25 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Haji Proses Menuju Mukmin Hakiki

Oleh: Sofyan

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu jika disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah keimanan dan mereka bertawakkal kepada Allah. Mereka adalah hamba Tuhan yang mendirikan salat, menafkahkan rezeki yang telah Kami berikan kepadanya. Mereka itulah tanda mukmin yang hakiki, bagi mereka keampunan, dan rezeki yang diberikan Tuhan” (QS. Al-Anfal 2-4).

Seorang Muslim ketika berangkat haji sesungguhnya dia sedang membentuk dirinya menjadi mukmin hakiki. Lima sifat yang dijelaskan Alquran melekat dalam diri orang-orang yang menunaikan haji.

Tidak salah jika penulis mengaitkan dan menguraikan sifat-sifat mulia yang dimiliki dalam diri seorang mukmin sesuai konteks ayat di atas dengan pribadi mereka yang berangkat haji. Pengalaman religi yang dirasakan saudara-saudara kita yang sedang haji maupun yang telah berangkat haji tentu berbeda dengan mereka yang belum pernah menginjakkan kaki di tanah suci.

Melalui kesaksian langsung melihat keagungan dan kebesaran ilahi ketika haji tentu bulu kuduk kita akan merinding dan hati akan gemetar, timbul rasa takut yang sangat luar biasa ketika menyebut asma Allah SWT. Perasaan takut ini muncul karena kita merasa lemah, terlalu kerdil dan kecilnya kita dihadapan penguasa alam jagat raya. Apalagi jika kita mengingat kematian, memikirkan dosa demi dosa yang telah dikerjakan dan kurangnya persiapan diri dengan amal saleh, tentu semakin takut dan gemetarlah kita mengingat pedihnya azab yang bakal diterima kelak.

Perasaan yang muncul saat itu pasti ingin berbakti dan taat melaksanakan perintah ilahi, bermohon agar dipanjangkan umur, diberi kesempatan memperbaiki diri dari semua kelalaian yang selama ini dilakukan. Selama berada di tanah suci, lisan kita tentu tidak lepas dari zikir mengingat Tuhan, takbir, tahmid memuji kebesaran-Nya, membaca kalam ilahi atau mendengarkan kalam Tuhan di Baitullah yang berkumandang di sana.

Pengalaman religi yang dilaksanakan selama menunaikan haji dari mulai ihram, sa’i, thawaf mengelilingi Ka’bah, melontar jumrah, wukuf di Arafah, tahalull dan rangkaian ibadah haji lain baik yang wajib dan sunnah membantu kita untuk menambah iman dan keyakinan kita terhadap Tuhan. Sudah jelas iman kita saat itu pasti bertambah, karena dekat dengan sumber kebaikan. Bukankah Rasulullah saw telah mengingatkan bahwa iman bertambah karena ketaatan kita melaksanakan perintah ilahi.

Semakin banyak ketaatan yang dilakukan semakin bertambahlah iman kita. Kebalikannya iman akan berkurang manakala perbuatan maksiat kita lakukan. Maksiat akan mengurangi semangat kita untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada ilahi. Tidak sedikit jamaah haji yang tidak bisa beribadah dengan khusyu’ selama berada di tanah haram. Ada yang kehilangan uang, hp dan barang-barang berharga lain sehingga konsentrasipun menjadi buyar, memikirkan bagaimana di sana tanpa barang-barang yang dibutuhkan.

Ada yang tidak bisa menahan diri karena satu sebab lantas emosi lalu berkelahi, cekcok dengan jamaah yang lain. Masih banyak lagi kadang-kadang kejadian aneh yang menimpa jamaah haji selama berada di sana, sehingga tidak sempurnalah ibadah haji yang kita lakukan. Sekalipun berada di tanah suci pusat kebaikan, yang namanya maksiat pasti tetap ada. Tawakkal dan berserah diri kepada Allah SWT. tentu menjadi pilihan dalam menentukan sikap selama berada di tanah suci.

