25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Kekerasan Seksual Anak Tertinggi Kedua di Sumut

Foto: Teguh Prihatna/Riau Pos/JPNN Enam anak bersama orang tuanya melaporkan tindak pencabulan yang dilakukan empat orang pemuda di rumah kontrakan petak duabelas di Jalan Sukakarya Kualu, Riau, ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Foto: Teguh Prihatna/Riau Pos/JPNN
Enam anak bersama orang tuanya melaporkan tindak pencabulan yang dilakukan empat orang pemuda di rumah kontrakan petak duabelas di Jalan Sukakarya Kualu, Riau, ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

 

SUMUTPOS.CO – Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara (Sumut) mencatat kasus pelecehan seksual menjadi kasus tertinggi kedua yang ditangani oleh lembaga tersebut.

Ketua KPAID Sumut, M Zahrin Piliang kepada wartawan mengatakan jenis kasus anak yang diadukan ke KPAID sepanjang tahun 2012 meliputi Hak Kuasa Asuh (55 kasus), kekerasan seksual (52 kasus) , Anak Berhadapan dengan Hukum (24 kasus), serta Penelantaran (22 kasus).

“Sedangkan sepanjang 2013 Hak Kuasa Asuh ada 62 kasus, Kekerasan Seksual 54 kasus, Anak Berhadapan dengan Hukum ada 25 kasus, dan Pelantaran ada 18 kasus. Tapi, untuk Januari-April 2014 terbanyak Hak Kuasa Asuh sebanyak 29 kasus, Kekerasan Seksual ada 16 kasus, Pelelantaran Anak 12 kasus, dan masalah Anak Berhadapan dengan Hukum mencapai 10 kasus,” ucapnya.

Menurut Zahrin, masih tingginya kasus kekerasan seksual kepada anak, disebabkan beberapa faktor antara lain kemiskinan, tingkat pendidikan, dan masih bebasnya film porno.

“Tingkat pendidikan keluarga ini sangat berpengaruh pola asuh anak. Ini berklaborasi dengan kemiskinan misalnya, orang tua yang bekerja sektor formal atau buruh maka anak biasa kurang dapat perhatian dan mereka sering diincar menjadi korban kekerasan seksual,” terangnya.

Dalam kekerasan seksual, lanjutnya pelaku biasa orang sudah dikenal oleh korban dan pihak keluarga karena pelaku kekerasan biasa satu lingkungan dengan korban.

“Lingkungan juga sangat mempengaruhi tindakan kekerasan seksual kepada anak. Pelaku biasa satu lingkungan dengan korbannya. Walaupun tidak satu lingkungan biasa saling kenal,” ujarnya.

Saat ditanya tindakan yang dilakukan KPAID Sumut atas laporan kekerasan seksual terhadap anak, Zahrin mengatakan pihaknya akan mendampingi korban untuk diproses hukum apabila pelaku kekerasan seksual sudah di atas 12 tahun. Namun, apabila pelaku di bawah 12 tahun maka proses penyelesiannya diusahakan tidak sampai ke proses hukum, melainkan rehabilitasi kepada anak-anak tersebut.

Disebutkannya, data pengaduan yang masuk ke KPAID Sumut didominasi kasus-kasus dari Medan dan sekitanya. “Ia (kebanyakan dari Medan). Di Medan pun kebanyakan dari pinggiran seperti Belawan dan Percut Sei Tuan,” tambahnya dan berkata saat ini, KPAID Sumut sendiri sudah melakukan sosialisasi kepada ibu-ibu pengajian dan ibu-ibu gereja sesuai dengan pokok kerja dari KPID sendiri.

Melihat data tersebut, Direktur Psikolog Pesona, Irna Minauli menganalisis pemicu utama dari beberapa perlakuan kekerasan seksual terhadap anak umumnya disebabkan pengguna narkoba.

Selain dari narkoba, Ia menuturkan minum-minuman keras, paparan ekspose pornografi dari internet juga menghasrat seksual pelaku.

“Jadi yang mudah untuk dilampiaskan itu adalah anak-anak. Katakanlah salah satunya narkoba karena di Sumut untuk pengguna narkoba cukup tinggi sehingga bisa memicu kekerasan seksual tadi,” katanya kepada Sumut Pos, Senin (5/5).

Selain itu, lanjut dia, pemicu lainnya yakni hasrat seksual yang tidak disalurkan dengan baik, seperti belum ada persiapan perkawinan dan ditinggal oleh pasangannya. Sedangkan kasus pada mereka yang memiliki pedofilia adalah orang yang terangsang pada anak-anak di bawah usia 12 tahun.

“Atau mereka yang tidak punya pasangan. Selain itu, pelaku juga pernah mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anaknya. Karena 70 persen anak-anak korban kekerasan seksual maka ketika dewasa cenderung menjadi pelaku,” ungkapnya.

Untuk itu, dia mengimbau orangtua, agar anak-anaknya diajarkan untuk mengenal tubuhnya sendiri. Dalam arti memproteksi dirinya dari orang-orang terdekat. Dengan cara melindungi tubuhnya yakni bagian tubuh mana yang bisa dipegang dan dan dilihat orang lain.

