JAKARTA-Kebijakan pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi diprediksi bakal memberikan peluang bagi para mafia BBM untuk mengeruk keuntungan. Di sisi lain, para pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) bakal semakin pening.
Anggota Komisi VII DPR Dewi Aryani Hilman menyatakan, selama ini saja pemerintah tidak mampu mengatasi para mafia BBM. “Pengusaha (SPBU) yang mendapatkan margin dari BBM bersubsidi pas-pasan akan makin mengalami kemunduran. Akibatnya pelayanan kepada rakyat tentunya akan terabaikan. Belum lagi mengatasi para mafia BBM yang hingga kini tidak ditangani dengan serius. Masih saja dimana-mana terjadi kebocoran,” terang Dewi Aryani kepada koran ini di Jakarta, kemarin (8/1).
Seperti diberitakan, pemerintah berencana menghapus penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi. Konsekuensinya, pengusaha SPBU harus membangun tangki dan fasilitas khusus BBM nonsubsidi.Penasehat Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Sumut, Datmen Ginting, menyebutkan, minimal butuh Rp600 juta untuk membangun tangki khusus ini.
Menurut Ginting, bila kebijakan ini diberlakukan justru berpotensi menimbulkan masalah baru. Selain karena harga BBM nonsubsidi yang mahal dan stok yang tidak tersedia di semua SPBU, BBM bersubsidi masih tetap beredar di masyarakat. BBM bersubsidi yang khusus diperuntukkan bagi angkutan dan jasa, sangat mungkin diselewengkan oknum tertentu dan dijual ke pemilik mobil pribadi dengan harga yang sedikit lebih mahal.
Dewi menyebut, penyelewengan dalam skala besar bakal dilakukan mafia BBM. Kekhawatiran ini, menurut politisi dari PDI Perjuangan itu, didasarkan pada kinerja Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang masih buruk.
“Peran BPH Migas yang seharusnya menjalankan fungsi distribusi dan pengawasan saya lihat belum maksimal. Komite BPH Migas yang baru belum mulai bekerja sementara BPH yang lama meninggalkan banyak masalah yang tidak teratasi,” ujar kandidat Doktor Administrasi Kebijakan Publik dan Bisnis, Universitas Indonesia (UI) itu.
Menurut Dewi, pemerintah tidak menghitung secara cermat risiko-risiko yang akan muncul dari kebijakan ini. Padahal, ujung-ujungnya rakyat yang akan menjadi korban kebijakan serampangan.
“Kearifan pemerintah saat ini ibarat barang langka, makin dibutuhkan makin nggak bisa didapat. Lagi-lagi rakyat sebagai korban, yang seharusnya rakyatlah yang harusnya diprioritaskan mendapatkan pelayanan. Birokrasi yang melayani belum terwujud di negeri tercinta ini,” ujar perempuan yang juga Duta Gerakan Birokrasi Bersih itu.
Hal senada juga disampaikan pengamat ekonomi di Medan, Parulian Simanjuntak. “Jika kebijakan ini diterapkan, praktik kecurangan bisa merajalela bila tidak adanya pengawasan ketat. Contoh kecilnya, warga yang memiliki dua unit mobil pribadi satu diantaranya tahun pembuatan 2005 ke bawah bisa mengisi penuh tangkinya, kemudian diambil untuk mengisi tangki mobil tahun pembuatan 2005 ke atas. Segala modus terkecil harus diantisipasi,” sebutnya.
Untuk memudahkan pengawasan, kata Parulian, pemerintah dalam hal ini Pertamina harus memiliki data kendaraan roda empat sebelum kebijakan itu berjalan. “Masalahnya bisa tidak Pertamina melakukan hal itu sebelum kebijakan ini dijalankan,” ungkapnya.
Sementara, soal pembatasan BBM bersubsidi langsung mendapat kecaman dari anggota DPRD Sumut Fraksi Golkar Richard Eddy M Lingga. “Peraturannya membingungkan karena tidak disertai klasifikasi yang jelas. Paradigma di masyarakat, yang memiliki mobil adalah orang kaya. Nah, batasan orang kaya di sini tidak jelas,” katanya.
DPRD Sumut lainnya, Arifin Nainggolan, malah menganggap pemilik mobil diwajibkan menggunakan pertamax daripada bensin adalah hal yang baik dan semestinya sudah diberlakukan dari waktu-waktu lalu. Bahkan, menurutnya, semua mobil dinas pemerintahan sebaiknya menggunakan pertamax. Bagaimana dengan para anggota dewan? Saat ditanya itu, dengan tertawa terbahak-bahak, Arifin Nainggolan juga menegaskan, para anggota dewan dari semua hirarki yang ada baik DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Tingkat I dan DPR RI harus pakai pertamax. (sam/uma)