30 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Terkait Aksi Mogok, IDI Sumut Siap Digugat

MEDAN – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumatera Utara (Sumut) mendapat banyak kecaman masyarakat terkait aksi mogok kerja sebagai bentuk solidaritas atas rekan mereka dr Ayu yang mengalami kriminalisasi. Berbagai komentar di jejaring sosial, seperti twitter, blackberry messenger (BBm), facebook, instagram, dan lainnya. Dokter dinilai  melanggar sumpah dan menelantarkan pasiennya.

Menanggapi kritikan tersebut, IDI Sumut menyampaikan permohonan maafnya. Bahkan payung organisasi dokter ini siap bila ada pihak yang ingin menggugat aksi mogok karena dianggap menelantarkan pasien rawat jalan pada Rabu (27/11).

“Kami terima gugatan ini. K,mi juga minta maaf karena telah melakukan aksi ini. Namun jika aksi tidak kita lakukan, tidak ada yang akan mendengarkan kami. Gugatan memang biasa ada di semua lapisan dunia lantaran semua orang memiliki hak menggugat. Kondisi ini wajar terjadi karena selain disukai ada juga yang tak suka dengan profesi dokter,” ujar Ketua IDI Sumut Suhelmi.

Hal serupa juga disampaikan oleh  Ketua IDI Medan, dr Ramlan Sitompul, SpTHT-KL, “yah, kalau memang sudah dianggap merugikan kami minta maaf. Silakan digugat, biar semakin meruncing permasalahan ini, sehingga negara harus turun untuk menyelesaikannya,” katanya.

Lanjutnya, aksi yang dilakukan oleh ribuan dokter seluruh Indonesia karena merasa terancam atau dibawah tekanan dalam melakukan praktek kedokteran. “Aksi ini bukan personal atau bukan satu atau dua dokter yang merasa terancam saat melakukan praktek kedokteran, tetapi sudah ribuan dokter yang menyatakan ketidakpuasan terhadap praktek kedokteran yang terjadi hari ini,” ujarnya.

Menurutnya, hujatan dari berbagai pihak terhadap dokter bukan menjadi jalan keluar, bahkan menjadi lebih memojokkan para dokter. “Harus ramai-ramai mencarikan solusi dan menenangkan, karena inikan bukan persoalan pribadi dokter. Seharusnya betul-betul bangsa kita ini mengintrospeksi diri, bukan saling hujat-hujatan,” katanya.

Lanjutnya, ia yakin sebenci-bencinya masyarakat dengan dokter, tapi masyarakat lebih membutuhkan dokter daripada lawyers atau hakim. “Inikan benci tapi rindu, benci tapi dirindukan pelayanannnya. Tapi silakan masyarakat ingin menggugat, biar kita tahu sejauhmana hukum itu diterapkan, apakah mungkin 4 ribu – 5 ribu itu dipenjara, akibat gugatan itu!” ujarnya.

Sementara itu, akibat aksi mogok kerja yang dilakukan oleh dokter, Rabu kemarin mengakibatkan pengurangan pendapatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr pirngadi. “Gak ada kerugian, tapi estimasi pendapatannya berkuranglah. Biasanya pasien yang datang mencapai 800 sampai 900 orang perharinya, kemarinkan jelas berkurang,” ujarnya Kabbag Hukum dan Humas RSUD dr Pirngadi, Edison Perangin-angin.

Tambahnya, untuk biaya berobat pasien rawat jalan berbeda-beda, karena tindakan yang diberikan berbeda. Tetapi jika dikalkulasikan mencapai sekitar Rp 50 ribu perpasien dan sudah termasuk biaya tiket Rp 15 ribu. “Yah, pemasukan berkurang sekitar Rp 45 juta, jika pasien kita 800 orang. Sebagian besar pasiennya itu Jamkesda dan Jamkesmas jadi pasien memang gak diminta biaya, kita klaim ke pemerintah,” katanya.

