MEDAN, SUMUTPOS.CO – Jatuhnya pesawat Hercules type C-130 milik TNI AU sekitar dua menit setelah take off dari Lanud Soewondo, Selasa (30/6), memunculkan kembali polemik mengenai keberadaan lanud yang berada di tengah kota. Hal ini terkait dengan banyaknya korban jiwa atas tragedi di Jalan Djamin Ginting itu.
Tokoh senior TNI AU yang juga Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Marsma TNI (Purn) Tatang Kurniadi mengakui, memang tidak semestinya pangkalan militer berdekatan dengan pemukiman penduduk yang padat. Jika berdekatan, sudah tentu sangat berbahaya dan berisiko tinggi jika terjadi kecelakaan seperti yang dialami Hercules nahas itu.
“Pangkalan militer itu selalu jauh dari permukiman. Kalau Lanud Soewondo dibilang bahaya, ya memang bahaya,” ujar Tatang Kurniadi kepada Sumut Pos di Jakarta, Selasa (30/6).
Namun diakui, juga bukan hal yang mudah untuk memindahkan Lanud Soewondo. Pasalnya, penentuan lokasi bukan hal yang gampang. Yakni, lokasi jauh dari permukiman, tapi di sisi lain tidak boleh terlampau jauh dari pusat kota.
“Karena Medan sebagai kota besar, jika tak ada lanud, juga bahaya. Jika ada disaster, sangat dibutuhkan bandara untuk pendaratan pesawat angkutan, terutama logistik,” terang Tatang.
Jatuhnya Hercules hingga banyak makan korban mengingat kejadian yang mirip di lokasi yang tak jauh dari kecelakaan kemarin. Adalah pada 2005 lalu ketika pesawat milik maskapai penerbangan Mandala Airlines jatuh di dekat Bandar Udara Polonia, Medan, Sumatra Utara. Burung besi nahas itu jatuh menimpa sekitar 20 bangunan dan iring-iringan mobil di Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan.
Kecelakaan terjadi pada sekitar pukul 09.40 WIB saat pesawat sedang lepas landas. Pesawat tersebut lepas landas dalam posisi yang tidak sempurna dan lalu menabrak tiang listrik sebelum jatuh ke jalan dan menimpa rumah warga yang terletak hanya sekitar 100 meter dari bandara.
Setelah jatuh, pesawat meledak beberapa kali dan terbakar sehingga hancur hampir sepenuhnya, menyisakan ekor pesawat bertuliskan PK-RIM.
Kobaran api selain menghanguskan pesawat juga menghanguskan puluhan rumah dan kendaran bermotor. Api yang terus menyala menyulitkan usaha penyelamatan jenazah dari bangkai pesawat dan kondisi di sekitar lokasi pun padat oleh penduduk yang penasaran.
Kecelakaan tersebut merenggut total 149 nyawa, termasuk 44 warga yang berada di sekitar lokasi kecelakaan: penghuni rumah yang sedang beraktivitas pagi itu, pemilik warung, pejalan kaki, juga pengayuh becak yang sedang mencari nafkah. Di antara korban kecelakaan yang meninggal dunia termasuk Gubernur Sumatera Utara Tengku Rizal Nurdin yang rencananya akan bertemu presiden serta mantan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar.
Sehari setelah kejadian, Kepala Bisnis dan Pengembangan Indonesian Aviation Services (Indoavis) Andry Bachtiar di Jakarta jelas-jelas mengemukan Bandara Polonia sangat tidak layak. Andry mengatakan, risiko itu di antaranya banyaknya bangunan tinggi seperti rumah dan gedung pertokoan serta perkantoran di sekitar Bandara Polonia. Ketinggian gedung melebihi garis lepas landas pesawat. Menurut catatan Indoavis, pada 2001 saja tercatat ada tujuh bangunan tinggi di sekitar Bandara Polonia. “Sekarang tentunya lebih banyak,” jelas Andry saat itu.
Dia menambahkan, lingkungan perumahan yang padat di sekitar bandara juga sangat mengganggu konsentrasi pilot dan sistem navigasi penerbangan. Andry memperkirakan, kasus jatuhnya pesawat Mandala di Padang Bulan juga ada kaitannya dengan kepadatan pemukiman penduduk di sana.
Itulah sebab dua tahun lalu, polemik keberadaan Bandara Polonia yang kemudian menjadi Lanud Soewondo mulai muncul. Saat itu dipicu masalah ketentuan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP). Pihak Pemko Medan yang ingin mengembangkan kawasan kota, merasa terkendala ketentuan KKOP bandara.
Sempat juga berkembang wacana area bandara tersebut agar diubah menjadi kawasan jalur hijau atau paru-paru kota. (sam/bbs/rbb)