30.6 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Keluarga Incumbent Boleh Ikut Pilkada

Parlemen Sambut Positif Putusan MK

Pilkada-Ilustrasi
Pilkada-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Keluarga petahana atau incumbent kini tidak perlu ragu untuk ikut serta bertarung menjadi calon kepala daerah (pilkada) serentak akhir Desember nanti.

Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan uji materi pasal 7 huruf r UU Pilkada yang diajukan oleh seorang Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan.

“MK pun mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, kemarin (8/7).

Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik. Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.

Hakim menilai, Pasal 7 huruf r UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang, di mana pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana.

“Dengan demikian, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 j ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Tampak nyata pembedaan dengan maksud untuk mencegah kelompok atau orang tertentu untuk menggunakan hak konstitusi, hak untuk dipilih,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.

Adapun Pasal 7 huruf r berbunyi: “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”.

Pasal tersebut merupakan ketentuan dari Pasal 7 yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan adalah antara  lain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.”
Aturan itu membuat sejumlah kepala daerah mundur dari jabatannya menjelang pilkada serentak agar keluarganya bisa maju dalam pilkada.  Kini MK telah mutuskan membolehkan keluarga incumbent maju. Putusan MK ini pun disambut positif oleh parlemen.

Menurut ýanggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Arteria Dahlan, putusan MK itu ýmemenuhi hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan memilih.

Menurutnya, putusan MK ini seyogyanya menjadi pembelajaran bagi semua pihak bahwa norma dalam pasal tersebut tidak hanya inkonstitusonal, tapi juga melanggar HAM. Bahkan, dia mengaku sejak awal secara tegas menolak rumusan larangan atas petahana.

“Hal itu jelas-jelas inkonstitusional. Apa yang salah dengan petahana? Atau keluarga petahana? Apakah sudah ada penelitian dan kajian seberapa besar daya rusaknya terhadap demokrasi,” cetus Arteria, kepada wartawan di Jakarta, kemarin (8/7).

Sepanjang pengetahuannya, yang merusak demokrasi itu bukan petahana karena petahana hanya derifatif dari perbuatan menyimpang. Sumber masalahnya adalah penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas dan bermain serta pengawas pemilu yang bermasalah.

“Kalau penyelenggara Pemilu dan Panwas sudah bekerja baik, kita tidak perlu khawatir dengan perilaku buruk petahana sekalipun. Karena mereka hanya merupakan pihak yang diatur dan diawasi,” ungkapnya.

Ketua Badan Bantuan Hukum dan Advokasi DPP PDIP ini sependapat dan memberi apresiasi terhadap MK yang berani memutus masalah petahana ini meskipun putusannya populis. “Toh sekalipun mempunyai ikatan darah atau perkawinan, para petahana juga harus berjuang di lapangan dengan sama kerasnya dengan pasangan calon yang lain. Jadi kekuasaaanya tidak diberikan atau dialihkan, tetapi tetap harus diperjuangkan,” jelasnya.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga mengapresiasi putusan MK tersebut karena konstitusi tidak melarang keluarga petahana dapat maju sebagai calon kepala daerah. Hal itu pun menurutnya sesuai dengan prinsip dari pelaksanaan Pilkada serentak 2015 yang sudah menjadi komitmen DPR bersama pemerintah untuk hasilkan pemimpin berkualitas.

“Hubungan darah bisa saja bagus orang-orangnya karena kita ingin orang yang maju itu terbaik. Kita tunduk pada konstitusi,” kata Fadli Zon.

Politisi Partai Gerindra ini secara pribadi berpandangan, putusan MK ini juga sebagai bentuk memperbaiki kualitas dari pilkada. Sebab, tegasnya, Pilkada serentak 2015 ini memang bertujuan untuk menghasilkan pilkada berkualitas untuk menghasilkan kepala daerah berkualitas pula.