Sementara itu, saat ditanyai lonjakan pasien usai aksi mogok kerja hingga mengantri panjang dan lama dilayani, Edison membantah. Menurutnya, pasien yang datang masih seperti biasa. “Kalau dibandingkan sama pas mogok memang meningkat, tapi kalau dibanding hari biasa tetap aja. Kalau masalah ngantri, itu sudah biasa, pasienkan bukan hanya 1, kalau sudah lebih dari 1 saja, yah memang harus mengantrikan. Kemarin tidak ada lonjakan pasien,” ujar Edison.

Saat disinggung sanksi, ia juga tidak dapat memberikan keterangan. “Sanksi itu datang dari Menteri kesehatan, kami tidak ada memberikan sanksi karena kemarin memang aksi solidaritas, kita juga tidak menelantarkan pasien karena pasien emergency dan yang mau mendaftar masih dilayani,” ujarnya.

Sementara, Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali, menegaskan majelis hakim Peninjauan Kembali (PK), dapat profesional menyidangkan perkara yang diajukan tiga dokter terpidana kasus malapraktik. Menurutnya aksi mogok yang dilakukan para dokter di seluruh Indonesia pada Rabu (27/11), tidak akan mempengaruhi sikap hakim PK.

“Hakim itu tidak boleh terpengaruh. Lihat saja nanti PK-nya, wajar nggak PK-nya? Memenuhi prosedur nggak PK-nya? Nanti hakim akan melihat PK-nya. Hakim PK tidak akan dan tidak boleh terpengaruh,” kata Hatta Ali seusai Rapat Pembinaan Lingkungan Peradilan di Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama Se-Sumut di Hotel Grand Aston, Medan, Jumat (29/11).

Namun, Hatta tidak mau mengomentari putusan majelis hakim kasasi yang menvonis tiga dokter, yaitu dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy Siagian, bersalah melakukan tindakan medis yang mengakibatkan meninggalnya pasien Julia Fransiska Makatey di Rumah Sakit Prof Kandouw, Manado pada 2010. Ketiganya dijatuhi hukuman masing-masing 10 bulan penjara.

“Mereka sudah PK sekarang. Jadi kita sebagai hakim tidak boleh mengomentari putusan hakim. Biarkan mereka melakukan upaya hukum yaitu upaya hukum PK. Nanti hakim PK yang menyidangkan dan menilai,” kata Hatta.

Sebelumnya, Dokter Hendry Simanjuntak bersama dr Dewa Ayu Sasiary Prawani telah di jebloskan ke Rutan Malengke Manado. Mereka dianggap terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan tindakan medis yang mengakibatkan meninggalnya pasien Julia Fransiska Makatey sewaktu mereka tangani. Sementara dr Hendy Siagian masih jadi buronan.

Pada persidangan di Pengadilan Negeri Manado (PN Manado), ketiga dokter divonis bebas karena tidak terbukti melakukan malapraktik. Jaksa penuntut lalu mengupayakan sampai pada kasasi. Pada 18 September 2012, MA menghukum 10 bulan penjara bagi ketiga dokter tersebut. Mahkamah Agung (MA) menyatakan mereka bersalah atas kasus malapraktik di Rumah Sakit Prof Kandouw, Manado, pada 2010 lalu. Ketika hendak dieksekusi, ketiga dokter buron sehingga masuk dalam DPO.

Putusan itu telah memicu protes besar-besaran terutama dari kalangan dokter di berbagai daerah. Ratusan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) melakukan aksi turun ke jalan sebagai bentuk solidaritas dan keprihatinan atas penahanan rekan mereka. Untuk memprotes putusan kasasi dan eksekusi yang dilakukan jaksa, para dokter melakukan aksi mogok nasional. Mereka berdemonstrasi dan tidak memberikan layanan di poliklinik rumah sakit serta  menutup lokasi  praktiknya. Akibatnya, banyak pasien yang kecewa. (far)

MEDAN – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumatera Utara (Sumut) mendapat banyak kecaman masyarakat terkait aksi mogok kerja sebagai bentuk solidaritas atas rekan mereka dr Ayu yang mengalami kriminalisasi. Berbagai komentar di jejaring sosial, seperti twitter, blackberry messenger (BBm), facebook, instagram, dan lainnya. Dokter dinilai  melanggar sumpah dan menelantarkan pasiennya.