Bagi mereka yang sudah memiliki tekad kuat menunaikan haji ikhlas mengharapkan ridha-Nya tentu akan berusaha secara maksimal untuk menunaikan ibadah dengan sebaik-baiknya. Walaupun banyak kendala dihadapi namun sikap senantiasa pasrah dan menyerahkan semua urusan kepada Tuhan seraya memohon diberi kemudahan-kemudahan menghadapi berbagai rintangan tersebut akan kita lakukan.

Sikap pasrah dan bertawakkal kepada Tuhan tentu akan menjadi daya tarik yang kuat untuk mendekatkan diri kepada ilahi, sekalipun nyawa menjadi taruhannya, harus pasrah ketika dipanggil kembali ke pangkuan ilahi. Perasaan sebagai makhluk lemah dan kecil dihadapan Allah SWT. memenuhi relung hati yang paling dalam. Betapa kita manusia ini tidak ada apa-apanya dihadapan-Nya. Kekuasaan, jabatan sosial, kekayaan seakan-akan tidak ada artinya bagi Tuhan. Kehadiran kita di sana bukti kongkrit manusia menjadi hamba-Nya yang butuh bantuan dan ampunan-Nya.

Salat wajib lima waktu dan ditambah salat-salat sunnah menjadi amalan yang barangkali tidak pernah ditinggalkan karena besarnya keutamaan salat di masjid Nabawi. Selama berada di tanah suci salat lima waktu dan salat-salat sunat  dilaksanakan tepat waktu dengan berjamaah, rasanya rugi jika harus meninggalkannya.

Betapapun jauh jarak antara hotel tempat menginap dengan masjid pasti salat lima waktu akan dilaksanakan di masjid. Salat lima waktu menjadi bukti kalau orang yang melakukannya mewarisi sifat orang beriman, yang tidak pernah melalaikan salat lima waktu dan salat-salat sunnah.

Sejatinya setelah kembali ke tanah air ketaatan dalam melaksanakan salat lima waktu akan terus dilaksanakan, tidak hanya seminggu atau dua minggu saja namun seterusnya konsisten melaksanakannya tepat di awal waktu. Ciri terakhir dari seorang mukmin sejati menafkahkan sebagian rezeki yang dianugerahkan Tuhan ke jalan yang diridhai Allah SWT. Tidak dapat dipungkiri jika menunaikan haji wajib bagi mereka yang mampu.

Kata mampu memiliki banyak arti, mampu dapat diartikan punya biaya untuk berangkat haji, ada uang untuk keluarga yang ditinggal di tanah air, sehat jasmani dan rohani dan hal-hal lain yang mendukung kesuksesan dalam menunaikan haji. Orang-orang yang berangkat haji sejatinya memiliki sifat dermawan, tidak bakhil dengan menumpuk, memperbanyak harta hingga akhirnya timbul rasa cinta berlebihan terhadap harta tersebut sehingga merasa enggan berbagi kepada mereka yang membutuhkan.

Tidaklah berlebihan jika mereka yang berangkat haji mewarisi sifat seorang mukmin yang paripurna, mukmin sejati yang akan memperoleh ampunan Allah SWT. Sikap dan sifat mereka akan ketahuan manakala telah kembali ke tanah air, pembuktiannya pasca ibadah haji. Namun, kita yang tidak berangkat haji bukan berarti tidak bisa menjadi seorang mukmin paripurna, kita juga bisa.

Terbuka lebar peluang dan kesempatan untuk menjadi abdi Tuhan yang hakiki asalkan kita tidak meninggalkan salat lima waktu tepat pada waktunya, bertawakkal kepada Allah, rajin membaca quran, mentadabburi ayat-ayat Allah Quraniyah dan kauniyah, suka sedekah dan selalu ingat Allah dimanapun berada.  Semoga Allah menjadikan usia kita berkah, untuk selalu berada dalam ketaatan kepada-Nya sehingga terbuka peluang menjadi mukmin sejati. Wallahu a’lam.(*)

Penulis staf pengajar di Pesantren Darularafah Raya.

