi dan misi serta niat baiknya dalam memperjuangkan nasib rakyat menjadi harapan baru untuk hidup yang lebih baik dan sejahtera.

“Saya optimis untuk berkompetisi dengan para petahana. Sesuai dengan arahan partai, kami terus sosialisasi secara ‘door to door’. Saya siap memperjuangkan nasib pedagang, petani, nelayan dan masyarakat kecil lainnya agar pemerintah Kota Medan dapat mengatur dengan Perwalnya Wali Kota Medan supaya para pedagang, petani, nelayan dan masyarakat kecil lainya memiliki payung hukum didalam menjalankan profesinya sebagai pedagang, petani dan nelayan. Kita sudah turun langsung untuk mensosialisasikan hak ini”, ucap Rizal.

Menurut Rizal, saat para Caleg bisa menemukan persoalan serta solusi yang tepat dalam menyelesaikannya, tentu hal itu akan menyentuh hati masyarakat dan terdorong untuk memilihnya. Tak peduli dia petahana atau tidak, masyarakat pasti memilihnya.

“Kita yakin masih banyak pemilih cerdas di Kota Medan yang tidak mudah tergiur dengan ‘hadiah kecil’ tetapi harus mengorbankan nasibnya lima tahun mendatang. Petahana ataupun tidak bukanlah masalah, rakyat akan memilih yang berpihak kepada mereka, bukan yang petahana atau pendatang,” tutupnya. (prn/mag-1)

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
SOSIALISASI: Petugas KPU Medan memberikan sosialisasi cara menyoblos kepada ibu-ibu penyandang disabilitas di Sekretariat HWDI Sumut, Jalan Sampul Medan, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Hari pencoblosan, 17 April 2019 tinggal 19 hari lagi. Seluruh calon anggota legislatif (Caleg) dari masing-masing partai politik (Parpol) peserta Pemilu semakin sibuk dengan strateginya masing-masing dalam memenangkan hati pemilihnya. Namun begitu, caleg petahana dianggap lebih berpeluang duduk kembali di lembaga legislatif, dibanding caleg baru. Mereka dinilai sudah memiliki basis massa yang jelas, plus didukung sejumlah fasilitas yang melekat pada mereka saat ini.

SOSOK caleg sangat menentukan dan berpengaruh besar untuk merebut hati rakyat dalam kontestasi ini. Terlebih bagi calon petahana yang memang sudah terbukti dan teruji kinerjanya di tengah masyarakat. “Sudah barang tentu setiap petahana pasti lebih kuat dari sisi pencitraan. Sudah punya konstituen dan kantong-kantong suara. Hanya tinggal memperkuat saja dan kemudian menebar brandingnya ke wilayah di daerah pemilihan yang selama ini belum tersentuh,” kata Pengamat politik asal Universitas Medan Area (UMA), Bimby Hidayat menjawab Sumut Pos, Jumat (29/3).

Menurutnya, masyarakat tentu akan lebih senang memilih calon yang sudah berbuat untuk mereka. “Bukan lagi sekadar mengandalkan ketokohan dan uang banyak untuk membeli suara. Sebab sekarang ini rakyat mulai cerdas berpolitik,” katanya.

Integritas personal setiap calon, kata Bimby, memang penting diutamakan, ketimbang aspek lain. Sebab ketika integritas tergerus dengan sesuatu berbau hukum, maka masyarakat tidak akan mau memercayai calon tersebut.

“Apalagi yang kita tahu walaupun pindah partai, orang yang maju itu-itu juga. Sosok yang sudah dikenal, sudah berbuat dan punya basis massa yang jelas. Akan sulit bagi calon baru pada dapil yang sama menyaingi calon petahana. Terkecuali memang si petahana tidak maju lagi dari dapil itu, atau pernah berbuat kesalahan pada masyarakat di tempatnya maju,” katanya.

