25.6 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

SBY Ditertawai Adik Prabowo

Hashim Djojohadikusumo
Hashim Djojohadikusumo

SUMUTPOS.CO- Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengaku tertawa pertama kali mendengar Presiden SBY akan menerbitkan untuk membatalkan UU Pilkada oleh DPR yang baru saja diketok DPR. Pasalnya, pemerintahlah yang pertama mengajukan perubahan terhadap UU Pilkada yang lama.

“KAMI ketawa dan kaget. Kan lucu. RUU ini kan beliau yang mulai. RUU ini gagasan beliau. Mendagri mewakili beliau. Masa beliau mau batalkan produk beliau sendiri,” ucap adik kandung Prabowo Subianto tersebut usai menghadiri pelantikan anggota DPR baru di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (1/10) petang.

Hashim sangat yakin, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tersebut tidak akan diterima DPR. Koalisi Merah Putih (KMP) yang digawangi Gerindra tetap ingin Pilkada oleh DPRD. “Saya kira ya (ditolak). Kalau KMP tetap utuh, saya kira akan ditolak,” tandasnya.

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tanjung juga mempertanyakan alasan Presiden SBY yang akan mengeluarkan Perppu sebagai payung hukum pelaksanaan Pilkada langsung.

Akbar berpandangan saat ini tidak ada sesuatu atau kondisi yang genting sehingga memaksa Presiden SBY untuk mengeluarkan Perppu.

“Ya memang itu agak dipertanyakan ya, kenapa mesti ada Perppu gitu lho ya? Itu kan mesti disahkan dulu (di DPR), kemudian setelah disahkan baru suatu UU itu bisa berlaku. Kecuali kalau memang ada suatu keadaan genting yang memaksa,” kata Akbar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/10).

Dia menegaskan, kalau ada keadaan genting dan memaksa, baru bisa mengeluarkan Perppu. “Saya tidak melihat apa yang dianggap atau dilihat sebagai keadaan yang memaksa, sehingga presiden harus mengeluarkan Perppu,” kata bekas Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar ini. Karenanya, Akbar mengatakan perlu ada penjelasan yang lebih rinci soal alasan rencana SBY mengeluarkan Perppu tersebut.

Menteri di era Orde Baru itu menambahkan nantinya Perppu itu juga akan dikembalikan atau harus disahkan oleh DPR.

“Apa iya, UU yang sudah disahkan, dibahas bersama antara pemerintah dan DPR, sudah disahkan lalu dikembalikan lagi dalam bentuk Perppu? Dimana logikanya. Apakah iya DPR kemudian akan mengesahkan lagi?” kata Akbar.

Terkait itu pula, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa tiba-tiba menyambangi Kantor Presiden di Jalan Veteran, Jakarta. Mantan Menko Perekonomian itu diduga baru saja menemui Presiden SBY.

Tak satupun awak media di Kantor Presiden saat itu yang mengetahui kedatangan Hatta. Namun politisi yang juga besan dari SBY ini justru terlihat keluar dari Istana sekitar pukul 22.45 WIB, Selasa (30/9). Hatta yang mengenakan batik lengan panjang warna biru malam itu tampak didampingi seorang ajudan.

Kedatangan Hatta ke Kantor Presiden malam-malam sudah pasti menimbulkan banyak pertanyaan. Apalagi saat ini Presiden SBY tengah menyiapkan Perppu untuk membatalkan UU Pilkada yang baru saja disahkan DPR pekan lalu. Mungkinkah malam itu SBY melobi Hatta Rajasa untuk membangun koalisi dukungan agar Perppu yang diajukannya ke DPR nanti bisa gol?
Seperti dikatakan SBY yang juga menjadi Ketua Umum Partai Demokrat ini usai memberi pembekalan terhadap anggota DPR Partai Demokart di Hotel Sultan, Selasa (30/9) malam, bahwa dirinya akan menandatangani UU Pilkada yang sudah disahkan DPR. Setelah itu, SBY mengeluarkan Perppu.

“Saya sudah siapkan Perppu yang intinya, Perppu ini saya ajukan ke DPR setelah, katakanlah, hari ini atau besok draf RUU hasil sidang kemarin saya terima, maka aturan main harus saya tanda tangani,” kata SBY.

