JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sempat menyatakan tidak harus dirinya maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2024 mendatang. Pernyataan ini disampaikan Prabowo usai melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Rabu (1/6).
Saat itu, Prabowo Subianto buka-bukaan perihal kriteria sosok calon presiden yang akan bertarung dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 mendatang.
Menurut Prabowo, kriteria capres versinya adalah Warga Negara Indonesia, sehat jasmani dan rohani, dan sebagainya.
“Tapi intinya saya kira, kita harus ada sosok yang sungguh-sungguh komit dan setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, seutuhnya, tidak sebagai mantra, tapi seutuhnya. Saya kira itu kriteria paling penting,” tegas Prabowo.
“Dan juga kalau bisa yang berpengalaman,” ucap Prabowo, kemudian bicara dengan jajaran elite NasDem dan Gerindra di belakangnya disambut gelak tawa.
Prabowo kemudian ditanya kembali, apakah dengan kriteria seperti yang dia ucap berarti capres tidak harus Prabowo lagi. Apa jawaban Prabowo? “Ya tidak usah. Tidak harus Prabowo, siapa saja, masa republik ini. Jadi begini ya, saya ini belajar dari sejarah, dari suatu republik yang baik adalah kewajiban setiap warga negara yang mampu fisik, intelek, jasmani, dan kondisi ekonomi dirinya dan keluarganya wajib untuk menawarkan dirinya kepada negara dan bangsa, jadi wajib,” ujar Prabowo.
Menyikapi pernyataan Prabowo ini, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menyampaikan, pernyataan Prabowo hanya basa-basi politik. Terlebih, Partai Gerindra sudah sejak awal menegaskan akan mengusung Prabowo Subianto pada Pilpres 2024. “Pernyataan Prabowo Subianto tampaknya hanya basa-basi politik,” kata Jamiluddin saat dikonfirmasi, Jumat (3/6).
Jamiluddin mengungkapkan, terdapat tiga faktor yang bisa dijadikan dasar bahwa pernyataan itu hanya basa-basi. Pertama, Partai Gerindra sudah sejak awal menyatakan capres dari partainya hanya Prabowo. “Karena itu, bagi Gerindra, Prabowo sebagai capres sudah harga mati, tidak ada tawar menawar terkait hal itu. Sikap tegas itu juga terungkap saat kadernya Sandiaga Uno marak diberitakan layak menjadi Capres. Petinggi Gerindra langsung menegaskan tidak ada capres selain Prabowo yang akan diusung partainya,” papar Jamiluddin.
“Sikap tegas petinggi Gerindra itu tidak pernah dianulir oleh Prabowo. Hal ini menjadi indikasi kuat kalau Prabowo memang tetap ingin maju kembali pada pilpres 2024 sebagai capres,” sambungnya.
Kedua, kata Jamiluddin, elektabilitas yang tinggi membuat Prabowo semakin percaya diri untuk maju kembali menjadi Capres. Karena itu, tingginya elektabilitas Prabowo pada setiap hasil survei membuat dirinya dan Partai Gerindra yakin memenangkan kontestasi Pilpres 2024.
Ketiga, Partai Gerindra yang memiliki perolehan kursi tiga besar di DPR RI tidak mungkin tidak menginginkan ketua umumnya tidak mencalonkan diri sebagai Capres. Perolehan kursi DPR RI yang tinggi membuat Gerindra merasa sangat layak mengusung kadernya menjadi capres.
Hal ini juga diperkuat dengan tingginyanya elektabilitas Prabowo. “Jadi, logika politik partai Gerindra sangat logis mencalonkan Prabowo menjadi capres. Logika politik itu juga tentunya ada di benak Prabowo,” beber Jamiluddin.
Oleh karena itu, Jamiluddin menilai sangat kontralogika jika Prabowo akan merelakan Capres kepada orang lain. Karena, Pilpres 2024 merupakan momentum Prabowo dan Partai Gerindra. “Justru Pilpres 2024 menjadi momentum Prabowo dan partainya,” pungkasnya.
Membuka Pintu Koalisi
Diketahui, Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, belakangan gencar mengunjungi sejumlah politisi dan tokoh-tokoh penting. Langkah Prabowo itu dinilai sarat akan muatan politis, mencari peluang terbaik menuju jalan panjang 2024. Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama Ari Junaedi menilai, Prabowo tengah berupaya membuka “pintu-pintu” koalisi untuk Pemilu 2024.