Menanggapi kritikan tersebut, IDI Sumut menyampaikan permohonan maafnya. Bahkan payung organisasi dokter ini siap bila ada pihak yang ingin menggugat aksi mogok karena dianggap menelantarkan pasien rawat jalan pada Rabu (27/11).

“Kami terima gugatan ini. K,mi juga minta maaf karena telah melakukan aksi ini. Namun jika aksi tidak kita lakukan, tidak ada yang akan mendengarkan kami. Gugatan memang biasa ada di semua lapisan dunia lantaran semua orang memiliki hak menggugat. Kondisi ini wajar terjadi karena selain disukai ada juga yang tak suka dengan profesi dokter,” ujar Ketua IDI Sumut Suhelmi.

Hal serupa juga disampaikan oleh  Ketua IDI Medan, dr Ramlan Sitompul, SpTHT-KL, “yah, kalau memang sudah dianggap merugikan kami minta maaf. Silakan digugat, biar semakin meruncing permasalahan ini, sehingga negara harus turun untuk menyelesaikannya,” katanya.

Lanjutnya, aksi yang dilakukan oleh ribuan dokter seluruh Indonesia karena merasa terancam atau dibawah tekanan dalam melakukan praktek kedokteran. “Aksi ini bukan personal atau bukan satu atau dua dokter yang merasa terancam saat melakukan praktek kedokteran, tetapi sudah ribuan dokter yang menyatakan ketidakpuasan terhadap praktek kedokteran yang terjadi hari ini,” ujarnya.

Menurutnya, hujatan dari berbagai pihak terhadap dokter bukan menjadi jalan keluar, bahkan menjadi lebih memojokkan para dokter. “Harus ramai-ramai mencarikan solusi dan menenangkan, karena inikan bukan persoalan pribadi dokter. Seharusnya betul-betul bangsa kita ini mengintrospeksi diri, bukan saling hujat-hujatan,” katanya.

Lanjutnya, ia yakin sebenci-bencinya masyarakat dengan dokter, tapi masyarakat lebih membutuhkan dokter daripada lawyers atau hakim. “Inikan benci tapi rindu, benci tapi dirindukan pelayanannnya. Tapi silakan masyarakat ingin menggugat, biar kita tahu sejauhmana hukum itu diterapkan, apakah mungkin 4 ribu – 5 ribu itu dipenjara, akibat gugatan itu!” ujarnya.

Sementara itu, akibat aksi mogok kerja yang dilakukan oleh dokter, Rabu kemarin mengakibatkan pengurangan pendapatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr pirngadi. “Gak ada kerugian, tapi estimasi pendapatannya berkuranglah. Biasanya pasien yang datang mencapai 800 sampai 900 orang perharinya, kemarinkan jelas berkurang,” ujarnya Kabbag Hukum dan Humas RSUD dr Pirngadi, Edison Perangin-angin.

Tambahnya, untuk biaya berobat pasien rawat jalan berbeda-beda, karena tindakan yang diberikan berbeda. Tetapi jika dikalkulasikan mencapai sekitar Rp 50 ribu perpasien dan sudah termasuk biaya tiket Rp 15 ribu. “Yah, pemasukan berkurang sekitar Rp 45 juta, jika pasien kita 800 orang. Sebagian besar pasiennya itu Jamkesda dan Jamkesmas jadi pasien memang gak diminta biaya, kita klaim ke pemerintah,” katanya.

