26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Pemprovsu Raih WTP Tiga Kali Berturut

Foto: Istimewa
Gubernur Sumut, HT Erry Nuradi foto bersama pejabat BPK RI dan BPK Sumut, saat sidang paripurna penyampaian LHP BPK di Gedung DPRD Sumut, Selasa (30/5).

Tak Jaminan Bersih Korupsi

Anggota DPRD Sumut dari PKP Indonesia, Juliski Simorangkir juga menyebutkan, opini WTP yang diberikan BPK kepada pemkab/pemko dan Pemprov Sumut, bukan menjadi jaminan terhadap penilaian kinerja pemerintah daerah baik dan bebas korupsi. “Opini WTP dari BPK bukan berarti kinerja pemerintah daerah benar-benar baik dan bebas dari korupsi. Terbukti tertangkapnya Irjen Kementerian Desa dan anggota BPK, yang memperjualbelikan WTP,” ungkapnya.

Menurutnya, jual beli opini WTP ini merupakan korupsi transaksional yang sudah mencoreng nama lembaga audit tersebut, karena BPK selama ini merupakan lembaga pemeriksa yang dipercaya pemerintah, dan kini diselewengkan oknum yang mencari keuntungan pribadi. “Pelakunya harus diberi efek jera, agar mata rantai aksi suap semacam itu bisa diputus. Sistem laporan keuangan dan rekomendasi yang ada, harus sudah diatur secara ketat dan bisa dipertanggungjawabkan,” pungkas Juliski.

Sementara Gubernur Sumut, HT Erry Nuradi mengatakan, keberhasilan mempertahankan predikat WTP ini berkat kerja keras semua pihak, dan mudah-mudahan ini memotivasi semua pihak untuk bekerja lebih baik lagi, dan agar lebih paten lagi. “Terkait temuan hasil audit tersebut, kami akan menggelar rapat, baik itu temuan yang berhubungan dengan kekurangan pekerjaan, dan masalah yang tidak sesuai dengan aturan yang ada,” katanya.

Ia meminta seluruh jajaran SKPD untuk menjadikan opini WTP sebagai pedoman untuk dapat melaksanakan tugas pemerintahan lebih baik. “Opini ini bukan untuk kita berpuas diri, tapi jadi motivasi dan lebih giat lagi ke depannya. Berkat dukungan dari stakeholder dan kerja keras SKPD, maka predikat itu harus dapat dipertahankan,” tambah Erry.

Sementara, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto mengatakan, kegiatan audit BPK selama ini tidak sedikit yang berbau kolusi. Terutama di daerah. Berdasar pengamatan Fitra, tidak jarang auditor dan staf BPK yang mau menerima beberapa fasilitas yang disediakan pemda. Bahkan, ada pula auditor yang menerima uang saku dengan besaran bervariatif.

”Sepengetahuan kami, ada yang inisiatif dari pemda dan ada dari permintaan sendiri oleh auditor,” kata Yenny saat dihubungi Jawa Pos, kemarin (28/5). Fenomena itu sejatinya sudah sejak lama terjadi. Fasilitas-fasilitas dan uang saku yang diberikan pemda kepada auditor itu seolah sudah menjadi budaya. ”Karena predikat ini (WTP) dianggap menjadi salah satu prestasi,” ungkapnya.

Sebagai catatan, proses pemberian opini oleh BPK sejatinya cukup rumit. Khususnya di kementerian, kegiatan itu diawali dengan pemeriksaan tim anggota dan penanggungjawab. Setelah terbentuk, BPK kemudian memulai pemeriksaan keuangan. Nah, pada tahap itu nantinya akan disimpulkan apakah ada temuan yang mempengaruhi opini atas keuangan kementerian.

BPK memiliki standar akuntansi khusus sebagai kriteria atas laporan keuangan. Penilaian juga didasarkan pada ketaatan suatu kementerian terhadap undang-undang (UU). Temuan yang diperoleh bakal dilihat apakah berpengaruh terhadap materi atau tidak. Semua itu digunakan untuk menyusun laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) dan menentukan bagaimana opini yang sesuai. Yakni, WTP, wajar dengan pengecualian (WDP) atau malah disclaimer.

Yenny mengatakan, pemberian opini sangat berpeluang menjadi lahan basah bagi para auditor BPK. Kasus jual beli WTP yang baru saja diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT) Jumat (26/5), misalnya, sangat mungkin terjadi karena Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memiliki catatan administrasi yang berpotensi merugikan keuangan negara.

Karena itu, pihaknya meminta penangkapan auditor itu menjadi pembelajaran bagi BPK untuk memperbaiki diri. Menurut Yenny, metodologi audit BPK harus diubah. Bukan hanya mengeluarkan predikat opini, tapi juga perlu mengaudit kinerja dan impact dari anggaran pembangunan. ”Harus dilakukan reformasi total BPK. Perkuat Perkuat integritas internal auditor dan bersihkan BPK dari pimpinan berlatarbelakang politisi,” imbuhnya. (jpg/dik/saz)

Foto: Istimewa
Gubernur Sumut, HT Erry Nuradi foto bersama pejabat BPK RI dan BPK Sumut, saat sidang paripurna penyampaian LHP BPK di Gedung DPRD Sumut, Selasa (30/5).

