25.6 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Dua Bos Daging Sapi Terbukti Sogok Luthfi

JAKARTA – Dua direktur PT Indoguna Utama, Arya Abdi Effendy dan Juard Effendy dinyatakan terbukti bersalah karena menyuap anggota Komisi I DPR Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) sebesar Rp 1,3 miliar. Oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Juard dan Arya dijatuhi hukuman 27 bulan.

Pada persidangan yang digelar Senin (1/7) malam, Arya dan Juard dianggap telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur dakwaan pertama, yakni pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Keduanya secara bersama-sama menyogok Luthfi melalui Ahmad Fathanah demi meloloskan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian untuk PT Indoguna Utama.

“Menjatuhkan hukuman oleh karenanya dengan pidana penjara kepada terdakwa pertama Arya Abdi Effendi dan terdakwa kedua Juard Effendy masing-masing dua tahun dan tiga bulan (27 bulan, red),” ucap Ketua Majelis Purwono Edi Santosa saat membacakan putusan. “Menjatuhkan hukuman denda terhadap terdakwa satu dan dua masing-masing Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan,” lanjutnya.

Hukuman itu lebih ringan dari tuntutan JPU KPK. Majelis hanya mengabulkan setengah dari tuntutan JPU. Sebelumnya, Tim JPU KPK yang dipimpin M Rum meminta majelis menjatuhkan hukuman kepada Arya dan Juard masing-masing 4 tahun enam bulan penjara plus denda masing-masing Rp200 juta
Hal yang dianggap meringankan hukuman, karena keduanya bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum. Sedangkan hal yang memberatkan, karena perbuatan itu tidak membantu program pemberantasan korupsi. “Terdakwa sebagai pengusaha yang menguasai impor daging dapat merusak harga daging,” tegas Purwono.

Sebelum putusan dibacakan, majelis menguraikan perbuatan para terdakwa. Anggota majelis, Amin Ismanto, menuturkan bahwa pada 29 Desember 2012 Luthfi pbertemu dengan Dirut PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman. “Ahmad Fathanah menegaskan kesediaan Luthfi sesuai pertemuan Lembang untuk membantu permohonan kuota dan meminta Maria memberi dukungan dana ke PKS,” tutur Amin.

Sedangkan anggota majelis, Alexander Marwata saat membacakan pertimbangan majelis menyatakan pemberian Rp1,3 miliar untuk Luthfi melalui Ahmad Fathanah itu bukan sumbangan sukarela. “Tetapi agar Luthfi berbuat membantu meloloskan kuota impor daging sapi. Sehingga pembelaan terdakwa harus dikesampingkan,” ucap Marwata.

Majelis menegaskan, tidak penting apakah izin kuota itu sudah diterbitkan atau tidak oleh Menteri Pertanian Suswono. Tapi, kata majelis, perbuatan hukum Luthfi adalah untuk membantu terdakwa.

“Perbuatan Luthfi terbukti untuk mendukung bisnis Maria Elizabeth Liman. Sehingga Luthfi dan Fathanah mendapat keuntungan dari Indoguna Utama,” ucap majelis.

Sedangkan anggota majelis, Gosen Butarbutar menyatakan, uang dari Arya dan Juard memang belum sampai ke Luthfi karena masih dikuasai Fathanah. Tapi, majelis meyakini uang itu memang untuk Luthfi. “Berdasarkan pertimbangan majelis, meski uang itu belum sampai ke Luthfi tapi motifnya merupakan satu kesatuan (untuk meloloskan permohonan kuota impor daging sapi, red),” tegasnya.
Atas putusan itu, baik Arya maupun Juard menyatakan pikir-pikir. Langkah serupa juga diambil Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. “Masih ada waktu, jadi kami pikir-pikir,” ujar JPU KPK, M Rum.

Luthfi Minta Bebas

Pada persidangan terpisah, Luthfi tampak mencoba lolos dari kasus suap pengaturan kuota impor daging sapi. Dalam sidang lanjutan di pengadilan tipikor dengan agenda pembacaan eksepsi, LHI balik menyerang KPK. Salah satunya, dengan menyebut pengungkapan kasusnya adalah bagian dari skenario menghancurkan PKS.

Melalui kuasa hukumnya yang membacakan eksepsi, LHI meminta agar dirinya dibebaskan dari segala dakwaan. Bukan tanpa sebab pria dengan tiga istri itu meminta bebas. Mulai dari mempertanyakan standar operational prosedure (SOP) KPK, penyadapan, keabsahan pengadilan tipikor, hingga kualifikasi dirinya disebut penyelenggara negara.