Sementara itu, saat ditanyai lonjakan pasien usai aksi mogok kerja hingga mengantri panjang dan lama dilayani, Edison membantah. Menurutnya, pasien yang datang masih seperti biasa. “Kalau dibandingkan sama pas mogok memang meningkat, tapi kalau dibanding hari biasa tetap aja. Kalau masalah ngantri, itu sudah biasa, pasienkan bukan hanya 1, kalau sudah lebih dari 1 saja, yah memang harus mengantrikan. Kemarin tidak ada lonjakan pasien,” ujar Edison.

Saat disinggung sanksi, ia juga tidak dapat memberikan keterangan. “Sanksi itu datang dari Menteri kesehatan, kami tidak ada memberikan sanksi karena kemarin memang aksi solidaritas, kita juga tidak menelantarkan pasien karena pasien emergency dan yang mau mendaftar masih dilayani,” ujarnya.

Sementara, Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali, menegaskan majelis hakim Peninjauan Kembali (PK), dapat profesional menyidangkan perkara yang diajukan tiga dokter terpidana kasus malapraktik. Menurutnya aksi mogok yang dilakukan para dokter di seluruh Indonesia pada Rabu (27/11), tidak akan mempengaruhi sikap hakim PK.

“Hakim itu tidak boleh terpengaruh. Lihat saja nanti PK-nya, wajar nggak PK-nya? Memenuhi prosedur nggak PK-nya? Nanti hakim akan melihat PK-nya. Hakim PK tidak akan dan tidak boleh terpengaruh,” kata Hatta Ali seusai Rapat Pembinaan Lingkungan Peradilan di Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama Se-Sumut di Hotel Grand Aston, Medan, Jumat (29/11).

Namun, Hatta tidak mau mengomentari putusan majelis hakim kasasi yang menvonis tiga dokter, yaitu dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy Siagian, bersalah melakukan tindakan medis yang mengakibatkan meninggalnya pasien Julia Fransiska Makatey di Rumah Sakit Prof Kandouw, Manado pada 2010. Ketiganya dijatuhi hukuman masing-masing 10 bulan penjara.

“Mereka sudah PK sekarang. Jadi kita sebagai hakim tidak boleh mengomentari putusan hakim. Biarkan mereka melakukan upaya hukum yaitu upaya hukum PK. Nanti hakim PK yang menyidangkan dan menilai,” kata Hatta.

Sebelumnya, Dokter Hendry Simanjuntak bersama dr Dewa Ayu Sasiary Prawani telah di jebloskan ke Rutan Malengke Manado. Mereka dianggap terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan tindakan medis yang mengakibatkan meninggalnya pasien Julia Fransiska Makatey sewaktu mereka tangani. Sementara dr Hendy Siagian masih jadi buronan.

Pada persidangan di Pengadilan Negeri Manado (PN Manado), ketiga dokter divonis bebas karena tidak terbukti melakukan malapraktik. Jaksa penuntut lalu mengupayakan sampai pada kasasi. Pada 18 September 2012, MA menghukum 10 bulan penjara bagi ketiga dokter tersebut. Mahkamah Agung (MA) menyatakan mereka bersalah atas kasus malapraktik di Rumah Sakit Prof Kandouw, Manado, pada 2010 lalu. Ketika hendak dieksekusi, ketiga dokter buron sehingga masuk dalam DPO.

Putusan itu telah memicu protes besar-besaran terutama dari kalangan dokter di berbagai daerah. Ratusan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) melakukan aksi turun ke jalan sebagai bentuk solidaritas dan keprihatinan atas penahanan rekan mereka. Untuk memprotes putusan kasasi dan eksekusi yang dilakukan jaksa, para dokter melakukan aksi mogok nasional. Mereka berdemonstrasi dan tidak memberikan layanan di poliklinik rumah sakit serta  menutup lokasi  praktiknya. Akibatnya, banyak pasien yang kecewa. (far)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/