32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Botol Ajaib

Tidak ada henti-hentinya. Tidak ada kapok-kapoknya, Baginda selalu memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan berbagai pertanyaan atau tugas yang aneh-aneh. Hari ini Abu Nawas juga dipanggil ke istana.
“Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin,” kata Baginda Raja memulai pembicaraan.

“Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil,” tanya Abu Nawas.
“Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya,” kata Baginda.
Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. la tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.

Pasalnya, angin tidak bisa dilihat.

Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun, Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. Sayangnya, setelah dua hari Abu Nawas belum juga mendapat akal. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar-benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap.
la berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya. “Bukankah jin itu tidak terlihat?” Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. la berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian menuju istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya.

“Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?”
“Sudah Paduka,” jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu.
Baginda menimang-nimang botol itu.
“Mana angin itu, hai Abu Nawas?” tanya Baginda.
“Di dalam, Tuanku yang mulia,” jawab Abu Nawas penuh takzim.
“Aku tak melihat apa-apa.”
“Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu,” balas Abu Nawas pula.
Setelah tutup botol dibuka Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.
“Bau apa ini, Abu Nawas!” teriak Baginda.
“Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol,” kata Abu Nawas ketakutan.
Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. Dan untuk kesekian kali Abu Nawas selamat. (net/jpnn)

Tidak ada henti-hentinya. Tidak ada kapok-kapoknya, Baginda selalu memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan berbagai pertanyaan atau tugas yang aneh-aneh. Hari ini Abu Nawas juga dipanggil ke istana.
“Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin,” kata Baginda Raja memulai pembicaraan.

“Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil,” tanya Abu Nawas.
“Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya,” kata Baginda.
Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. la tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.

Pasalnya, angin tidak bisa dilihat.

Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun, Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. Sayangnya, setelah dua hari Abu Nawas belum juga mendapat akal. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar-benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap.
la berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya. “Bukankah jin itu tidak terlihat?” Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. la berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian menuju istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya.

“Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?”
“Sudah Paduka,” jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu.
Baginda menimang-nimang botol itu.
“Mana angin itu, hai Abu Nawas?” tanya Baginda.
“Di dalam, Tuanku yang mulia,” jawab Abu Nawas penuh takzim.
“Aku tak melihat apa-apa.”
“Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu,” balas Abu Nawas pula.
Setelah tutup botol dibuka Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.
“Bau apa ini, Abu Nawas!” teriak Baginda.
“Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol,” kata Abu Nawas ketakutan.
Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. Dan untuk kesekian kali Abu Nawas selamat. (net/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/