25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Gaji Rp500 Ribu, Semprot Antijamur Rp15 Juta

Kisah Para Pegawai di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang Terancam Gulung Tikar

Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat, terancam gulung tikar. Penyebabnya, subsidi untuk menopang biaya operasional terus menyusut. Bagaimana para pegawai di tempat itu mampu bertahan di tengah keterbatasan?

GEDUNG PDS H.B. Jassin, lembaga yang didirikan begawan sastra H.B. Jassin itu berlokasi satu bangunan dengan Planetarium. Hanya, pintu masuknya saling membelakangi. Jika Planetarium di sisi depan bangunan, PDS H.B. Jassin di belakang.

Berbeda dengan Planetarium, pintu masuk PDS H.B. Jassin sangat tidak eye-catching. Bahkan, pintu masuk itu harus berbagi pemandangan dengan kios rokok dan camilan. Pintu masuk terletak di lantai dua. Untuk menuju ke sana, terdapat tangga selebar semeter yang harus dilalui pengunjung. Lempengan besi pada anak tangga sering terdengar bising setiap kali diinjak pengunjung.

Senin siang itu (21/3) ruang utama PDS H.B. Jassin terlihat lengang. Hanya ada tiga hingga empat mahasiswa di ruang seluas lapangan voli itu. Mereka tampak sedang membaca koran di pojok ruang. Bilik baca yang diletakkan di sisi utara ruang utama, kondisinya melompong.

Berhadapan dengan bilik baca itu, sebuah meja seperti front office diletakkan. Dari meja tersebut para pengunjung mendapat akses ke koleksi-koleksi lembaga yang dikelola Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin itu. Tepat di belakang meja lobi itulah terdapat pintu masuk khusus selebar empat meter.

“Tapi, pengunjung tidak boleh masuk ke sini. Mereka hanya menyerahkan keperluannya kepada petugas, nanti petugas yang mencarikan ke dalam,” kata Kepala Pelaksana PDS H.B. Jassin Ariyani Isnamurti saat ditemui di gedung PDS.

Ruang di balik meja lobi itu adalah “harta” PDS H.B. Jassin sesungguhnya. Di dalam ruang seukuran lapangan futsal itulah diletakkan puluhan ribu koleksi dokumen sastra yang dikumpulkan sejak 1930 sampai sekarang. “Barangkali, ini pusat dokumen sastra terbesar sedunia,” kata Ariyani lantas terkekeh.

Rang tersebut dipenuhi rak-rak buku yang berbaris rapi. Hanya tersisa ruang lapang selebar kurang dari satu meter di tengah untuk lalu lalang petugas. Buku-buku di rak itu berwarna sama: cokelat lusuh dan sedikit lapuk.

Berbagai dokumen sastra ada di dalamnya. Ada tulisan tangan penyair Chairil Anwar saat menulis Puisi Malam. Bahkan, terlihat coretan tangannya mengoreksi bait demi bait tulisannya.

Ada juga buku prosa sastra Tionghoa. Di antaranya tulisan Lie Kim Hok berjudul Siti Akbari yang terbit pada 1981 dan tulisan Gouw Peng Liang berjudul Boekoe Tjerita Kaoem Pengkhianat yang dirilis pada 1907. “Sastra Tionghoa bukan cuma cerita silat,” kata Ariyani lantas tersenyum.

Masih belum cukup, terdapat buku kumpulan sajak karya W.S. Rendra yang monumental berjudul Sajak-Sajak Sepatu Tua. Dalam buku asli tulisan tangannya itu, terlihat bahwa Rendra awalnya hendak memberikan judul untuk buku itu Djalan Ungaran dan Tempat2 Lainnya. Tulisan itu kemudian dicoret dengan tanda X dan diberi judul kecil di bawahnya seperti yang kemudian banyak dicetak sekarang.