Oleh: Sofyan

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu jika disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah keimanan dan mereka bertawakkal kepada Allah. Mereka adalah hamba Tuhan yang mendirikan salat, menafkahkan rezeki yang telah Kami berikan kepadanya. Mereka itulah tanda mukmin yang hakiki, bagi mereka keampunan, dan rezeki yang diberikan Tuhan” (QS. Al-Anfal 2-4).

Seorang Muslim ketika berangkat haji sesungguhnya dia sedang membentuk dirinya menjadi mukmin hakiki. Lima sifat yang dijelaskan Alquran melekat dalam diri orang-orang yang menunaikan haji.

Tidak salah jika penulis mengaitkan dan menguraikan sifat-sifat mulia yang dimiliki dalam diri seorang mukmin sesuai konteks ayat di atas dengan pribadi mereka yang berangkat haji. Pengalaman religi yang dirasakan saudara-saudara kita yang sedang haji maupun yang telah berangkat haji tentu berbeda dengan mereka yang belum pernah menginjakkan kaki di tanah suci.

Melalui kesaksian langsung melihat keagungan dan kebesaran ilahi ketika haji tentu bulu kuduk kita akan merinding dan hati akan gemetar, timbul rasa takut yang sangat luar biasa ketika menyebut asma Allah SWT. Perasaan takut ini muncul karena kita merasa lemah, terlalu kerdil dan kecilnya kita dihadapan penguasa alam jagat raya. Apalagi jika kita mengingat kematian, memikirkan dosa demi dosa yang telah dikerjakan dan kurangnya persiapan diri dengan amal saleh, tentu semakin takut dan gemetarlah kita mengingat pedihnya azab yang bakal diterima kelak.

Perasaan yang muncul saat itu pasti ingin berbakti dan taat melaksanakan perintah ilahi, bermohon agar dipanjangkan umur, diberi kesempatan memperbaiki diri dari semua kelalaian yang selama ini dilakukan. Selama berada di tanah suci, lisan kita tentu tidak lepas dari zikir mengingat Tuhan, takbir, tahmid memuji kebesaran-Nya, membaca kalam ilahi atau mendengarkan kalam Tuhan di Baitullah yang berkumandang di sana.

Pengalaman religi yang dilaksanakan selama menunaikan haji dari mulai ihram, sa’i, thawaf mengelilingi Ka’bah, melontar jumrah, wukuf di Arafah, tahalull dan rangkaian ibadah haji lain baik yang wajib dan sunnah membantu kita untuk menambah iman dan keyakinan kita terhadap Tuhan. Sudah jelas iman kita saat itu pasti bertambah, karena dekat dengan sumber kebaikan. Bukankah Rasulullah saw telah mengingatkan bahwa iman bertambah karena ketaatan kita melaksanakan perintah ilahi.

Semakin banyak ketaatan yang dilakukan semakin bertambahlah iman kita. Kebalikannya iman akan berkurang manakala perbuatan maksiat kita lakukan. Maksiat akan mengurangi semangat kita untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada ilahi. Tidak sedikit jamaah haji yang tidak bisa beribadah dengan khusyu’ selama berada di tanah haram. Ada yang kehilangan uang, hp dan barang-barang berharga lain sehingga konsentrasipun menjadi buyar, memikirkan bagaimana di sana tanpa barang-barang yang dibutuhkan.

Ada yang tidak bisa menahan diri karena satu sebab lantas emosi lalu berkelahi, cekcok dengan jamaah yang lain. Masih banyak lagi kadang-kadang kejadian aneh yang menimpa jamaah haji selama berada di sana, sehingga tidak sempurnalah ibadah haji yang kita lakukan. Sekalipun berada di tanah suci pusat kebaikan, yang namanya maksiat pasti tetap ada. Tawakkal dan berserah diri kepada Allah SWT. tentu menjadi pilihan dalam menentukan sikap selama berada di tanah suci.

