26.7 C
Medan
Sunday, May 12, 2024

Komnas HAM Minta MUI Jatim Cabut Fatwa Syiah Sesat

JAKARTA –Akar konflik kerusuhan yang terjadi di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur tidak sekedar berasal dari konflik keluarga. Beberapa pihak menilai, kerusuhan tersebut menyangkut persoalan politik. Bahkan fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim, terkait keberadaan kaum Syiah ikut memperkeruh suasana.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun meminta MUI Jatim mencabut fatwa sesat tersebut. Menurut Wakil Ketua Komnas HAM Nur Cholis menyatakan pencabutan fatwa tersebut bisa membantu menyelesaikan konflik antara kaum Sunni dan Syiah.

“Kalau fatwa sesat itu dicabut bisa menyelesaikan hingga 80 persen persoalan,’’ ujar Nur Cholis dalam diskusi Polemik di Warung Daun, kemarin (1/9).
Dia memaparkan, konflik tersebut tidak bisa ditangani hanya oleh pihak kepolisian. Penegakan hukum setidaknya harus dibarengi proses dialog dengan pihak yang berkonflik. Proses dialog sebaiknya dimediasi oleh pihak ulama. “Polri jangan bergerak sendiri, lebih baik lagi ada proses dialog yang bisa diinisasi. Ada banyak tokoh agama yang membantu,” paparnya.

Selain itu, lanjut dia, Komnas HAM menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung mengabaikan pentingnya peranan dialog dalam menyelesaikan konflik antar keyakinan. Nur Cholis mencontohkan, Mendagri sebenarnya telah memahami kondisi dan potensi konflik antara Sunni dan Syiah sejak 2004 lalu. Namun, pihak Kemendagri hanya setahun sekali menggelar dialog. Seharusnya pemerintah berperan sebagai pihak yang menyelesaikan.

Cendekiawan muslim, Zuhairi Misrawi menambahkan, sejatinya hubungan antarumat di Madura sangat baik. Bahkan, hubungan kaum Muslim dan Nasrani juga relatif mesra. Namun, belakangan, ada gerakan sistematis yang seolah-olah merusak keharmonisan hubungan antarumat. Hal itu diperburuk fatwa MUI Sampang dan MUI Jawa Timur yang menyebut Syiah sesat.

“Saya meyakini politisasi keyakinan tidak tiba-tiba terjadi. Tapi ada pihak-pihak yang memobilisasi gerakan. Hal itu semakin parah ketika Pemda menilai fatwa MUI sebagai sesuatu yang menjadi kebijakan. Bahkan bupatinya pernah bilang Syiah nggak boleh tinggal di Sampang,’’ jelasnya.

MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa Syiah sesat pada 21 Januari lalu. Hal itu mengukuhkan fatwa dari sejumlah MUI daerah, salah satunya Sampang. Fatwa Syiah Imamiyyah Itsna’asyriyyah sesat dikeluarkan MUI Sampang setelah melihat perkembangan aliran tersebut, yang meresahkan masyarakat setempat. MUI setempat menilai aliran Syiah tidak pas hidup di Indonesia, khususnya Sampang. Keputusan itu dikukuhkan oleh Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia. Tapi, MUI Pusat belum menyetujuinya.  (ken/dim/pri/jpnn)

JAKARTA –Akar konflik kerusuhan yang terjadi di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur tidak sekedar berasal dari konflik keluarga. Beberapa pihak menilai, kerusuhan tersebut menyangkut persoalan politik. Bahkan fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim, terkait keberadaan kaum Syiah ikut memperkeruh suasana.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun meminta MUI Jatim mencabut fatwa sesat tersebut. Menurut Wakil Ketua Komnas HAM Nur Cholis menyatakan pencabutan fatwa tersebut bisa membantu menyelesaikan konflik antara kaum Sunni dan Syiah.

“Kalau fatwa sesat itu dicabut bisa menyelesaikan hingga 80 persen persoalan,’’ ujar Nur Cholis dalam diskusi Polemik di Warung Daun, kemarin (1/9).
Dia memaparkan, konflik tersebut tidak bisa ditangani hanya oleh pihak kepolisian. Penegakan hukum setidaknya harus dibarengi proses dialog dengan pihak yang berkonflik. Proses dialog sebaiknya dimediasi oleh pihak ulama. “Polri jangan bergerak sendiri, lebih baik lagi ada proses dialog yang bisa diinisasi. Ada banyak tokoh agama yang membantu,” paparnya.

Selain itu, lanjut dia, Komnas HAM menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung mengabaikan pentingnya peranan dialog dalam menyelesaikan konflik antar keyakinan. Nur Cholis mencontohkan, Mendagri sebenarnya telah memahami kondisi dan potensi konflik antara Sunni dan Syiah sejak 2004 lalu. Namun, pihak Kemendagri hanya setahun sekali menggelar dialog. Seharusnya pemerintah berperan sebagai pihak yang menyelesaikan.

Cendekiawan muslim, Zuhairi Misrawi menambahkan, sejatinya hubungan antarumat di Madura sangat baik. Bahkan, hubungan kaum Muslim dan Nasrani juga relatif mesra. Namun, belakangan, ada gerakan sistematis yang seolah-olah merusak keharmonisan hubungan antarumat. Hal itu diperburuk fatwa MUI Sampang dan MUI Jawa Timur yang menyebut Syiah sesat.

“Saya meyakini politisasi keyakinan tidak tiba-tiba terjadi. Tapi ada pihak-pihak yang memobilisasi gerakan. Hal itu semakin parah ketika Pemda menilai fatwa MUI sebagai sesuatu yang menjadi kebijakan. Bahkan bupatinya pernah bilang Syiah nggak boleh tinggal di Sampang,’’ jelasnya.

MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa Syiah sesat pada 21 Januari lalu. Hal itu mengukuhkan fatwa dari sejumlah MUI daerah, salah satunya Sampang. Fatwa Syiah Imamiyyah Itsna’asyriyyah sesat dikeluarkan MUI Sampang setelah melihat perkembangan aliran tersebut, yang meresahkan masyarakat setempat. MUI setempat menilai aliran Syiah tidak pas hidup di Indonesia, khususnya Sampang. Keputusan itu dikukuhkan oleh Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia. Tapi, MUI Pusat belum menyetujuinya.  (ken/dim/pri/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/