SUMUTPOS.CO – Terhitung sejak 1 Juli 2022, BPJS Kesehatan melakukan uji coba penghapusan kelas di 5 rumah sakit milik pemerintah. Kelas-kelas tersebut akan digantikan ke Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Dengan penerapan KRIS ini, tidak akan mengubah besaran iuran BPJS Kesehatan.
PEJABAT pengganti sementara (Pps) Kepala Humas BPJS Kesehatan Arif Budiman mengatakan, saat ini uji coba KRIS baru dilakukan di 5 rumah sakit milik pemerintahan. Jadi, mulai Juli ini di 5 RS tersebut tidak ada lagi kelas iuran BPJS 1, 2 dan 3.
“Berdasarkan koordinasi dengan DJSN dan Kemenkes, Juli adalah uji coba penerapan KRIS di 5 rumah sakit pemerintah saja,” ujar Arif, Minggu (3/7).
Arif memaparkan, terdapat sekitar 2.800 rumah sakit di seluruh Indonesia melayani peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Secara umum pelayanan untuk peserta JKN di rumah sakit masih berlangsung seperti sedia kala. Skema dan besaran iuran BPJS Kesehatan masih sama dengan ketentuan BPJS sebelumnya.
Mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, besaran iuran ditentukan berdasarkan jenis kepesertaan setiap peserta dalam program JKN.
Ada beberapa catatan terkait biaya iuran BPJS. Arif mengatakan, bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) atau pekerja formal baik penyelenggara negara seperti ASN, TNI, dan Polri maupun pekerja swasta, besaran iuran ditetapkan sebesar 5 persen dari upah. Perinciannya adalah 4 persen dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1 persen oleh pekerja.
Selain itu, ada juga batas atas dan batas bawah untuk dasar perhitungan iuran BPJS. “Untuk perhitungan iuran ini berlaku pula batas bawah, yaitu upah minimum kabupaten/kota, dan batas atas sebesar Rp12.000.000,” tutur dia.
“Perhitungan iuran dari penghasilan seseorang hanya berlaku pada jenis kepesertaan PPU, pekerja formal yang mendapat upah secara rutin dari pemberi kerjanya,” imbuhnya.
Acuan perhitungan iuran BPJS tetap pada batas atas Rp12 juta. Bila seorang pekerja memiliki gaji di atas Rp12 juta, Rp13 juta misalnya, maka iuran yang dibayarkan tetap 5 persen dari Rp12 juta.
Sementara untuk kelompok peserta sektor informal yang tidak memiliki penghasilan tetap, dikelompokkan sebagai peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Untuk jenis kepesertaan ini, peserta dapat memilih besaran iuran BPJS sesuai yang dikehendaki.
Kelas 1 sebesar Rp150.000 per orang per bulan, kelas 2 sebesar Rp100.000 per orang per bulan, dan kelas 3 sebesar Rp35.000 per orang per bulan. Untuk iuran BPJS Kesehatan kelas 3 sebenarnya sebesar Rp42.000 per bulan, namun pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp7.000 per bulan.
Jadi, bagi seseorang yang belum memiliki penghasilan atau sudah tidak berpenghasilan dapat memilih menjadi peserta PBPU dengan pilihan kelas 1, 2 atau 3. Atau jika masuk dalam kategori masyarakat miskin dan tidak mampu, yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dapat masuk menjadi kelompok peserta PBI yang iurannya dibayar pemerintah.
Bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdaftar sebagai peserta PBI, iurannya sebesar Rp42.000 dibayarkan oleh Pemerintah Pusat dengan kontribusi Pemerintah Daerah sesuai kekuatan fiskal tiap daerah.
Anggota DJSN Muttaqien membenarkan, pihaknya bersama Kementerian Kesehatan melakukan uji coba kelas rawat inap standar di RS vertikal milik pemerintah. “Uji coba dimaksudkan untuk melihat dampak terkait perbaikan mutu pelayanan kesehatan kepada peserta, kesiapan RS terkait 12 kriteria KRIS JK,” terangnya.
“Termasuk dampak KRIS JKN terhadap keberlangsungan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan,” imbuhnya.
Rencananya, uji coba kelas rawat inap standar ini akan dilakukan di 5 RS vertikal yang ada di bawah Kemenkes. Kendati demikian, pihaknya belum bisa memastikan waktu pelaksanaan uji coba kelas rawat inap standar yang dikabarkan berlangsung pada Juli 2022 itu. “Nanti jika sudah final dan mulai dilakukan uji coba akan disampaikan,” imbuhnya. (dtc)