Bagi mereka yang sudah memiliki tekad kuat menunaikan haji ikhlas mengharapkan ridha-Nya tentu akan berusaha secara maksimal untuk menunaikan ibadah dengan sebaik-baiknya. Walaupun banyak kendala dihadapi namun sikap senantiasa pasrah dan menyerahkan semua urusan kepada Tuhan seraya memohon diberi kemudahan-kemudahan menghadapi berbagai rintangan tersebut akan kita lakukan.

Sikap pasrah dan bertawakkal kepada Tuhan tentu akan menjadi daya tarik yang kuat untuk mendekatkan diri kepada ilahi, sekalipun nyawa menjadi taruhannya, harus pasrah ketika dipanggil kembali ke pangkuan ilahi. Perasaan sebagai makhluk lemah dan kecil dihadapan Allah SWT. memenuhi relung hati yang paling dalam. Betapa kita manusia ini tidak ada apa-apanya dihadapan-Nya. Kekuasaan, jabatan sosial, kekayaan seakan-akan tidak ada artinya bagi Tuhan. Kehadiran kita di sana bukti kongkrit manusia menjadi hamba-Nya yang butuh bantuan dan ampunan-Nya.

Salat wajib lima waktu dan ditambah salat-salat sunnah menjadi amalan yang barangkali tidak pernah ditinggalkan karena besarnya keutamaan salat di masjid Nabawi. Selama berada di tanah suci salat lima waktu dan salat-salat sunat  dilaksanakan tepat waktu dengan berjamaah, rasanya rugi jika harus meninggalkannya.

Betapapun jauh jarak antara hotel tempat menginap dengan masjid pasti salat lima waktu akan dilaksanakan di masjid. Salat lima waktu menjadi bukti kalau orang yang melakukannya mewarisi sifat orang beriman, yang tidak pernah melalaikan salat lima waktu dan salat-salat sunnah.

Sejatinya setelah kembali ke tanah air ketaatan dalam melaksanakan salat lima waktu akan terus dilaksanakan, tidak hanya seminggu atau dua minggu saja namun seterusnya konsisten melaksanakannya tepat di awal waktu. Ciri terakhir dari seorang mukmin sejati menafkahkan sebagian rezeki yang dianugerahkan Tuhan ke jalan yang diridhai Allah SWT. Tidak dapat dipungkiri jika menunaikan haji wajib bagi mereka yang mampu.

Kata mampu memiliki banyak arti, mampu dapat diartikan punya biaya untuk berangkat haji, ada uang untuk keluarga yang ditinggal di tanah air, sehat jasmani dan rohani dan hal-hal lain yang mendukung kesuksesan dalam menunaikan haji. Orang-orang yang berangkat haji sejatinya memiliki sifat dermawan, tidak bakhil dengan menumpuk, memperbanyak harta hingga akhirnya timbul rasa cinta berlebihan terhadap harta tersebut sehingga merasa enggan berbagi kepada mereka yang membutuhkan.

Tidaklah berlebihan jika mereka yang berangkat haji mewarisi sifat seorang mukmin yang paripurna, mukmin sejati yang akan memperoleh ampunan Allah SWT. Sikap dan sifat mereka akan ketahuan manakala telah kembali ke tanah air, pembuktiannya pasca ibadah haji. Namun, kita yang tidak berangkat haji bukan berarti tidak bisa menjadi seorang mukmin paripurna, kita juga bisa.

Terbuka lebar peluang dan kesempatan untuk menjadi abdi Tuhan yang hakiki asalkan kita tidak meninggalkan salat lima waktu tepat pada waktunya, bertawakkal kepada Allah, rajin membaca quran, mentadabburi ayat-ayat Allah Quraniyah dan kauniyah, suka sedekah dan selalu ingat Allah dimanapun berada.  Semoga Allah menjadikan usia kita berkah, untuk selalu berada dalam ketaatan kepada-Nya sehingga terbuka peluang menjadi mukmin sejati. Wallahu a’lam.(*)

Penulis staf pengajar di Pesantren Darularafah Raya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/