Mengenai dukungan pendanaan setiap caleg, hemat dia, tergantung dari kemampuan yang sudah diperhitungkan dengan matang sebelumnya. Karena tidak selamanya kekuatan uang menjamin seseorang sukses menjadi wakil rakyat. “Logikanya kan begini, tidak mungkin seseorang itu ingin maju sebagai caleg, jika tidak untung setelah menjabat selama lima tahun. Katakanlah walau untungnya tipis, ketika dia hendak mencalon lagi ‘kan aksesnya sudah ada. Dia tidak susah lagi membina konstituen lamanya. Bahkan bisa menambah basis massa dan jaringan baru,” ujarnya.

Pembiayaan kampanye, blusukan dan sosialisasi kepada masyarakat, menurutnya memang dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tapi bagi calon yang cerdas dan sudah memetakan potensi suaranya, modal kecil juga dianggap bisa efektif untuk duduk sebagai legislator. “Paling tidak harus tersedia minimal Rp300 juta untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Itupun sudah minim sekali angkanya. Anggaplah Rp200 juta untuk bersosialisasi selama kampanye, dan Rp100 juta untuk membayar saksi mengawal suaranya di TPS,” katanya.

Bantah Merasa Diuntungkan

Caleg petahana dari Partai Demokrat Muhri Fauzi Hafiz kepada Sumut Pos, mengaku tak pernah merasa diuntungkan dan tak merasa punya peluang yang lebih besar dari caleg-caleg baru. Akan tetapi, tentu sebagai petahana dia mengaku punya strategi yang lebih matang dalam memenangkan Pemilu kali ini.

“Tidak bisa dipungkiri, kami sebagai petahana telah bekerja dan mengabdi untuk rakyat setidak-tidaknya hampir lima tahun, tentulah banyak yang sudah kita lakukan untuk masyarakat,” kata Muhri yang kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Sumut dari Dapil 12 dari Partai Demokrat dengan nomor urut 4.

Namun begitu, Muhri yang sekarang menjabat Ketua Komisi A DPRD Sumut itu mengatakan, tidak semua para Caleg petahana bisa merasa diuntungkan. “Tapi bagi mereka para Caleg petahana yang tidak bekerja dengan maksimal, malah akan menjadi kerugian. Karena tak ada prestasi yang nyata yang bisa disampaikannya kepada rakyat. Tapi kalau berprestasi tentu akan sedikit menguntungkan. Kita akan dengan lantang membeberkan apa yang sudah kita perjuangkan untuk rakyat dan kita pastikan akan terus mendengar aspirasi mereka serta terus memperjuangkannya. Walau tentu kami mengakui masih ada ‘PR’ yang harus kami kerjakan dan kami siap melanjutkannya diperiode berikutnya”, kata Muhri.

Namun, kata Muhri, semua prestasi itu bisa saja menjadi sia-sia. Muhri mengungkapkan keprihatinannya terhadap jumlah masyarakat yang masih mau memilih bukan atas dasar prestasi dan visi misi. “Tetapi kita juga sangat miris melihat masyarakat kita yang saat ini lebih memilih hal lain, misalnya ‘money politics’ ketimbang prestasi kerja. Saya sudah terjun langsung ke masyarakat untuk melihat apa maunya rakyat. Ternyata banyak juga rakyat ini yang lebih memilih ‘hadiah’ dari pada caleg yang sudah teruji. Inilah fakta di lapangan. Banyak masyarakat yang pesimis dengan pemilu,. Buat mereka pemilu tak akan mengubah nasib mereka, inilah yang harus kita luruskan”, ungkap Muhri.

Untuk saat ini, disebutkannya, selain mengungkapkan prestasi dan visi misi, dirinya juga menerapkan metode kontrak politik bagi masyarakat yang ada di daerah pemilihannya. “Saat ini saya sedang melakukan kontrak politik dengan kelompok-kelompok masyarakat di Dapil saya untuk melawan narkoba dan memperkuat perwiritan di wilayah itu. Tapi sayangnya, banyak juga yang tidak mau bahkan tidak tertarik sama sekali dengan kontrak politik itu,” tutupnya.

