SUMUTPOS.CO – Calon wakil presiden (Cawapres) nomor urut 3 Mahfud MD mengungkap muncul berbagai operasi mendekati rektor sejumlah perguruan tinggi agar menyuarakan narasi positif ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Mahfud, operasi intervensi ini untuk menekan para rektor perguruan tinggi yang belum menyatakan sikap kritis terhadap pemerintahan Jokowi.
MENURUT Mahfud, dugaan intimidasi tidak boleh didiamkan. Apalagi dia mendapat informasi dari beberapa rektor di perguruan tinggi terkait dengan upaya mobilisasi aksi tandingan atas kritik yang sudah disampaikan. “Menurut saya itu kurang sehat. Membuat tandingan-tandingann
itu memecah belah masyarakat, memecah belah kampus juga,” ungkap dia.
Menurut Mahfud, kebebasan mimbar akademik harus dihormati. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) itupun menyinggung soal kebebasan mimbar akademik di zaman kepemimpinan Presiden Soeharto. “Seotoriternya zaman Soeharto pun kebebasan mimbar akademik itu masih relatif cukup didengarkan dan masih berwibawa,” ucap Mahfud. Karena itu, dia menilai bahwa pemerintah harus mengambil langkah untuk memastikan tidak ada intimidasi atas kritik yang disampaikan.
Sementara itu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran Habiburokhman mengatakan, pernyataan Mahfud soal adanya intimidasi ke kampus itu haknya. “Kalau yang saya dengar beda,” ujarnya di Media Center TKN, kemarin.
Sebaliknya, TKN justru mendengar adanya upaya untuk menggerakkan dosen partisan menyamar mengatasnamakan akademika. Salah satu narasinya adalah mendowngrade kepemimpinan Jokowi sekaligus paslon Prabowo – Gibran. “Jadi kalau hanya berbasis pendengaran kan bisa berbeda yang didengar Pak Mahfud, apa yang dengar Habiburokhman,” imbuhnya.
Oleh karenanya, jika yang disampaikan Mahfud hanya sebatas perkataan, dia tidak mempercayainya. “Kalau Pak Mahfud tidak menyampaikan bukti hanya omon-omon ya menurut saya itu pernyataan yang tidak berkualitas,” kata politisi Gerindra itu.
Capres nomor urut 1 Anies Baswedan dan Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo juga merespons dugaan tekanan atau intimidasi kepada rektor setelah ramai-ramai sivitas akademika se-Indonesia mengeluarkan maklumat atau seruan mengkritisi perkembangan demokrasi Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi. Anies di sela agenda kampanyenya di Sulawesi Selatan mengatakan, saat ini sudah bukannya lagi masa operasi-operasi bersifat kosmestik, karena hal buruk pasti terbongkar. “Ya begini, sekarang ini era untuk mengungkapkan pandangan secara autentik. Sudah lewat masanya untuk melakukan operasi-operasi yang sifatnya kosmetik. Enggak akan bisa berhasil. Semuanya akan terungkap. Jadi kemarin saya sampaikan ‘becik ketitik olo ketoro’,” kata Anies di Parepare, Sulsel, Selasa (6/2).
Menurut Anies, kampus-kampus yang mulai bersuara setelah melihat kondisi demokrasi yang mendekati hari pencoblosan dilakukan secara alami. “Jadi kita natural saja, dan menyaksikan bahwa kampus-kampus ini memang mengungkapkan pandangan yang senyatanya dari masyarakat. Kita hormati dan kalau memang ada yang harus dikoreksi, ya kita koreksi. Sesederhana itu,” ujar pria yang pernah menjadi rektor dan Mendikbud tersebut.
Menurutnya, sejumlah sivitas akademika kampus belakangan ini mulai bersuara mengenai penyimpangan sistem, sehingga diduga terjadi Intimidasi kepada pihak kampus. Anies mengingatkan agar aparat kembali menjalankan tugas pokoknya. “Aparat keamanan saya rasa kembali ke tugas utamanya,” kata eks Gubernur DKI Jakarta itu.
Menurut Anies, negara tidak boleh melarang orang untuk menyampaikan pandangan dan kritikan atas kondisi demokrasi bangsa saat ini. “Ya kita lihat saja. Kan kita juga tidak boleh melarang orang mendukung, tidak boleh juga melarang orang mengkritik. Itu adalah kebebasan berekspresi. Negara tidak bisa mengatur pikiran, negara bisa mengatur perbuatan. Selama perbuatannya tidak melanggar hukum itu boleh, tapi tidak boleh diatur pikirannya, karena pikiran tidak bisa diatur oleh negara,” kata dia.
Di tempat terpisah, calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo menyebut pemerintah tidak perlu takut dengan gelombang kritik yang bermunculan dari civitas academica berbagai perguruan tinggi belakangan ini. “Saya kira pemerintah tidak perlu ketakutan, aparat penegak hukum tidak perlu melakukan tekanan,” kata Ganjar kata Ganjar ditemui di Embung Embung Kaliaji, Wonokerto, Turi, Sleman, Selasa (6/2).
Ganjar mengatakan itu meneruskan pernyataan cawapres nomor urut 3 Mahfud MD yang sebelumnya mengungkap menerima laporan akan adanya operasi untuk menekan para rektor sehingga mau menyuarakan narasi positif terkait pemerintahan Presiden Jokowi.