Salah satu kuasa hukum LHI, Zainudin Paru, kembali mempermasalahkan sikap KPK yang dianggapnya tebang pilih dalam kasus kliennya. Dia lantas membandingkan perlakuan KPK terhadap Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum dalam kasus proyek Hambalang. KPK dianggap diskriminatif karena tidak segera menahan Andi dan Anas. Disebutnya, keduanya masih saja bebas. “KPK selalu memberi alasan,” kata Zainuddin.

Tim kuasa hukum juga membeber hasil riset terhadap pemberitaan kasus yang menyeret LHI. Melalui mesin pencari internet, berita soal LHI sebagai tersangka dengan embel-embel PKS menyapai jutaan. Berbeda jika keyword PKS dihilangkan, maka berita yang muncul hanya ribuan.

Atas dasar itu, dia menuding KPK memiliki misi untuk menghancurkan reputasi PKS. Dia mengutip sejumlah pernyataan analisis bahwa kinerja KPK selama ini tebang pilih. Entah kenapa, tampaknya PKS menjadi pilihan untuk ditebang melalui kasus pengaturan kuota daging sapi impor. “Diskriminasi itu yang memberi kami keyakinan adanya motif di luar hukum untuk menghancurkan PKS,” jelasnya.

Tidak cukup di situ, kuasa hukum juga menilai kalau KPK hanya mengurusi pencitraan ketimbang kinerja. Selama ini, lembaga pimpinan Abraham Samad itu kurang serius dalam mencegah tindakan korupsi. Menurut dia, pencegahan kurang dimintai KPK karena tidak laku untuk “dijual”.

Nah, sikap KPK yang pilih-pilih dalam melakukan penindakan juga digambarkan Zainudin terkait nama-nama diluar PKS dalam dakwaan LHI. Dia mengutip pernyataan Yudi Setiawan, orang yang menuding PKS mengumpulkan uang Rp 2 triliun untuk menghadapi panggung politik 2014.
Disebutkan, dalam berkas acara pemeriksaan (BAP) sempat muncul nama Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Setya Novanto, lantas Happy Bone Zulkarnaen. Namun, anehnya nama-nama dalam BAP itu tidak muncul di dakwaan. “Ketika jadi dakwaan, tokoh-tokoh itu tidak muncul dalam dakwaan,” jelasnya.

Motif di luar hukum lainnya adalah proses penangkapan LHI saat memimpin rapat di kantor DPP PKS. Begitu juga dengan penyitaan mobil yang juga dilakukan di kantor PKS. Menurutnya, mobil-mobil yang disita itu tidak ada kaitan dengan perkara.

M. Assegaf, kuasa hukum lainnya menambahkan, ucapan KPK yang menyebut telah melakukan tangkap tangan pada LHI tidak tepat. Sesuai dengan aturan, yang disebut tangkap tangan adalah saat seseorang melakukan tindak pidana. “Padahal terdakwa ditangkap di kantor DPP PKS. Tidak masuk akal diklaim tangkap tangan,” katanya.

Semua itu, lanjut Assegaf, diperburuk dengan fakta tidak adanya bukti penyerahan uang dari Fathanah ke LHI. Arogansi KPK menurutnya telah menciderai hak terdakwa untuk didampingi pengacara saat menjalani pemeriksaan. Terutama pemeriksaan awal yang menurutnya sangat vital.

Assegaf juga mempermasalahkan tanda sita yang dipasang KPK di aset LHI. Baginya, plang dengan tulisan “Disita dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama Luhfi Hasan Ishaaq” dianggap mengabaikan asas praduga tak bersalah. “Tanpa tanda sita, penyitaan sudah sah. Penyitaan oleh KPK berlebihan,” tuturnya.

Dalam eksepsi, persoalan lain yang dipermasalahkan pihak LHI adalah soal kualifikasi penyelenggara negara pada kliennya. Kuasa hukum menilai LHI tidak masuk kategori tersebut karena berstatus presiden PKS. Demikian juga atas status anggota DPR yang lebih berperan sebagai legislator.

Dia juga menganggap janggal isi surat dakwaan, khususnya menyangkut tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebab, penerapan TPPU seharusnya terkait dengan tindak pidana asal. Bagaimana mungkin jika tindak pidana utama belum dipastikan tetapi sudah muncul TPPU. Itulah kenapa, tim kuasa hukum LHI menilai banyak kejanggalan yang dijeratkan pada kliennya.
Tidak hanya LHI, tersangka lain yakni Ahmad Fathanah juga menyebut kalau dakwaan atas perkara suap tidak jelas. Menurut dia, jaksa penuntut umum (JPU) dianggap tidak bisa membuktikan kaitan dirinya dengan LHI. Melalui kuasa hukumnya, Yuda Arian, Fathanah mempertanyakan dakwaan jaksa. “Tidak diterangkan (oleh KPK) apakah perbuatan terdakwa dilatarbelakangi perintah Luthfi Hasan Ishaaq atau tidak,” katanya. (ara/jpnn)

JAKARTA – Dua direktur PT Indoguna Utama, Arya Abdi Effendy dan Juard Effendy dinyatakan terbukti bersalah karena menyuap anggota Komisi I DPR Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) sebesar Rp 1,3 miliar. Oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Juard dan Arya dijatuhi hukuman 27 bulan.