Sementara Kuat Surbakti, caleg Partai Amanat Nasional untuk DPRD Sumut dari daerah Pemilihan 2 beranggapan, tidak gampang mempertahankan kursi yang sudah diperoleh pada periode sebelumnya. Menurut dia, setiap momen pemilihan selalu ada dinamika tersendiri di dalamnya.

“Memang benar, di satu sisi calon petahana itu diuntungkan. Karena dia sudah lebih populer dan berbuat dibanding caleg yang baru. Begitupun kita tidak boleh menganggap remeh, karena dalam politik semua hal bisa saja terjadi,” kata Kuat yang sudah dua periode duduk sebagai anggota DPRD Kota Medan.

Terlebih untuk dirinya yang ingin ‘naik kelas’ dari DPRD Medan ke DPRD Sumut, Kuat menyadari pada Pileg kali ini memiliki tantangan tersendiri. Sebab meski masih berada pada daerah pemilihan yang sama, tapi luasan dapil ikut bertambah. “Nah, tentu untuk basis massa pada kecamatan yang belum pernah saya datangi, kali ini harus turun langsung mendengar aspirasi mereka. Setidaknya mereka kenal dulu dengan saya lalu setelahnya bisa menyampaikan program apa yang saya bisa ditawarkan,” katanya.

Caleg pendatang baru asal Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Wilfried Sinaga, mengakui kalau tantangan politik uang masih menjadi kendala untuk dirinya merebut hati rakyat dalam kontestasi kali ini. Selain itu yang tak kalah krusial ialah, menurut dia, adanya pengerahan aparatur hingga tingkat terbawah yakni kepala lingkungan, yang seolah dijadikan senjata pihak petahana guna mendulang suara untuk duduk di keterwakilan legislatif.

“Ini yang sangat kita khawatirkan. Politik uang juga saya pikir sejalan dengan praktik-praktik seperti ini. Di sinilah peran penting aparat Kepolisian, penyelenggara Pemilu baik KPU dan Bawaslu untuk menindak permainan aparatur yang sengaja dikerahkan oleh para oknum-oknum caleg itu sendiri,” katanya.

Pendatang Baru Tetap Optimis

Ahmad Rizal, caleg ‘pendatang baru’ di DPRD Medan dapil 5 dari Partai Garuda nomor urut 6 mengatakan, dirinya optimis dalam melakukan persaingan dengan para Caleg incumben. Menurutnya, visi dan misi serta niat baiknya dalam memperjuangkan nasib rakyat menjadi harapan baru untuk hidup yang lebih baik dan sejahtera.

“Saya optimis untuk berkompetisi dengan para petahana. Sesuai dengan arahan partai, kami terus sosialisasi secara ‘door to door’. Saya siap memperjuangkan nasib pedagang, petani, nelayan dan masyarakat kecil lainnya agar pemerintah Kota Medan dapat mengatur dengan Perwalnya Wali Kota Medan supaya para pedagang, petani, nelayan dan masyarakat kecil lainya memiliki payung hukum didalam menjalankan profesinya sebagai pedagang, petani dan nelayan. Kita sudah turun langsung untuk mensosialisasikan hak ini”, ucap Rizal.

Menurut Rizal, saat para Caleg bisa menemukan persoalan serta solusi yang tepat dalam menyelesaikannya, tentu hal itu akan menyentuh hati masyarakat dan terdorong untuk memilihnya. Tak peduli dia petahana atau tidak, masyarakat pasti memilihnya.

“Kita yakin masih banyak pemilih cerdas di Kota Medan yang tidak mudah tergiur dengan ‘hadiah kecil’ tetapi harus mengorbankan nasibnya lima tahun mendatang. Petahana ataupun tidak bukanlah masalah, rakyat akan memilih yang berpihak kepada mereka, bukan yang petahana atau pendatang,” tutupnya. (prn/mag-1)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/