Bagi Ganjar, intervensi macam itu hanya akan memupus simpati masyarakat sementara perguruan tinggi juga dia yakini tak akan pernah gentar menghadapi tekanan seperti ini. Ganjar melihat ini adalah peran akademisi yang mendayagunakan pemikiran-pemikirannya dalam menjaga bangsa Indonesia. “Kampus itu institusi yang tidak pernah takut, mereka membawa pikiran-pikiran ilmiah, mereka membawa nilai-nilai kebaikan dan itulah yang terjadi,” kata Ganjar.
“Mereka membawa nilai-nilai kebaikan dan itulah yang terjadi. Nah kalau udah puluhan begini (perguruan tinggi menyatakan sikap) di Indonesia masih melakukan tekanan ya kita enggak punya perasaan. Enggak usah khawatir itu akan menggelinding lebih besar lagi,” kata eks Gubernur Jawa Tengah itu.
Sementara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui siaran persnya menyebutkan, beberapa intimidasi terjadi dengan intensitas yang semakin meningkat jelang Pemilu. Hal itu juga seiringan dengan gencarnya kampus-kampus di Indonesia yang mengkritisi demokrasi di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Menurut YLBHI, bentuk intimidasi itu di antaranya, adanya dugaan mobilisasi aparat kepolisian untuk mendatangi para dosen dan rektor kampus dengan modus mewawancarai mereka untuk mendapatkan tanggapan positif terkait rekam jejak Jokowi selama berkuasa.
YLBHI itu juga menerima informasi adanya pesan intimidasi yang diterima Guru Besar Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo lewat pesan WhatsApp dari seseorang berseragam yang mengaku alumni UI. “Kami juga mendapatkan informasi adanya serangan dan intimidasi terhadap konsolidasi dan diskusi organisasi mahasiswa yang menggelar rapat konsolidasi bertajuk ‘Pemilu Curang dan Pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi)’ di Universitas Trilogi, Kalibata, Jakarta Selatan,” ujar siaran pers itu, Selasa (6/2).
“Praktek intimidasi-intimidasi tersebut diduga dilakukan oleh aparat kepolisian maupun orang tidak dikenal yang ditengarai adalah preman,” sambungnya.
Dalam hal ini, YLBHI melihat bahwa upaya intimidasi tersebut adalah bagian dari pembungkaman terhadap hak warga negara untuk melakukan pengawasan dan koreksi terhadap praktek kecurangan pemilu serta tidak lepas dari kritik keras publik terhadap keberpihakan dan penyalahgunaan kewenangan oleh Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2024.
Menyikapi hal tersebut, YLBHI menyerukan dukungan dan solidaritas penuh kepada Sivitas Akademika dan masyarakat yang berani dan tidak berhenti menyuarakan sikap kritis terhadap praktik penyalahgunaan wewenang dan kecurangan Pemilu oleh Pejabat Publik maupun Aparat Negara. YLBHI juga menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk tidak takut bersuara melawan praktik kecurangan pemilu yang diduga dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia.
YLBHI juga mengecam keras praktik intimidasi terhadap Sivitas Akademika dan masyarakat sipil paska munculnya gerakan serentak mengkritisi sikap Presiden Jokowi yang berpihak dan berkampanye dalam Pemilu. Untuk itu, YLBHI mendesak Presiden dan Kapolri untuk menghentikan praktik intimidasi yang terkait dengan ketidaknetralan aparat kepolisian dan bagian dari praktik kecurangan pemilu.
YLBHI juga mendesak Presiden Jokowi untuk menghentikan praktik kecurangan pemilu, penyalahgunaan kewenangan maupun fasilitas negara untuk kepentingan pemenangan calon tertentu atau jika tidak mampu Presiden Jokowi segera mengundurkan diri dari jabatannya. Mendesak DPR dan Bawaslu RI untuk menghentikan dugaan praktik kecurangan Presiden Jokowi serta menuntut DPR RI untuk menggunakan kewenangannya untuk melakukan pengawasan baik itu melalui hak angket, hak interpelasi maupun menyatakan pendapat termasuk menindaklanjuti laporan publik terkait desakan pemakzulan presiden.
YLBHI juga mendesak KPU dan Bawaslu sebagai Penyelenggara Pemilu untuk sungguh-sungguh dalam melaksanakan mandat rakyat untuk mengawal dan memastikan proses pemilu agar berjalan secara langsung, umum, jujur dan adil.
Ada yang Memobilisasi
Sementara itu founder Haidar Alwi Institute (HAI) R Haidar Alwi menyampaikan pendapat berbeda soal munculnya aspirasi dari civitas kampus itu. Dia menduga ada pihak yang memanfaatkan momentum, sekaligus memobilisasi suara para akademisi itu. “Karena bisa serentak muncul di dua pekan menjelang pemilu ini,” katanya.
Dia khawatir ada motif menggoyang posisi Presiden Joko Widodo dengan isu-isu demokrasi, dinasti, dan netralitas. “Gerakan tersebut sengaja memanfaatkan tensi politik jelang pemilu yang memang sudah tinggi. Sehingga dapat memicu chaos yang lebih besar,” kata Haidar pada Selasa (6/2).
Haidar mengatakan situasi saat ini sangat mengherankan dan patut dipertanyakan. Karena dalam waktu dua minggu sebelum pemilu, puluhan kampus kompak menyuarakan aspirasinya. Menurutnya, jika tidak ada aktor yang memobilisasi, rasanya sulit menggerakkan akademisi dari banyak kampus seperti itu. “Kecuali hanya untuk ikut-ikutan,” katanya. Haidar mengatakan kalau memang kritik murni, kenapa baru disampaikan sekarang. (far/lum/ jpg/bbs/adz)