Hingga sidang dimulai pada pukul 11.20 WIB, dua politisi yang sudah didaulat sebagai pimpinan DPR sementara, yakni Pramono Anung (PDIP) dan Patrice Rio Capella (Partai Nasdem) tak terlihat di lokasi. Dalam daftar hadir juga tidak ada tandatangan keduanya.
Mereka digantikan oleh Effendi Simbolon (PDIP) dan Supriyadi (Partai Nasdem). Abdul Kadir Karding (PKB) hadir dalam rapat tersebut. Namun, ia tidak ikut memimpin rapat dan digantikan Ida Fauziah (PKB).
Hanya dua pimpinan sementara yang hadir sehingga posisi mereka tak berubah, yakni Dossy Iskandar (Partai Hanura) dan Syaifullah Tamliha (PPP).
Agenda sidang adalah pembacaan mosi tidak percaya dari lima fraksi terhadap pimpinan DPR yang diketuai Setya Novanto dan empat wakilnya, yakni Fadli Zon, Fahri Hamzah, Agus Hermanto, dan Taufik Kurniawan.
Setelah membacakan mosi tidak percaya, sidang paripurna dilanjutkan dengan agenda pemilihan dan penetapan pimpinan DPR yang baru serta penetapan anggota untuk tiap komisi dan alat kelengkapan lain di DPR.
Sebelumnya, Pramono menolak pembentukan pimpinan DPR tandingan tersebut. Pramono berpendapat, pimpinan DPR yang dikuasai oleh Koalisi Merah Putih saat ini tetap lebih baik daripada pimpinan DPR tandingan yang dibentuk oleh KIH.
Wakil Sekjen PDIP Ahmad Basarah mengakui langkah yang diambil KIH membentuk DPR tandingan merupakan langkah yang ilegal. DPR tandingan ini tidak memiliki payung hukum.
“Kami tahu langkah ini tidak ada dasar hukumnya. Sama dengan KMP yang tak ada dasar hukumnya membentuk AKD (alat kelengkapan dewan) dan badan,” tukas Ahmad Basarah di Gedung DPR, Senayan, kemarin.
Oleh karena itu Koalisi Indonesia Hebat akan mencari jalan untuk mendapat payung hukum tersebut. “Normatif adalah Mahkamah Agung,” kata Basarah. Namun menurut Basarah, nantinya bukan hanya langkah KIH saja yang ilegal. Langkah KMP pun serupa.
Tindakan KIH yang akan membentuk pemimpin komisi dan badan sendiri nanti, akan menimbulkan dualisme kepemimpinan di DPR. Hal ini akan mengakibatkan kepemimpinan DPR yang disahkan KMP tidak akan diakui.
Karena menurut perspektif hukum itu ilegal, lantaran tidak memenuhi Tatib DPR Pasal 251 ayat 1 dan ayat 4, serta Pasal 284 tentang pengambilan keputusan fraksi.
“Karena produk KMP ilegal, termasuk pembentukan komisi dan badan, maka segala kebijakan yang diambil ya ilegal. Kan begitu logika hukumnya.Karena ilegal, mereka belum bisa mewakili representasi DPR secara konstitusional,” imbuh Basarah.