25 C
Medan
Monday, June 3, 2024

Berobat dalam Tinjauan Syariat Islam

Kita semua adalah makhluk yang lemah dan senantiasa membutuhkan pertolongan Allah. Maka janganlah orang yang sehat dan kuat tertipu dengan kekuatannya, sehingga merasa dirinya bisa melakukan apa saja yang dikehendakinya tanpa memohon pertolongan Rabb-nya. Sebaliknya, jangan pula orang yang tertimpa musibah atau dalam kondisi lemah berputus asa dari rahmat-Nya. Ingatlah bahwa putus asa adalah sifat yang sangat tercela. Orang yang berputus asa sama artinya telah berburuk sangka kepada Rabb-nya, serta menganggap bahwa rahmat Allah l itu sangat sedikit terhadap hamba-hamba-Nya. Allah l telah menyebutkan dalam firman-Nya ketika mengabarkan perkataan Nabi-Nya Ibrahim: “Telah berkata (Ibrahim q): ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 56)

Marilah senantiasa mencontoh akhlak para nabi, yang senantiasa yakin akan pertolongan Allah. Di antaranya Allah sebutkan tentang Nabi-Nya, Ibrahim yang berkata: “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara: 80)

Begitu pula tentang Nabi-Nya, Ayyub: “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia berdoa kepada Rabb-Nya: ‘Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang’.” (Al-Anbiya’: 83)

Dalam kehidupannya di dunia, setiap orang tentu sangat mungkin untuk jatuh sakit. Bahkan terkadang dalam satu waktu seseorang bisa terkena beberapa jenis penyakit. Maka perlu kiranya kita ingatkan, bahwa orang yang sedang sakit disyariatkan baginya untuk memerhatikan dua perkara, yaitu:
Yang pertama: Tidak mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan yang menunjukkan ketidaksabaran terhadap ketetapan Allah atas dirinya. Namun dia harus bersabar atas ketetapan Allah pada dirinya. Karena kesabaran seorang muslim menandakan keimanan dirinya, sebagaimana disebutkan oleh Nabi n dalam sabdanya:
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang muslim, (karena) sesungguhnya semua urusannya berakibat baik (baginya), dan yang demikian ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang muslim, (yaitu) apabila mendapat nikmat dia bersyukur sehingga akibatnya baik baginya dan apabila tertimpa musibah dia bersabar dan akibatnya (juga) baik baginya.” (HR. Muslim dan yang lainnya)

Begitu pula hendaknya orang yang sakit juga melakukan introspeksi diri dari kesalahan-kesalahannya. Karena musibah yang menimpa seseorang merupakan akibat dari kesalahannya, sebagaimana Allah sebutkan di dalam firman-Nya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)

Sehingga dengan kesabarannya dan upaya mengintrospeksi diri tersebut akan menjadi sebab terhapuskan dosa-dosanya.

Adapun perkara kedua yang perlu diperhatikan oleh orang yang sakit adalah berobat dengan pengobatan yang bermanfaat. Tidak boleh baginya untuk mencari bentuk pengobatan yang menyelisihi syariat. Hal ini karena Allah telah menetapkan bahwa segala penyakit itu ada obatnya. Maka hendaknya yang dilakukan adalah berusaha untuk mencari tahu tentang obat atau tatacara pengobatannya, karena tidak setiap orang mengetahuinya.
Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya menyebutkan dalam hadits yang beliau riwayatkan dengan sanadnya melalui jalan sahabat Jabir bin ‘Abdillah, bahwasanya beliau bersabda: “Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat penyakit tersebut mengenai (orang yang sakit) maka dia akan sembuh atas izin Allah k.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang sakit tidak dilarang untuk berobat. Begitu pula berobatnya orang yang sakit tidaklah berarti menentang ketetapan Allah serta tidak pula bertentangan dengan kewajiban bertawakal kepada-Nya. Bahkan orang yang berobat ibarat orang yang berusaha menghilangkan rasa lapar dan hausnya dengan makan dan minum.

Oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.