Pada persidangan yang digelar Senin (1/7) malam, Arya dan Juard dianggap telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur dakwaan pertama, yakni pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Keduanya secara bersama-sama menyogok Luthfi melalui Ahmad Fathanah demi meloloskan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian untuk PT Indoguna Utama.

“Menjatuhkan hukuman oleh karenanya dengan pidana penjara kepada terdakwa pertama Arya Abdi Effendi dan terdakwa kedua Juard Effendy masing-masing dua tahun dan tiga bulan (27 bulan, red),” ucap Ketua Majelis Purwono Edi Santosa saat membacakan putusan. “Menjatuhkan hukuman denda terhadap terdakwa satu dan dua masing-masing Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan,” lanjutnya.

Hukuman itu lebih ringan dari tuntutan JPU KPK. Majelis hanya mengabulkan setengah dari tuntutan JPU. Sebelumnya, Tim JPU KPK yang dipimpin M Rum meminta majelis menjatuhkan hukuman kepada Arya dan Juard masing-masing 4 tahun enam bulan penjara plus denda masing-masing Rp200 juta
Hal yang dianggap meringankan hukuman, karena keduanya bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum. Sedangkan hal yang memberatkan, karena perbuatan itu tidak membantu program pemberantasan korupsi. “Terdakwa sebagai pengusaha yang menguasai impor daging dapat merusak harga daging,” tegas Purwono.

Sebelum putusan dibacakan, majelis menguraikan perbuatan para terdakwa. Anggota majelis, Amin Ismanto, menuturkan bahwa pada 29 Desember 2012 Luthfi pbertemu dengan Dirut PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman. “Ahmad Fathanah menegaskan kesediaan Luthfi sesuai pertemuan Lembang untuk membantu permohonan kuota dan meminta Maria memberi dukungan dana ke PKS,” tutur Amin.

Sedangkan anggota majelis, Alexander Marwata saat membacakan pertimbangan majelis menyatakan pemberian Rp1,3 miliar untuk Luthfi melalui Ahmad Fathanah itu bukan sumbangan sukarela. “Tetapi agar Luthfi berbuat membantu meloloskan kuota impor daging sapi. Sehingga pembelaan terdakwa harus dikesampingkan,” ucap Marwata.

Majelis menegaskan, tidak penting apakah izin kuota itu sudah diterbitkan atau tidak oleh Menteri Pertanian Suswono. Tapi, kata majelis, perbuatan hukum Luthfi adalah untuk membantu terdakwa.

“Perbuatan Luthfi terbukti untuk mendukung bisnis Maria Elizabeth Liman. Sehingga Luthfi dan Fathanah mendapat keuntungan dari Indoguna Utama,” ucap majelis.

Sedangkan anggota majelis, Gosen Butarbutar menyatakan, uang dari Arya dan Juard memang belum sampai ke Luthfi karena masih dikuasai Fathanah. Tapi, majelis meyakini uang itu memang untuk Luthfi. “Berdasarkan pertimbangan majelis, meski uang itu belum sampai ke Luthfi tapi motifnya merupakan satu kesatuan (untuk meloloskan permohonan kuota impor daging sapi, red),” tegasnya.
Atas putusan itu, baik Arya maupun Juard menyatakan pikir-pikir. Langkah serupa juga diambil Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. “Masih ada waktu, jadi kami pikir-pikir,” ujar JPU KPK, M Rum.

Luthfi Minta Bebas

Pada persidangan terpisah, Luthfi tampak mencoba lolos dari kasus suap pengaturan kuota impor daging sapi. Dalam sidang lanjutan di pengadilan tipikor dengan agenda pembacaan eksepsi, LHI balik menyerang KPK. Salah satunya, dengan menyebut pengungkapan kasusnya adalah bagian dari skenario menghancurkan PKS.

Melalui kuasa hukumnya yang membacakan eksepsi, LHI meminta agar dirinya dibebaskan dari segala dakwaan. Bukan tanpa sebab pria dengan tiga istri itu meminta bebas. Mulai dari mempertanyakan standar operational prosedure (SOP) KPK, penyadapan, keabsahan pengadilan tipikor, hingga kualifikasi dirinya disebut penyelenggara negara.