“Saya pribadi harap pembatalan pasal ini memperbaiki hasil dari pilkada. Kita juga ingin orang-orang terbaik dibawa kemajuan,” tegasnya. (dil/jpnn/rbb)

Parlemen Sambut Positif Putusan MK

Pilkada-Ilustrasi
Pilkada-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Keluarga petahana atau incumbent kini tidak perlu ragu untuk ikut serta bertarung menjadi calon kepala daerah (pilkada) serentak akhir Desember nanti.

Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan uji materi pasal 7 huruf r UU Pilkada yang diajukan oleh seorang Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan.

“MK pun mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, kemarin (8/7).

Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik. Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.

Hakim menilai, Pasal 7 huruf r UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang, di mana pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana.

“Dengan demikian, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 j ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Tampak nyata pembedaan dengan maksud untuk mencegah kelompok atau orang tertentu untuk menggunakan hak konstitusi, hak untuk dipilih,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.

Adapun Pasal 7 huruf r berbunyi: “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”.

Pasal tersebut merupakan ketentuan dari Pasal 7 yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan adalah antara  lain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.”
Aturan itu membuat sejumlah kepala daerah mundur dari jabatannya menjelang pilkada serentak agar keluarganya bisa maju dalam pilkada.  Kini MK telah mutuskan membolehkan keluarga incumbent maju. Putusan MK ini pun disambut positif oleh parlemen.

Menurut ýanggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Arteria Dahlan, putusan MK itu ýmemenuhi hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan memilih.

Menurutnya, putusan MK ini seyogyanya menjadi pembelajaran bagi semua pihak bahwa norma dalam pasal tersebut tidak hanya inkonstitusonal, tapi juga melanggar HAM. Bahkan, dia mengaku sejak awal secara tegas menolak rumusan larangan atas petahana.

“Hal itu jelas-jelas inkonstitusional. Apa yang salah dengan petahana? Atau keluarga petahana? Apakah sudah ada penelitian dan kajian seberapa besar daya rusaknya terhadap demokrasi,” cetus Arteria, kepada wartawan di Jakarta, kemarin (8/7).

Sepanjang pengetahuannya, yang merusak demokrasi itu bukan petahana karena petahana hanya derifatif dari perbuatan menyimpang. Sumber masalahnya adalah penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas dan bermain serta pengawas pemilu yang bermasalah.

“Kalau penyelenggara Pemilu dan Panwas sudah bekerja baik, kita tidak perlu khawatir dengan perilaku buruk petahana sekalipun. Karena mereka hanya merupakan pihak yang diatur dan diawasi,” ungkapnya.

Ketua Badan Bantuan Hukum dan Advokasi DPP PDIP ini sependapat dan memberi apresiasi terhadap MK yang berani memutus masalah petahana ini meskipun putusannya populis. “Toh sekalipun mempunyai ikatan darah atau perkawinan, para petahana juga harus berjuang di lapangan dengan sama kerasnya dengan pasangan calon yang lain. Jadi kekuasaaanya tidak diberikan atau dialihkan, tetapi tetap harus diperjuangkan,” jelasnya.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga mengapresiasi putusan MK tersebut karena konstitusi tidak melarang keluarga petahana dapat maju sebagai calon kepala daerah. Hal itu pun menurutnya sesuai dengan prinsip dari pelaksanaan Pilkada serentak 2015 yang sudah menjadi komitmen DPR bersama pemerintah untuk hasilkan pemimpin berkualitas.

“Hubungan darah bisa saja bagus orang-orangnya karena kita ingin orang yang maju itu terbaik. Kita tunduk pada konstitusi,” kata Fadli Zon.

Politisi Partai Gerindra ini secara pribadi berpandangan, putusan MK ini juga sebagai bentuk memperbaiki kualitas dari pilkada. Sebab, tegasnya, Pilkada serentak 2015 ini memang bertujuan untuk menghasilkan pilkada berkualitas untuk menghasilkan kepala daerah berkualitas pula.

“Saya pribadi harap pembatalan pasal ini memperbaiki hasil dari pilkada. Kita juga ingin orang-orang terbaik dibawa kemajuan,” tegasnya. (dil/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/