“Itu sudah diajarkan oleh orangtua mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dipegang dan dilihat orang lain. Perlu juga diingatkan kepada anak agar jangan mudah menerima iming-iming hadiah dari orang yang dikenal dan tak dikenal. Kalau ia butuh sesuatu ya, bilang kepada anak agar meminta kepada orangtuanya,” terang Irna. (nit)

Foto: Teguh Prihatna/Riau Pos/JPNN Enam anak bersama orang tuanya melaporkan tindak pencabulan yang dilakukan empat orang pemuda di rumah kontrakan petak duabelas di Jalan Sukakarya Kualu, Riau, ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Foto: Teguh Prihatna/Riau Pos/JPNN
Enam anak bersama orang tuanya melaporkan tindak pencabulan yang dilakukan empat orang pemuda di rumah kontrakan petak duabelas di Jalan Sukakarya Kualu, Riau, ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

 

SUMUTPOS.CO – Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara (Sumut) mencatat kasus pelecehan seksual menjadi kasus tertinggi kedua yang ditangani oleh lembaga tersebut.

Ketua KPAID Sumut, M Zahrin Piliang kepada wartawan mengatakan jenis kasus anak yang diadukan ke KPAID sepanjang tahun 2012 meliputi Hak Kuasa Asuh (55 kasus), kekerasan seksual (52 kasus) , Anak Berhadapan dengan Hukum (24 kasus), serta Penelantaran (22 kasus).

“Sedangkan sepanjang 2013 Hak Kuasa Asuh ada 62 kasus, Kekerasan Seksual 54 kasus, Anak Berhadapan dengan Hukum ada 25 kasus, dan Pelantaran ada 18 kasus. Tapi, untuk Januari-April 2014 terbanyak Hak Kuasa Asuh sebanyak 29 kasus, Kekerasan Seksual ada 16 kasus, Pelelantaran Anak 12 kasus, dan masalah Anak Berhadapan dengan Hukum mencapai 10 kasus,” ucapnya.

Menurut Zahrin, masih tingginya kasus kekerasan seksual kepada anak, disebabkan beberapa faktor antara lain kemiskinan, tingkat pendidikan, dan masih bebasnya film porno.

“Tingkat pendidikan keluarga ini sangat berpengaruh pola asuh anak. Ini berklaborasi dengan kemiskinan misalnya, orang tua yang bekerja sektor formal atau buruh maka anak biasa kurang dapat perhatian dan mereka sering diincar menjadi korban kekerasan seksual,” terangnya.

Dalam kekerasan seksual, lanjutnya pelaku biasa orang sudah dikenal oleh korban dan pihak keluarga karena pelaku kekerasan biasa satu lingkungan dengan korban.

“Lingkungan juga sangat mempengaruhi tindakan kekerasan seksual kepada anak. Pelaku biasa satu lingkungan dengan korbannya. Walaupun tidak satu lingkungan biasa saling kenal,” ujarnya.

Saat ditanya tindakan yang dilakukan KPAID Sumut atas laporan kekerasan seksual terhadap anak, Zahrin mengatakan pihaknya akan mendampingi korban untuk diproses hukum apabila pelaku kekerasan seksual sudah di atas 12 tahun. Namun, apabila pelaku di bawah 12 tahun maka proses penyelesiannya diusahakan tidak sampai ke proses hukum, melainkan rehabilitasi kepada anak-anak tersebut.

Disebutkannya, data pengaduan yang masuk ke KPAID Sumut didominasi kasus-kasus dari Medan dan sekitanya. “Ia (kebanyakan dari Medan). Di Medan pun kebanyakan dari pinggiran seperti Belawan dan Percut Sei Tuan,” tambahnya dan berkata saat ini, KPAID Sumut sendiri sudah melakukan sosialisasi kepada ibu-ibu pengajian dan ibu-ibu gereja sesuai dengan pokok kerja dari KPID sendiri.

Melihat data tersebut, Direktur Psikolog Pesona, Irna Minauli menganalisis pemicu utama dari beberapa perlakuan kekerasan seksual terhadap anak umumnya disebabkan pengguna narkoba.

Selain dari narkoba, Ia menuturkan minum-minuman keras, paparan ekspose pornografi dari internet juga menghasrat seksual pelaku.

“Jadi yang mudah untuk dilampiaskan itu adalah anak-anak. Katakanlah salah satunya narkoba karena di Sumut untuk pengguna narkoba cukup tinggi sehingga bisa memicu kekerasan seksual tadi,” katanya kepada Sumut Pos, Senin (5/5).

Selain itu, lanjut dia, pemicu lainnya yakni hasrat seksual yang tidak disalurkan dengan baik, seperti belum ada persiapan perkawinan dan ditinggal oleh pasangannya. Sedangkan kasus pada mereka yang memiliki pedofilia adalah orang yang terangsang pada anak-anak di bawah usia 12 tahun.

“Atau mereka yang tidak punya pasangan. Selain itu, pelaku juga pernah mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anaknya. Karena 70 persen anak-anak korban kekerasan seksual maka ketika dewasa cenderung menjadi pelaku,” ungkapnya.

Untuk itu, dia mengimbau orangtua, agar anak-anaknya diajarkan untuk mengenal tubuhnya sendiri. Dalam arti memproteksi dirinya dari orang-orang terdekat. Dengan cara melindungi tubuhnya yakni bagian tubuh mana yang bisa dipegang dan dan dilihat orang lain.

“Itu sudah diajarkan oleh orangtua mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dipegang dan dilihat orang lain. Perlu juga diingatkan kepada anak agar jangan mudah menerima iming-iming hadiah dari orang yang dikenal dan tak dikenal. Kalau ia butuh sesuatu ya, bilang kepada anak agar meminta kepada orangtuanya,” terang Irna. (nit)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/