Salah satu kuasa hukum LHI, Zainudin Paru, kembali mempermasalahkan sikap KPK yang dianggapnya tebang pilih dalam kasus kliennya. Dia lantas membandingkan perlakuan KPK terhadap Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum dalam kasus proyek Hambalang. KPK dianggap diskriminatif karena tidak segera menahan Andi dan Anas. Disebutnya, keduanya masih saja bebas. “KPK selalu memberi alasan,” kata Zainuddin.

Tim kuasa hukum juga membeber hasil riset terhadap pemberitaan kasus yang menyeret LHI. Melalui mesin pencari internet, berita soal LHI sebagai tersangka dengan embel-embel PKS menyapai jutaan. Berbeda jika keyword PKS dihilangkan, maka berita yang muncul hanya ribuan.

Atas dasar itu, dia menuding KPK memiliki misi untuk menghancurkan reputasi PKS. Dia mengutip sejumlah pernyataan analisis bahwa kinerja KPK selama ini tebang pilih. Entah kenapa, tampaknya PKS menjadi pilihan untuk ditebang melalui kasus pengaturan kuota daging sapi impor. “Diskriminasi itu yang memberi kami keyakinan adanya motif di luar hukum untuk menghancurkan PKS,” jelasnya.

Tidak cukup di situ, kuasa hukum juga menilai kalau KPK hanya mengurusi pencitraan ketimbang kinerja. Selama ini, lembaga pimpinan Abraham Samad itu kurang serius dalam mencegah tindakan korupsi. Menurut dia, pencegahan kurang dimintai KPK karena tidak laku untuk “dijual”.

Nah, sikap KPK yang pilih-pilih dalam melakukan penindakan juga digambarkan Zainudin terkait nama-nama diluar PKS dalam dakwaan LHI. Dia mengutip pernyataan Yudi Setiawan, orang yang menuding PKS mengumpulkan uang Rp 2 triliun untuk menghadapi panggung politik 2014.
Disebutkan, dalam berkas acara pemeriksaan (BAP) sempat muncul nama Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Setya Novanto, lantas Happy Bone Zulkarnaen. Namun, anehnya nama-nama dalam BAP itu tidak muncul di dakwaan. “Ketika jadi dakwaan, tokoh-tokoh itu tidak muncul dalam dakwaan,” jelasnya.

Motif di luar hukum lainnya adalah proses penangkapan LHI saat memimpin rapat di kantor DPP PKS. Begitu juga dengan penyitaan mobil yang juga dilakukan di kantor PKS. Menurutnya, mobil-mobil yang disita itu tidak ada kaitan dengan perkara.

M. Assegaf, kuasa hukum lainnya menambahkan, ucapan KPK yang menyebut telah melakukan tangkap tangan pada LHI tidak tepat. Sesuai dengan aturan, yang disebut tangkap tangan adalah saat seseorang melakukan tindak pidana. “Padahal terdakwa ditangkap di kantor DPP PKS. Tidak masuk akal diklaim tangkap tangan,” katanya.

Semua itu, lanjut Assegaf, diperburuk dengan fakta tidak adanya bukti penyerahan uang dari Fathanah ke LHI. Arogansi KPK menurutnya telah menciderai hak terdakwa untuk didampingi pengacara saat menjalani pemeriksaan. Terutama pemeriksaan awal yang menurutnya sangat vital.

Assegaf juga mempermasalahkan tanda sita yang dipasang KPK di aset LHI. Baginya, plang dengan tulisan “Disita dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama Luhfi Hasan Ishaaq” dianggap mengabaikan asas praduga tak bersalah. “Tanpa tanda sita, penyitaan sudah sah. Penyitaan oleh KPK berlebihan,” tuturnya.

Dalam eksepsi, persoalan lain yang dipermasalahkan pihak LHI adalah soal kualifikasi penyelenggara negara pada kliennya. Kuasa hukum menilai LHI tidak masuk kategori tersebut karena berstatus presiden PKS. Demikian juga atas status anggota DPR yang lebih berperan sebagai legislator.

Dia juga menganggap janggal isi surat dakwaan, khususnya menyangkut tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebab, penerapan TPPU seharusnya terkait dengan tindak pidana asal. Bagaimana mungkin jika tindak pidana utama belum dipastikan tetapi sudah muncul TPPU. Itulah kenapa, tim kuasa hukum LHI menilai banyak kejanggalan yang dijeratkan pada kliennya.
Tidak hanya LHI, tersangka lain yakni Ahmad Fathanah juga menyebut kalau dakwaan atas perkara suap tidak jelas. Menurut dia, jaksa penuntut umum (JPU) dianggap tidak bisa membuktikan kaitan dirinya dengan LHI. Melalui kuasa hukumnya, Yuda Arian, Fathanah mempertanyakan dakwaan jaksa. “Tidak diterangkan (oleh KPK) apakah perbuatan terdakwa dilatarbelakangi perintah Luthfi Hasan Ishaaq atau tidak,” katanya. (ara/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/