Ariyani menuturkan, sebagian besar koleksi PDS masih dalam wujud aslinya. Mulai kliping, tulisan tangan sastrawan, hingga buku-buku terbitan awal karya-karya bersejarah tersebut. Karena itu, ruang tersebut sering berbau lapuk menyengat. Kertas-kertas juga hampir semuanya berwarna cokelat kusam.

Karena itulah, pengurus PDS sempat mengusulkan agar semua koleksi PDS dikonversi ke media yang lebih permanen, baik berupa CD, film, hingga file-file elektronik. Sebab, jika dibiarkan begitu saja, koleksi itu bisa lapuk dan hilang. “Lagi pula, dalam jangka panjang uang perawatannya jauh lebih mahal daripada biaya konversi,” katanya.

Agar koleksi tidak lapuk, pengurus harus rutin menyemprotkan antijamur. Dalam setahun, minimal dua kali. Padahal, biayanya tidak murah. Sekali semprot biayanya Rp 15 juta. “Daripada harus bayar segitu terus, lebih baik dipakai untuk memindahkan ke format dokumen,” katanya.

Semprot antijamur plus biaya perawatan lain, kata Ariyani, adalah salah satu pengeluaran terbesar. Biaya karyawan, kata dia, tidak seberapa besar. Mereka saat ini mempekerjakan 14 orang dengan gaji yang tidak terlalu besar. Gajinya antara Rp 500 ribu – Rp 1 juta. “Ini bukan instansi pemerintah atau swasta yang punya profit. Kami juga harus menekan pengeluaran,” katanya.

Ariyani menuturkan, untuk hanya bisa beroperasi, PDS paling tidak butuh dana Rp 300 juta. “Dana sebesar itu tidak termasuk uang pengadaan buku-buku baru dan penambahan koleksi lho ya. Artinya, kalau hanya untuk jalan bisa,” katanya.

Berapa angka idealnya? Kata Ariyani, ditambah komputerisasi dan mengubah format dokumen ke format yang lebih awet, paling tidak PDS butuh dana Rp 1 miliar. Dana itu, menurut dia, tidak terlalu besar. Apalagi, kebutuhan terhadap PDS tidak didominasi warga DKI Jakarta saja, tapi secara nasional.

Ketua Dewan Pembina Ajip Rosidi menuturkan, saat diresmikan pada 1977, Gubernur DKI Ali Sadikin menegaskan bahwa koleksi PDS tidak dibeli pemprov. Sebab, Pemprov DKI tidak akan kuat membayar harga semua koleksi. “Tapi, ini tanggung jawab kami untuk merawatnya,” kata Ajip yang juga salah seorang pendiri PDS ini menirukan Ali Sadikin.

Penulis Sajak-Sajak Anak Matahari ini menambahkan, sejak saat itulah dana operasional PDS disubsidi pemprov. Tapi, bukan berarti mereka tidak berupaya. Yayasan yang menaungi terus berupaya mencari dana melalui donatur. Dana dari donatur tidak langsung habis untuk operasional. Sebagian besar disimpan di bank.

Namun, karena tren subsidi pemprov terus turun sejak 2003, mau tidak mau dana simpanan itu harus dipakai. Pada 2003, pemprov menyubsidi hingga Rp 500 juta. Namun, sejak Fauzi Bowo (Foke) menjadi gubernur DKI pada 2007, tiba-tiba dana disunat separo tanpa alasan yang jelas. Ajip meminta bertemu Foke, tapi tak pernah diterima. Tak lama kemudian, dana tersebut sempat ditambah Rp 100 juta menjadi Rp 350 juta.

Tapi, kebiasaan menyunat dana subsidi itu kumat pada 2009. Subsidi kembali dikorting 50 persen menjadi Rp 275 juta. PDS, kata Ariyani, berupaya tetap survive. Dana cadangan dari donatur mau tidak mau dipakai sampai akhirnya habis. Karena itulah, pengurus sempat mengumumkan hendak tutup lantaran tidak ada dana. “Kami bahkan pernah sampai utang lho,” bisik Ariyani. (c2/kum)

Kisah Para Pegawai di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang Terancam Gulung Tikar

Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat, terancam gulung tikar. Penyebabnya, subsidi untuk menopang biaya operasional terus menyusut. Bagaimana para pegawai di tempat itu mampu bertahan di tengah keterbatasan?