Tak Jaminan Bersih Korupsi

Anggota DPRD Sumut dari PKP Indonesia, Juliski Simorangkir juga menyebutkan, opini WTP yang diberikan BPK kepada pemkab/pemko dan Pemprov Sumut, bukan menjadi jaminan terhadap penilaian kinerja pemerintah daerah baik dan bebas korupsi. “Opini WTP dari BPK bukan berarti kinerja pemerintah daerah benar-benar baik dan bebas dari korupsi. Terbukti tertangkapnya Irjen Kementerian Desa dan anggota BPK, yang memperjualbelikan WTP,” ungkapnya.

Menurutnya, jual beli opini WTP ini merupakan korupsi transaksional yang sudah mencoreng nama lembaga audit tersebut, karena BPK selama ini merupakan lembaga pemeriksa yang dipercaya pemerintah, dan kini diselewengkan oknum yang mencari keuntungan pribadi. “Pelakunya harus diberi efek jera, agar mata rantai aksi suap semacam itu bisa diputus. Sistem laporan keuangan dan rekomendasi yang ada, harus sudah diatur secara ketat dan bisa dipertanggungjawabkan,” pungkas Juliski.

Sementara Gubernur Sumut, HT Erry Nuradi mengatakan, keberhasilan mempertahankan predikat WTP ini berkat kerja keras semua pihak, dan mudah-mudahan ini memotivasi semua pihak untuk bekerja lebih baik lagi, dan agar lebih paten lagi. “Terkait temuan hasil audit tersebut, kami akan menggelar rapat, baik itu temuan yang berhubungan dengan kekurangan pekerjaan, dan masalah yang tidak sesuai dengan aturan yang ada,” katanya.

Ia meminta seluruh jajaran SKPD untuk menjadikan opini WTP sebagai pedoman untuk dapat melaksanakan tugas pemerintahan lebih baik. “Opini ini bukan untuk kita berpuas diri, tapi jadi motivasi dan lebih giat lagi ke depannya. Berkat dukungan dari stakeholder dan kerja keras SKPD, maka predikat itu harus dapat dipertahankan,” tambah Erry.

Sementara, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto mengatakan, kegiatan audit BPK selama ini tidak sedikit yang berbau kolusi. Terutama di daerah. Berdasar pengamatan Fitra, tidak jarang auditor dan staf BPK yang mau menerima beberapa fasilitas yang disediakan pemda. Bahkan, ada pula auditor yang menerima uang saku dengan besaran bervariatif.

”Sepengetahuan kami, ada yang inisiatif dari pemda dan ada dari permintaan sendiri oleh auditor,” kata Yenny saat dihubungi Jawa Pos, kemarin (28/5). Fenomena itu sejatinya sudah sejak lama terjadi. Fasilitas-fasilitas dan uang saku yang diberikan pemda kepada auditor itu seolah sudah menjadi budaya. ”Karena predikat ini (WTP) dianggap menjadi salah satu prestasi,” ungkapnya.

Sebagai catatan, proses pemberian opini oleh BPK sejatinya cukup rumit. Khususnya di kementerian, kegiatan itu diawali dengan pemeriksaan tim anggota dan penanggungjawab. Setelah terbentuk, BPK kemudian memulai pemeriksaan keuangan. Nah, pada tahap itu nantinya akan disimpulkan apakah ada temuan yang mempengaruhi opini atas keuangan kementerian.

BPK memiliki standar akuntansi khusus sebagai kriteria atas laporan keuangan. Penilaian juga didasarkan pada ketaatan suatu kementerian terhadap undang-undang (UU). Temuan yang diperoleh bakal dilihat apakah berpengaruh terhadap materi atau tidak. Semua itu digunakan untuk menyusun laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) dan menentukan bagaimana opini yang sesuai. Yakni, WTP, wajar dengan pengecualian (WDP) atau malah disclaimer.

Yenny mengatakan, pemberian opini sangat berpeluang menjadi lahan basah bagi para auditor BPK. Kasus jual beli WTP yang baru saja diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT) Jumat (26/5), misalnya, sangat mungkin terjadi karena Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memiliki catatan administrasi yang berpotensi merugikan keuangan negara.

Karena itu, pihaknya meminta penangkapan auditor itu menjadi pembelajaran bagi BPK untuk memperbaiki diri. Menurut Yenny, metodologi audit BPK harus diubah. Bukan hanya mengeluarkan predikat opini, tapi juga perlu mengaudit kinerja dan impact dari anggaran pembangunan. ”Harus dilakukan reformasi total BPK. Perkuat Perkuat integritas internal auditor dan bersihkan BPK dari pimpinan berlatarbelakang politisi,” imbuhnya. (jpg/dik/saz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/