JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Peserta kampanye pilkada diperbolehkan mengantongi banyak ’’oleh-oleh’’ dari pasangan calon (paslon). Mulai uang transpor, uang makan, dan beragam hadiah. Semua ini dilegalkan dalam UU Pilkada produk revisi yang disahkan sidang paripurna DPR Kamis lalu (2/6).
Lahirnya pasal itu sangat disesalkan oleh komisioner KPU Hadar Nafis Gumay. Menurut dia, pemberian ongkos kepada peserta kampanye bukanlah pembelajaran yang baik bagi mental masyarakat. Terlebih, pemilu tidak hanya bertujuan untuk memilih pemimpin, tetapi sekaligus menjadi sarana pendidikan demokrasi bagi rakyat.
Sekalipun tim sukses sulit mengajak warga mengikuti kampanye, solusinya bukan mengambil jalan pintas dengan memberikan ongkos atau uang cash. ’’Semestinya kita tetap mencari jalan lain tanpa harus diongkosin. Misalnya, dengan membuat kampanye semenarik mungkin,’’ ujar Hadar di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (3/6).
Meski demikian, karena sudah disahkan, pihaknya sebagai pelaksana undang-undang tidak bisa berbuat apa-apa. Rencananya, KPU mencari formulasi agar pasal tersebut tidak menjadi pintu masuk legalisasi praktik money politics. ’’Misalnya, sewa kendaraan untuk transportasi atau (mengganti, Red) uang makan dengan penyediaan nasi kotak dan sebagainya,’’ imbuh Hadar.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menyatakan, pasal tersebut berpotensi membuat panwaslu di daerah bingung dalam mendefinisikan money politics. Sebab, selama ini dalam praktik pemilu di Indonesia, money politics diartikan sebagai pemberian uang dan barang oleh paslon kepada masyarakat dengan maksud memengaruhi pilihannya.
’’Jadi, dalam UU yang sekarang (konsep money politics itu, Red) tidak implementatif,’’ ujarnya di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat. Dia berharap KPU bisa mendefinisikan ketentuan tersebut secara jelas. Hal itu penting agar pasal tersebut tidak dimanfaatkan paslon nakal untuk menjalankan politik transaksional.
’’Misal, batas maksimal (uang transpor dan uang makan, Red) Rp 25 ribu. Di atas itu money politics,’’ usulnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan, pasal tersebut memang sengaja dibuat untuk memberikan payung hukum terhadap kondisi riil di daerah. Khususnya daerah terpencil. Banyak masyarakat kecil yang merasa berat untuk datang ke tempat atau lokasi kampanye.
’’Kalau mereka ikut kampanye kan meninggalkan pekerjaan. Agar tetap mau ikut, ya diberi uang makan, uang transpor,’’ ujarnya. Bahkan, beberapa daerah memiliki kearifan lokal tertentu yang ’’memaksa’’ perlunya uang kampanye. ’’Di Sumatera Utara kalau mengumpulkan orang-orang harus ada acara kebudayaan yang membutuhkan dana,’’ imbuhnya.
Dia yakin ketentuan itu tidak membuka pintu legalisasi praktik politik uang. Apalagi sampai memberikan pendidikan buruk kepada masyarakat. Menurut Lukman, nanti ada ketentuan lebih teknis yang dikeluarkan KPU sehingga nilai uang transpor dan makan yang disepakati tetap proporsional.