GEDUNG PDS H.B. Jassin, lembaga yang didirikan begawan sastra H.B. Jassin itu berlokasi satu bangunan dengan Planetarium. Hanya, pintu masuknya saling membelakangi. Jika Planetarium di sisi depan bangunan, PDS H.B. Jassin di belakang.

Berbeda dengan Planetarium, pintu masuk PDS H.B. Jassin sangat tidak eye-catching. Bahkan, pintu masuk itu harus berbagi pemandangan dengan kios rokok dan camilan. Pintu masuk terletak di lantai dua. Untuk menuju ke sana, terdapat tangga selebar semeter yang harus dilalui pengunjung. Lempengan besi pada anak tangga sering terdengar bising setiap kali diinjak pengunjung.

Senin siang itu (21/3) ruang utama PDS H.B. Jassin terlihat lengang. Hanya ada tiga hingga empat mahasiswa di ruang seluas lapangan voli itu. Mereka tampak sedang membaca koran di pojok ruang. Bilik baca yang diletakkan di sisi utara ruang utama, kondisinya melompong.

Berhadapan dengan bilik baca itu, sebuah meja seperti front office diletakkan. Dari meja tersebut para pengunjung mendapat akses ke koleksi-koleksi lembaga yang dikelola Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin itu. Tepat di belakang meja lobi itulah terdapat pintu masuk khusus selebar empat meter.

“Tapi, pengunjung tidak boleh masuk ke sini. Mereka hanya menyerahkan keperluannya kepada petugas, nanti petugas yang mencarikan ke dalam,” kata Kepala Pelaksana PDS H.B. Jassin Ariyani Isnamurti saat ditemui di gedung PDS.

Ruang di balik meja lobi itu adalah “harta” PDS H.B. Jassin sesungguhnya. Di dalam ruang seukuran lapangan futsal itulah diletakkan puluhan ribu koleksi dokumen sastra yang dikumpulkan sejak 1930 sampai sekarang. “Barangkali, ini pusat dokumen sastra terbesar sedunia,” kata Ariyani lantas terkekeh.

Rang tersebut dipenuhi rak-rak buku yang berbaris rapi. Hanya tersisa ruang lapang selebar kurang dari satu meter di tengah untuk lalu lalang petugas. Buku-buku di rak itu berwarna sama: cokelat lusuh dan sedikit lapuk.

Berbagai dokumen sastra ada di dalamnya. Ada tulisan tangan penyair Chairil Anwar saat menulis Puisi Malam. Bahkan, terlihat coretan tangannya mengoreksi bait demi bait tulisannya.

Ada juga buku prosa sastra Tionghoa. Di antaranya tulisan Lie Kim Hok berjudul Siti Akbari yang terbit pada 1981 dan tulisan Gouw Peng Liang berjudul Boekoe Tjerita Kaoem Pengkhianat yang dirilis pada 1907. “Sastra Tionghoa bukan cuma cerita silat,” kata Ariyani lantas tersenyum.

Masih belum cukup, terdapat buku kumpulan sajak karya W.S. Rendra yang monumental berjudul Sajak-Sajak Sepatu Tua. Dalam buku asli tulisan tangannya itu, terlihat bahwa Rendra awalnya hendak memberikan judul untuk buku itu Djalan Ungaran dan Tempat2 Lainnya. Tulisan itu kemudian dicoret dengan tanda X dan diberi judul kecil di bawahnya seperti yang kemudian banyak dicetak sekarang.