Namun jika melihat peta politik saat ini, Koalisi Merah Putih yang notabene mendukung UU Pilkada masih mendominasi kekuatan di DPR. Berdasarkan peta anggota DPR terpilih, komposisi kekuatan Koalisi Merah Putih yang terdiri dari 5 partai politik berjumlah 292 kursi.

Sementara itu, Koalisi Indonesia Hebat yang digawangi PDIP, Hanura, NasDem, dan PKB hanya berjumlah 207. Jika Partai Demokrat yang memiliki 61 kursi bergabung kepada Koalisi Indonesia Hebat, maka jumlah kekuatan pendukung Pilkada langsung baru berjumlah 268 kursi, masih kalah dibanding dengan kekuatan Merah Putih.

Oleh karena itu, SBY masih memerlukan dukungan satu partai politik lagi agar Perppu yang diajukan dapat disetujui oleh DPR. Nah, apakah kedatangan Ketum PAN Hatta Rajasa ke Kantor Presiden tadi malam terkait penggalangan dukungan itu?
Namun Hatta yang ditanya soal kemungkinan hal itu oleh awak media tidak memberi jawaban pasti. “Nengok cucu,” kata Hatta singkat menjelaskan kedatangannya.

Hatta bahkan hanya melempar senyum saat ditanya apakah dia juga tadi bertemu SBY atau tidak di dalam Istana. Bahkan saat diminta tanggapan mengenai Perppu Pilkada, Hatta yang sudah naik mobil, sempat diam sejenak. Tapi sejurus kemudian dia menolak berbicara dan langsung masuk ke dalam mobil. “Nanti saja,” kata Hatta sambil menutup pintu.

Ketua DPR Marzuki Alie menegaskan bahwa Presiden SBY tak bisa disalahkan lantaran telah mengeluarkan Perppu. Pasalnya, hal tersebut memang menjadi hak presiden yang dijamin konstitusi.

“Perppu itu kewenangan presiden, dijamin konstitusi. Pertimbangan Perppu bahwa kondisi genting dan memaksa itu juga kewenangan presiden,” kata Marzuki di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Rabu (1/10)
Pernyataanya ini menanggapi polemik terkait rencana Presiden menerbitkan perppu untuk menghalangi berlakunya UU Pilkada. Sebagian pihak menganggap langkah ini sewenang-wenang dan inkonstitusional. Pasalnya, tidak ada keadaan genting dan memaksa yang merupakan syarat dikeluarkannya perppu.

Marzuki menganggap tudingan kesewenang-wenangan itu terlalu berlebihan. Pasalnya, masih ada mekanisme kontrol oleh DPR yang berwenang untuk membatalkan perppu.

“Semuanya kan nanti diuji DPR, termasuk tentang syarat genting dan memaksa,” ujarnya.

Staf Ahli Mendagri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antarlembaga, Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan hak subjektifitas Presiden.

Karena itu jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menerbitkan Perppu untuk membatalkan Undang-Undang Pilkada oleh DPRD, maka keberadaan Perppu sah.

Hanya saja Perppu ditolak oleh DPR, maka akan terjadi kekosongan hukum yang mengatur pelaksanaan pilkada di Indonesia. Pasalnya, di satu sisi keberadaan UU Pilkada dianulir oleh hadirnya Perppu dan Perppu sendiri ditolak oleh DPR.

“Jadi kalau Perppu ditolak oleh DPR, tidak bisa kembali ke UU Pilkada (yang disahkan dalam rapat paripurna DPR, Red). Karena sudah dicabut dengan Perppu. Nggak bisa juga kembali menggunakan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemda, karena sudah dicabut dengan UU Pilkada dan UU Pemda yang baru,” kata Zudan di Jakarta, Rabu (1/10).

Kondisi ini kata birokrat bergelar profesor itu, perlu dipikirkan bersama-sama untuk menjaga agar proses pemerintahan dapat berjalan dengan baik.

Selain kemungkinan ditolak DPR, lanjutnya, keberadaan Perppu nantinya juga dapat dibatalkan jika terdapat kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK menyetujuinya.