Tentunya hal tersebut sebagaimana telah kita ketahui bersama merupakan perkara yang tidak terlarang. Bahkan berobat selama menggunakan cara yang tidak bertentangan dengan syariat merupakan salah satu bentuk usaha yang menunjukkan benarnya tawakkal seseorang. Di samping itu, telah menjadi sunnatullah bahwa segala sesuatu telah ditetapkan sebab untuk mendapatkannya. Sehingga justru dengan berobat akan menjadi sebab semakin sempurnanya tauhid seseorang.

Ketahuilah bahwa berobat yang sesuai dengan syariat secara umum bisa dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah berobat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an atau dengan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi. Yaitu dengan cara dibacakan ayat dan doa tersebut dengan diniatkan untuk mengobati pada bagian yang terkena sakit. Pengobatan cara seperti ini disebut dengan istilah ruqyah. Cara ini, dengan izin Allah, akan menjadi sebab sembuhnya orang yang terkena penyakit. Karena Allah telah memberitakan kepada kita bahwa kalam-Nya adalah obat.

Sebagaimana pula telah disebutkan dalam banyak hadis yang menunjukkan disyariatkannya pengobatan dengan cara ini. Di antaranya disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya:
“Bahwasanya Nabi n dahulu apabila terkena sakit beliau membaca untuk (mengobati) dirinya dengan mu’awwidzat (yaitu surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas).” (HR. Muslim)

Adapun cara yang kedua adalah berobat dengan menggunakan pengobatan yang bermanfaat dan diperbolehkan secara syariat. Adapun obat-obatan yang terbuat dari sesuatu yang diharamkan oleh Allah maka tidak boleh dijadikan sebagai obat. Hal ini sebagaimana disebutkan Nabi dalam sabdanya, ketika ada salah seorang sahabat yaitu Thariq bin Suwaid z menanyakan tentang khamr, yaitu sesuatu yang memabukkan, untuk dijadikan sebagai obat. Maka beliau menjawab:
“Sesungguhnya (khamr) itu bukan obat bahkan (khamr)itu adalah penyakit.” (HR. Muslim)

Termasuk pengobatan yang tidak diperbolehkan adalah pengobatan dengan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan penyakit. Misalnya dengan mengikatkan benang di leher atau di tangan, dengan maksud untuk menghilangkan penyakit yang mengenainya atau untuk mencegah datangnya penyakit. Perbuatan ini bahkan dikategorikan sebagai perbuatan syirik yang bisa mengurangi kesempurnaan iman, bahkan bisa menghilangkannya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan sebagian orangtua dengan mengalungkan benang di leher atau di tangan anaknya ketika ingin mengobatinya dari penyakit panas atau yang semisalnya adalah cara pengobatan yang dilarang dalam syariat. Karena benang atau semisalnya yang dikalungkan itu tidak ada kaitannya secara langsung untuk mengurangi atau menghilangkan penyakit. Oleh karena itu disebutkan dalam hadits, bahwa Nabi ketika mendapatkan ada sahabatnya yang mengenakan sejenis logam di lengannya untuk menghilangkan sakit pada lengannya tersebut, beliau n mengatakan:
“Lepaskan dan buanglah (logam yang engkau lingkarkan di tanganmu), karena sesungguhnya (apa yang kamu lingkarkan di tanganmu itu) tidak akan membuat engkau kecuali semakin lemah. Seandainya engkau mati dalam keadaan masih memakainya, sungguh engkau tidak akan mendapatkan keberuntungan selamanya.” (HR. Ahmad dengan sanad yang dikatakan baik oleh sebagian para ulama)

Akhirnya, marilah kita senantiasa berhati-hati dalam masalah yang berkaitan dengan pengobatan dan tatacaranya. Jangan sampai keinginan untuk mendapatkan kesembuhan baik untuk diri kita, keluarga kita, atau yang lainnya, membuat kita tidak memerhatikan aturan yang telah disyariatkan. Ingatlah bahwa sakit yang menimpa seseorang itu tidaklah seberapa dibandingkan siksa Allah di akhirat kelak. Maka janganlah kita mengorbankan agama kita dengan terjatuh pada pelanggaran dan menyalahi syariat-Nya, terkhusus dalam masalah berobat. Begitu juga dalam masalah yang lainnya. Mudah-mudahan Allah senantiasa menjaga dan menunjuki kita semua ke jalan yang diridhai-Nya. Wallahu a’lamu bish-shawab. Walhamdulillahi rabbil ’alamin.

Oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.

Kita semua adalah makhluk yang lemah dan senantiasa membutuhkan pertolongan Allah. Maka janganlah orang yang sehat dan kuat tertipu dengan kekuatannya, sehingga merasa dirinya bisa melakukan apa saja yang dikehendakinya tanpa memohon pertolongan Rabb-nya. Sebaliknya, jangan pula orang yang tertimpa musibah atau dalam kondisi lemah berputus asa dari rahmat-Nya. Ingatlah bahwa putus asa adalah sifat yang sangat tercela. Orang yang berputus asa sama artinya telah berburuk sangka kepada Rabb-nya, serta menganggap bahwa rahmat Allah l itu sangat sedikit terhadap hamba-hamba-Nya. Allah l telah menyebutkan dalam firman-Nya ketika mengabarkan perkataan Nabi-Nya Ibrahim: “Telah berkata (Ibrahim q): ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 56)

Marilah senantiasa mencontoh akhlak para nabi, yang senantiasa yakin akan pertolongan Allah. Di antaranya Allah sebutkan tentang Nabi-Nya, Ibrahim yang berkata: “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara: 80)

Begitu pula tentang Nabi-Nya, Ayyub: “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia berdoa kepada Rabb-Nya: ‘Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang’.” (Al-Anbiya’: 83)

Dalam kehidupannya di dunia, setiap orang tentu sangat mungkin untuk jatuh sakit. Bahkan terkadang dalam satu waktu seseorang bisa terkena beberapa jenis penyakit. Maka perlu kiranya kita ingatkan, bahwa orang yang sedang sakit disyariatkan baginya untuk memerhatikan dua perkara, yaitu:
Yang pertama: Tidak mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan yang menunjukkan ketidaksabaran terhadap ketetapan Allah atas dirinya. Namun dia harus bersabar atas ketetapan Allah pada dirinya. Karena kesabaran seorang muslim menandakan keimanan dirinya, sebagaimana disebutkan oleh Nabi n dalam sabdanya:
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang muslim, (karena) sesungguhnya semua urusannya berakibat baik (baginya), dan yang demikian ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang muslim, (yaitu) apabila mendapat nikmat dia bersyukur sehingga akibatnya baik baginya dan apabila tertimpa musibah dia bersabar dan akibatnya (juga) baik baginya.” (HR. Muslim dan yang lainnya)

Begitu pula hendaknya orang yang sakit juga melakukan introspeksi diri dari kesalahan-kesalahannya. Karena musibah yang menimpa seseorang merupakan akibat dari kesalahannya, sebagaimana Allah sebutkan di dalam firman-Nya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)

Sehingga dengan kesabarannya dan upaya mengintrospeksi diri tersebut akan menjadi sebab terhapuskan dosa-dosanya.

Adapun perkara kedua yang perlu diperhatikan oleh orang yang sakit adalah berobat dengan pengobatan yang bermanfaat. Tidak boleh baginya untuk mencari bentuk pengobatan yang menyelisihi syariat. Hal ini karena Allah telah menetapkan bahwa segala penyakit itu ada obatnya. Maka hendaknya yang dilakukan adalah berusaha untuk mencari tahu tentang obat atau tatacara pengobatannya, karena tidak setiap orang mengetahuinya.
Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya menyebutkan dalam hadits yang beliau riwayatkan dengan sanadnya melalui jalan sahabat Jabir bin ‘Abdillah, bahwasanya beliau bersabda: “Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat penyakit tersebut mengenai (orang yang sakit) maka dia akan sembuh atas izin Allah k.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang sakit tidak dilarang untuk berobat. Begitu pula berobatnya orang yang sakit tidaklah berarti menentang ketetapan Allah serta tidak pula bertentangan dengan kewajiban bertawakal kepada-Nya. Bahkan orang yang berobat ibarat orang yang berusaha menghilangkan rasa lapar dan hausnya dengan makan dan minum.

Oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.

Tentunya hal tersebut sebagaimana telah kita ketahui bersama merupakan perkara yang tidak terlarang. Bahkan berobat selama menggunakan cara yang tidak bertentangan dengan syariat merupakan salah satu bentuk usaha yang menunjukkan benarnya tawakkal seseorang. Di samping itu, telah menjadi sunnatullah bahwa segala sesuatu telah ditetapkan sebab untuk mendapatkannya. Sehingga justru dengan berobat akan menjadi sebab semakin sempurnanya tauhid seseorang.