Ari berpendapat, kunjungan Prabowo ke sejumlah tokoh mulai dari Megawati, tokoh-tokoh pesantren, termasuk Surya Paloh, sarat akan muatan politis. “Safari politik Menteri Pertahanan di Kabinet Kerja Jokowi-Amin ini juga mendatangi tokoh-tokoh di kalangan pondok pesantren dan elite-elite politik lain. Bisa dimaknai ini adalah cara Prabowo yang ingin membuka ‘pintu-pintu’ koalisi,” kata Ari seperti dikutip dari Kompas.com, kemarin.
Menurut Ari, Prabowo tengah berusaha menjadi ice breaker atau mencairkan suasana politik usai tiga partai yakni Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendeklarasikan poros baru bernama Koalisi Indonesia Bersatu. Selain itu, dalam waktu dekat Nasdem bersiap menggelar rapat kerja nasional (Rakernas) sekaligus deklarasi nominasi Capres.
Prabowo, kata Ari, merasa belum aman lantaran PDI-P tak kunjung memberikan kejelasan soal kemungkinan koalisi di 2024. “Gerindra dan Prabowo merasa belum aman mengingat sinyal koalisi dari PDI-P belum juga nampak,” ucap Ari.
Pertemuan Prabowo-Paloh yang berdurasi 4,5 jam, lanjut Ari, menjadi sinyal betapa alotnya pilihan-pilihan alternatif untuk membangun koalisi baru. Dia memprediksi, kedua ketua umum partai saling menawarakan pola pandang sekaligus menyelaraskan keinginan masing-masing pihak dalam pertemuan tersebut. “Mengingat Nasdem sudah akan mengumumkan capres, bisa jadi Prabowo menawarkan calon sekondan dari Nasdem menjadi cawapres, sementara capres tetap dari Gerindra” tutur Ari.
Lebih lanjut, Ari menilai, kecil kemungkinan Partai Gerindra akan berkoalisi dengan Partai Demokrat di Pemilu 2024. Sebab, Demokrat sejauh ini menjagokan ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di bursa pemilu presiden. Sementara, Prabowo tegas mengatakan, calon presiden harus sosok yang berpengalaman. “Pernyataan Prabowo yang menyebut capres mendatang harus berpengalaman dan tidak harus dirinya sebetulnya bisa dimaknai Prabowo dan Gerindra tidak akan berkoalisi dengan Demokrat mengingat AHY adalah capres yang digadang-gadang Demokrat memang belum berkecimpung di birokrasi,” kata dia.
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menilai, meski Prabowo dan Paloh memiliki kedekatan tersendiri, kecil kemungkinan kedua partai berkoalisi. Sebab, Prabowo dan Paloh memiliki cara pandang dan model pendekatan politik yang jauh berbeda.
Di Pilpres 2019, Paloh menjadi salah satu tokoh selain Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terus mengingatkan bahaya eksploitasi politik identitas. Tak hanya itu, ketika Prabowo mengajukan proposal untuk masuk di pemerintahan Jokowi jilid 2 pun, salah satu yang merasa keberatan adalah Paloh. “Jadi, cairnya suasana silaturahmi Paloh-Prabowo hari ini sejatinya diletakkan di atas visi politik kebangsaan yang berbeda secara fundamental. Namun, dalam politik, selalu ada kemungkinan,” kata Umam.
Selain itu, lanjut Umam, Paloh merupakan salah satu ketua umum partai politik yang sejak awal ingin menjadi “king maker”. Oleh karenanya, Paloh tak mau langkahnya dikunci oleh pihak-pihak yang ingin mencapreskan diri mereka masing-masing. “Dalam konteks pertemuan Paloh-Prabowo, saya juga berkeyakinan Paloh menolak dikunci langkahnya demi pencapresan Prabowo,” kata Umam. Lepas dari itu, lanjut Umam, pertemuan keduanya tetap baik dalam politik. Pertemuan Prabowo dan Paloh dinilai dapat meminimalkan potensi gesekan di akar rumput saat kedua partai berbeda koalisi dalam Pilpres 2024 nanti. (jpc/kps)