“Bedanya, kalau dibatalkan oleh MK, dapat saja disebutkan kembali ke undang-undang sebelumnya. Tapi kalau oleh DPR, itu hanya mengatur ditolak atau disetujui. Jadi kita harapkan yang terbaik-lah. Agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik,” katanya. (flo/jpnn/bbs/gir/val)

Hashim Djojohadikusumo
Hashim Djojohadikusumo

SUMUTPOS.CO- Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengaku tertawa pertama kali mendengar Presiden SBY akan menerbitkan untuk membatalkan UU Pilkada oleh DPR yang baru saja diketok DPR. Pasalnya, pemerintahlah yang pertama mengajukan perubahan terhadap UU Pilkada yang lama.

“KAMI ketawa dan kaget. Kan lucu. RUU ini kan beliau yang mulai. RUU ini gagasan beliau. Mendagri mewakili beliau. Masa beliau mau batalkan produk beliau sendiri,” ucap adik kandung Prabowo Subianto tersebut usai menghadiri pelantikan anggota DPR baru di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (1/10) petang.

Hashim sangat yakin, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tersebut tidak akan diterima DPR. Koalisi Merah Putih (KMP) yang digawangi Gerindra tetap ingin Pilkada oleh DPRD. “Saya kira ya (ditolak). Kalau KMP tetap utuh, saya kira akan ditolak,” tandasnya.

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tanjung juga mempertanyakan alasan Presiden SBY yang akan mengeluarkan Perppu sebagai payung hukum pelaksanaan Pilkada langsung.

Akbar berpandangan saat ini tidak ada sesuatu atau kondisi yang genting sehingga memaksa Presiden SBY untuk mengeluarkan Perppu.

“Ya memang itu agak dipertanyakan ya, kenapa mesti ada Perppu gitu lho ya? Itu kan mesti disahkan dulu (di DPR), kemudian setelah disahkan baru suatu UU itu bisa berlaku. Kecuali kalau memang ada suatu keadaan genting yang memaksa,” kata Akbar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/10).

Dia menegaskan, kalau ada keadaan genting dan memaksa, baru bisa mengeluarkan Perppu. “Saya tidak melihat apa yang dianggap atau dilihat sebagai keadaan yang memaksa, sehingga presiden harus mengeluarkan Perppu,” kata bekas Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar ini. Karenanya, Akbar mengatakan perlu ada penjelasan yang lebih rinci soal alasan rencana SBY mengeluarkan Perppu tersebut.

Menteri di era Orde Baru itu menambahkan nantinya Perppu itu juga akan dikembalikan atau harus disahkan oleh DPR.

“Apa iya, UU yang sudah disahkan, dibahas bersama antara pemerintah dan DPR, sudah disahkan lalu dikembalikan lagi dalam bentuk Perppu? Dimana logikanya. Apakah iya DPR kemudian akan mengesahkan lagi?” kata Akbar.

Terkait itu pula, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa tiba-tiba menyambangi Kantor Presiden di Jalan Veteran, Jakarta. Mantan Menko Perekonomian itu diduga baru saja menemui Presiden SBY.

Tak satupun awak media di Kantor Presiden saat itu yang mengetahui kedatangan Hatta. Namun politisi yang juga besan dari SBY ini justru terlihat keluar dari Istana sekitar pukul 22.45 WIB, Selasa (30/9). Hatta yang mengenakan batik lengan panjang warna biru malam itu tampak didampingi seorang ajudan.

Kedatangan Hatta ke Kantor Presiden malam-malam sudah pasti menimbulkan banyak pertanyaan. Apalagi saat ini Presiden SBY tengah menyiapkan Perppu untuk membatalkan UU Pilkada yang baru saja disahkan DPR pekan lalu. Mungkinkah malam itu SBY melobi Hatta Rajasa untuk membangun koalisi dukungan agar Perppu yang diajukannya ke DPR nanti bisa gol?
Seperti dikatakan SBY yang juga menjadi Ketua Umum Partai Demokrat ini usai memberi pembekalan terhadap anggota DPR Partai Demokart di Hotel Sultan, Selasa (30/9) malam, bahwa dirinya akan menandatangani UU Pilkada yang sudah disahkan DPR. Setelah itu, SBY mengeluarkan Perppu.

“Saya sudah siapkan Perppu yang intinya, Perppu ini saya ajukan ke DPR setelah, katakanlah, hari ini atau besok draf RUU hasil sidang kemarin saya terima, maka aturan main harus saya tanda tangani,” kata SBY.