Ariyani menuturkan, sebagian besar koleksi PDS masih dalam wujud aslinya. Mulai kliping, tulisan tangan sastrawan, hingga buku-buku terbitan awal karya-karya bersejarah tersebut. Karena itu, ruang tersebut sering berbau lapuk menyengat. Kertas-kertas juga hampir semuanya berwarna cokelat kusam.

Karena itulah, pengurus PDS sempat mengusulkan agar semua koleksi PDS dikonversi ke media yang lebih permanen, baik berupa CD, film, hingga file-file elektronik. Sebab, jika dibiarkan begitu saja, koleksi itu bisa lapuk dan hilang. “Lagi pula, dalam jangka panjang uang perawatannya jauh lebih mahal daripada biaya konversi,” katanya.

Agar koleksi tidak lapuk, pengurus harus rutin menyemprotkan antijamur. Dalam setahun, minimal dua kali. Padahal, biayanya tidak murah. Sekali semprot biayanya Rp 15 juta. “Daripada harus bayar segitu terus, lebih baik dipakai untuk memindahkan ke format dokumen,” katanya.

Semprot antijamur plus biaya perawatan lain, kata Ariyani, adalah salah satu pengeluaran terbesar. Biaya karyawan, kata dia, tidak seberapa besar. Mereka saat ini mempekerjakan 14 orang dengan gaji yang tidak terlalu besar. Gajinya antara Rp 500 ribu – Rp 1 juta. “Ini bukan instansi pemerintah atau swasta yang punya profit. Kami juga harus menekan pengeluaran,” katanya.

Ariyani menuturkan, untuk hanya bisa beroperasi, PDS paling tidak butuh dana Rp 300 juta. “Dana sebesar itu tidak termasuk uang pengadaan buku-buku baru dan penambahan koleksi lho ya. Artinya, kalau hanya untuk jalan bisa,” katanya.

Berapa angka idealnya? Kata Ariyani, ditambah komputerisasi dan mengubah format dokumen ke format yang lebih awet, paling tidak PDS butuh dana Rp 1 miliar. Dana itu, menurut dia, tidak terlalu besar. Apalagi, kebutuhan terhadap PDS tidak didominasi warga DKI Jakarta saja, tapi secara nasional.

Ketua Dewan Pembina Ajip Rosidi menuturkan, saat diresmikan pada 1977, Gubernur DKI Ali Sadikin menegaskan bahwa koleksi PDS tidak dibeli pemprov. Sebab, Pemprov DKI tidak akan kuat membayar harga semua koleksi. “Tapi, ini tanggung jawab kami untuk merawatnya,” kata Ajip yang juga salah seorang pendiri PDS ini menirukan Ali Sadikin.

Penulis Sajak-Sajak Anak Matahari ini menambahkan, sejak saat itulah dana operasional PDS disubsidi pemprov. Tapi, bukan berarti mereka tidak berupaya. Yayasan yang menaungi terus berupaya mencari dana melalui donatur. Dana dari donatur tidak langsung habis untuk operasional. Sebagian besar disimpan di bank.

Namun, karena tren subsidi pemprov terus turun sejak 2003, mau tidak mau dana simpanan itu harus dipakai. Pada 2003, pemprov menyubsidi hingga Rp 500 juta. Namun, sejak Fauzi Bowo (Foke) menjadi gubernur DKI pada 2007, tiba-tiba dana disunat separo tanpa alasan yang jelas. Ajip meminta bertemu Foke, tapi tak pernah diterima. Tak lama kemudian, dana tersebut sempat ditambah Rp 100 juta menjadi Rp 350 juta.

Tapi, kebiasaan menyunat dana subsidi itu kumat pada 2009. Subsidi kembali dikorting 50 persen menjadi Rp 275 juta. PDS, kata Ariyani, berupaya tetap survive. Dana cadangan dari donatur mau tidak mau dipakai sampai akhirnya habis. Karena itulah, pengurus sempat mengumumkan hendak tutup lantaran tidak ada dana. “Kami bahkan pernah sampai utang lho,” bisik Ariyani. (c2/kum)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/