Ketahuilah bahwa berobat yang sesuai dengan syariat secara umum bisa dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah berobat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an atau dengan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi. Yaitu dengan cara dibacakan ayat dan doa tersebut dengan diniatkan untuk mengobati pada bagian yang terkena sakit. Pengobatan cara seperti ini disebut dengan istilah ruqyah. Cara ini, dengan izin Allah, akan menjadi sebab sembuhnya orang yang terkena penyakit. Karena Allah telah memberitakan kepada kita bahwa kalam-Nya adalah obat.

Sebagaimana pula telah disebutkan dalam banyak hadis yang menunjukkan disyariatkannya pengobatan dengan cara ini. Di antaranya disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya:
“Bahwasanya Nabi n dahulu apabila terkena sakit beliau membaca untuk (mengobati) dirinya dengan mu’awwidzat (yaitu surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas).” (HR. Muslim)

Adapun cara yang kedua adalah berobat dengan menggunakan pengobatan yang bermanfaat dan diperbolehkan secara syariat. Adapun obat-obatan yang terbuat dari sesuatu yang diharamkan oleh Allah maka tidak boleh dijadikan sebagai obat. Hal ini sebagaimana disebutkan Nabi dalam sabdanya, ketika ada salah seorang sahabat yaitu Thariq bin Suwaid z menanyakan tentang khamr, yaitu sesuatu yang memabukkan, untuk dijadikan sebagai obat. Maka beliau menjawab:
“Sesungguhnya (khamr) itu bukan obat bahkan (khamr)itu adalah penyakit.” (HR. Muslim)

Termasuk pengobatan yang tidak diperbolehkan adalah pengobatan dengan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan penyakit. Misalnya dengan mengikatkan benang di leher atau di tangan, dengan maksud untuk menghilangkan penyakit yang mengenainya atau untuk mencegah datangnya penyakit. Perbuatan ini bahkan dikategorikan sebagai perbuatan syirik yang bisa mengurangi kesempurnaan iman, bahkan bisa menghilangkannya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan sebagian orangtua dengan mengalungkan benang di leher atau di tangan anaknya ketika ingin mengobatinya dari penyakit panas atau yang semisalnya adalah cara pengobatan yang dilarang dalam syariat. Karena benang atau semisalnya yang dikalungkan itu tidak ada kaitannya secara langsung untuk mengurangi atau menghilangkan penyakit. Oleh karena itu disebutkan dalam hadits, bahwa Nabi ketika mendapatkan ada sahabatnya yang mengenakan sejenis logam di lengannya untuk menghilangkan sakit pada lengannya tersebut, beliau n mengatakan:
“Lepaskan dan buanglah (logam yang engkau lingkarkan di tanganmu), karena sesungguhnya (apa yang kamu lingkarkan di tanganmu itu) tidak akan membuat engkau kecuali semakin lemah. Seandainya engkau mati dalam keadaan masih memakainya, sungguh engkau tidak akan mendapatkan keberuntungan selamanya.” (HR. Ahmad dengan sanad yang dikatakan baik oleh sebagian para ulama)

Akhirnya, marilah kita senantiasa berhati-hati dalam masalah yang berkaitan dengan pengobatan dan tatacaranya. Jangan sampai keinginan untuk mendapatkan kesembuhan baik untuk diri kita, keluarga kita, atau yang lainnya, membuat kita tidak memerhatikan aturan yang telah disyariatkan. Ingatlah bahwa sakit yang menimpa seseorang itu tidaklah seberapa dibandingkan siksa Allah di akhirat kelak. Maka janganlah kita mengorbankan agama kita dengan terjatuh pada pelanggaran dan menyalahi syariat-Nya, terkhusus dalam masalah berobat. Begitu juga dalam masalah yang lainnya. Mudah-mudahan Allah senantiasa menjaga dan menunjuki kita semua ke jalan yang diridhai-Nya. Wallahu a’lamu bish-shawab. Walhamdulillahi rabbil ’alamin.

Oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/