Namun jika melihat peta politik saat ini, Koalisi Merah Putih yang notabene mendukung UU Pilkada masih mendominasi kekuatan di DPR. Berdasarkan peta anggota DPR terpilih, komposisi kekuatan Koalisi Merah Putih yang terdiri dari 5 partai politik berjumlah 292 kursi.

Sementara itu, Koalisi Indonesia Hebat yang digawangi PDIP, Hanura, NasDem, dan PKB hanya berjumlah 207. Jika Partai Demokrat yang memiliki 61 kursi bergabung kepada Koalisi Indonesia Hebat, maka jumlah kekuatan pendukung Pilkada langsung baru berjumlah 268 kursi, masih kalah dibanding dengan kekuatan Merah Putih.

Oleh karena itu, SBY masih memerlukan dukungan satu partai politik lagi agar Perppu yang diajukan dapat disetujui oleh DPR. Nah, apakah kedatangan Ketum PAN Hatta Rajasa ke Kantor Presiden tadi malam terkait penggalangan dukungan itu?
Namun Hatta yang ditanya soal kemungkinan hal itu oleh awak media tidak memberi jawaban pasti. “Nengok cucu,” kata Hatta singkat menjelaskan kedatangannya.

Hatta bahkan hanya melempar senyum saat ditanya apakah dia juga tadi bertemu SBY atau tidak di dalam Istana. Bahkan saat diminta tanggapan mengenai Perppu Pilkada, Hatta yang sudah naik mobil, sempat diam sejenak. Tapi sejurus kemudian dia menolak berbicara dan langsung masuk ke dalam mobil. “Nanti saja,” kata Hatta sambil menutup pintu.

Ketua DPR Marzuki Alie menegaskan bahwa Presiden SBY tak bisa disalahkan lantaran telah mengeluarkan Perppu. Pasalnya, hal tersebut memang menjadi hak presiden yang dijamin konstitusi.

“Perppu itu kewenangan presiden, dijamin konstitusi. Pertimbangan Perppu bahwa kondisi genting dan memaksa itu juga kewenangan presiden,” kata Marzuki di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Rabu (1/10)
Pernyataanya ini menanggapi polemik terkait rencana Presiden menerbitkan perppu untuk menghalangi berlakunya UU Pilkada. Sebagian pihak menganggap langkah ini sewenang-wenang dan inkonstitusional. Pasalnya, tidak ada keadaan genting dan memaksa yang merupakan syarat dikeluarkannya perppu.

Marzuki menganggap tudingan kesewenang-wenangan itu terlalu berlebihan. Pasalnya, masih ada mekanisme kontrol oleh DPR yang berwenang untuk membatalkan perppu.

“Semuanya kan nanti diuji DPR, termasuk tentang syarat genting dan memaksa,” ujarnya.

Staf Ahli Mendagri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antarlembaga, Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan hak subjektifitas Presiden.

Karena itu jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menerbitkan Perppu untuk membatalkan Undang-Undang Pilkada oleh DPRD, maka keberadaan Perppu sah.

Hanya saja Perppu ditolak oleh DPR, maka akan terjadi kekosongan hukum yang mengatur pelaksanaan pilkada di Indonesia. Pasalnya, di satu sisi keberadaan UU Pilkada dianulir oleh hadirnya Perppu dan Perppu sendiri ditolak oleh DPR.

“Jadi kalau Perppu ditolak oleh DPR, tidak bisa kembali ke UU Pilkada (yang disahkan dalam rapat paripurna DPR, Red). Karena sudah dicabut dengan Perppu. Nggak bisa juga kembali menggunakan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemda, karena sudah dicabut dengan UU Pilkada dan UU Pemda yang baru,” kata Zudan di Jakarta, Rabu (1/10).

Kondisi ini kata birokrat bergelar profesor itu, perlu dipikirkan bersama-sama untuk menjaga agar proses pemerintahan dapat berjalan dengan baik.

Selain kemungkinan ditolak DPR, lanjutnya, keberadaan Perppu nantinya juga dapat dibatalkan jika terdapat kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK menyetujuinya.

“Bedanya, kalau dibatalkan oleh MK, dapat saja disebutkan kembali ke undang-undang sebelumnya. Tapi kalau oleh DPR, itu hanya mengatur ditolak atau disetujui. Jadi kita harapkan yang terbaik-lah. Agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik,” katanya. (flo/jpnn/bbs/gir/val)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/