26 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Tradisi Kopi Subuh di Kalangan Warga Banda Aceh, Kedai Harus Ada Kue, Juga Koran serta Televisi

SUMUTPOS.CO – Perlu ada camilan khas Aceh, karena itu yang membedakan dengan ngopi di rumah. Dan, konten koran-televisi perlu untuk bahan obrolan sambil menyesap kopi saring.

JAM sudah menunjukkan pukul 05.50 WIB. Matahari masih malu-malu muncul di bagian paling Barat Indonesia. Namun, Kedai Kopi Budi Warkop di kawasan Jalan Sukadamai, Banda Aceh, telah lama berdenyut.

Dari memasak dan menyaring kopi hingga menata kue. Dan, satu per satu para penikmat kopi pun mulai berdatangan.

Di ibu kota Aceh itu, ngopi selepas subuh sudah bagian dari keseharian. Warkop bertebaran di berbagai sudut, sejalan dengan tersohornya Aceh sebagai daerah penghasil kopi.

Mayoritas yang datang ke Budi Warkop pada pagi akhir Juli lalu (27/7) itu pun datang menggunakan baju koko-gamis serta berkopiah. Bangku merah yang disediakan bersamaan dengan meja panjang perlahan terisi para penikmat kopi subuh.

Sreeeetttt. Koran yang disediakan di atas meja kayu kemudian dibuka.

Salah satunya dari kelompok jamaah Masjid Jamik Lueng Bata, Banda Aceh. Di antaranya Suhairi yang datang bersama sejumlah kawan. “Sudah beberapa tahun ini kami selalu ngopi bersama setelah subuh,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos).

Kecuali Hari Minggu saja mereka tak melakukan “ritual” tersebut. Sebab, ada acara ramah tamah dan makan-makan di masjid.

Suhairi menuturkan, komunitas kopi subuh yang ada di Banda Aceh ini berbeda-beda dalam besar kecilnya. Ada kelompok kecil yang misalnya berisi kerabat dan jemaah masjid. Ada juga kelompok dengan jumlah person lebih banyak. “Kalau kami ini bertetangga. Biasanya ada enam orang. Hampir di tiap tempat di Aceh ini memang ada (kelompok seperti kami),” tuturnya.

Tempat ngopi di Banda Aceh sangat banyak. Namun, tak semua buka mulai subuh. Biasanya, terang Suhairi, untuk menentukan tempat pilihan ngopi, ada beberapa kriteria.

Pertama, di kedai harus ada camilan-camilan khas Aceh seperti kue meureudu, kue timphan, kue bhoi, hingga gorengan sebagai teman menikmati kopi saring. “Karena kalau di rumah kan belum tentu ada kue-kue,” ujarnya.

Kedua, kedai harus menyediakan koran dan televisi. Tujuannya, agar bisa meng-update informasi terbaru. “Jadi, ketika kami ngopi, semua dibahas. Mulai dari isu politik nasional seperti polemik Jakarta International Stadium, cawe-cawe presiden dalam pilpres, hingga persoalan kedaerahan,’’ paparnya.

Marjuki, rekan “sekomunitas” Suhairi, menambahkan, tiap kali ngopi Subuh tidak ada pembahasan khusus. Obrolannya beragam. “Tergantung (apa isi) di koran dan televisi,” ucapnya.

Kopi subuh sudah menjadi tradisi yang sulit dilepas bagi pria berusia 63 tahun itu. Terlebih ketika sudah pensiun. “Seperti yang ada di tulisan sana kan, sejuta inspirasi dalam secangkir kopi,” katanya seiring tangannya menunjuk gambar bertulisan filosofi kopi yang ada di sudut kedai.

Tulisan-tulisan filosofis memang bertebaran di Budi Warkop. Dari depan pintu sudah disambut kata bertulisan ’’Teurimeung Geunaseh Peumuliaa Jamee Adat Geutanyoe’’ yang berarti kurang lebih “Memuliakan Tamu Adalah Adat Kami”.

Juga di sudut lain dengan kata-kata “Watee Ka Grah Tingat Keu Ie, Watee Ka Lupie Tingat Keu Ija, Watee Ka Susah Tingat Keu Robbi, Watee Teungah Senang Siboek Ta Peuturoet Doenya’’. Dengan arti ’’Waktu Sudah Haus Teringat Sama air, Waktu Sudah Dingin Teringat untuk Kain, Waktu Sudah Susah Teringat sama Allah, Waktu Tengah Senang Sibuk Mengikuti Dunia”.

Karena sudah mentradisi, dalam satu pagi saja tidak ngopi dia merasa ada yang berbeda. Ngopi subuh juga momen mengisi waktu kosong sebelum beraktivitas.

Waktu subuh di Banda Aceh sendiri mulai pukul 05.10. Berbeda 40 menit dengan di Jakarta. ’’Setelah mendapat siraman ceramah, kemudian ngopi dari 05.50 hingga 06.30. Setelah itu barulah melakukan aktivitas lain. Kalau saya biasa antar cucu sekolah,’’ katanya, lantas tersenyum.

Sementara itu, Nazarullah, sang pemilik kedai, tidak tahu persis bagaimana kopi subuh menjadi sebuah tradisi di Aceh. Namun, karena melihat begitu masifnya penikmat kopi subuh, pihaknya mendirikan kedai mulai 2017. Ternyata benar saja. Pasarnya sangat luas. “Biasa sehari tuh bisa seribu gelas,” ucapnya.

“Kalau hari ini agak kurang karena bertepatan dengan puasa Muharam. Tapi ya masih 300 gelas sih,” tambahnya.

Pria 36 tahun itu menuturkan, fenomena kopi subuh juga turut memutar roda ekonomi Banda Aceh. “Di kedai kami saja, dalam satu hari bisa menggaet omzet rata-rata Rp 10 juta,” katanya. (c17/ttg/jpg)

SUMUTPOS.CO – Perlu ada camilan khas Aceh, karena itu yang membedakan dengan ngopi di rumah. Dan, konten koran-televisi perlu untuk bahan obrolan sambil menyesap kopi saring.

JAM sudah menunjukkan pukul 05.50 WIB. Matahari masih malu-malu muncul di bagian paling Barat Indonesia. Namun, Kedai Kopi Budi Warkop di kawasan Jalan Sukadamai, Banda Aceh, telah lama berdenyut.

Dari memasak dan menyaring kopi hingga menata kue. Dan, satu per satu para penikmat kopi pun mulai berdatangan.

Di ibu kota Aceh itu, ngopi selepas subuh sudah bagian dari keseharian. Warkop bertebaran di berbagai sudut, sejalan dengan tersohornya Aceh sebagai daerah penghasil kopi.

Mayoritas yang datang ke Budi Warkop pada pagi akhir Juli lalu (27/7) itu pun datang menggunakan baju koko-gamis serta berkopiah. Bangku merah yang disediakan bersamaan dengan meja panjang perlahan terisi para penikmat kopi subuh.

Sreeeetttt. Koran yang disediakan di atas meja kayu kemudian dibuka.

Salah satunya dari kelompok jamaah Masjid Jamik Lueng Bata, Banda Aceh. Di antaranya Suhairi yang datang bersama sejumlah kawan. “Sudah beberapa tahun ini kami selalu ngopi bersama setelah subuh,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos).

Kecuali Hari Minggu saja mereka tak melakukan “ritual” tersebut. Sebab, ada acara ramah tamah dan makan-makan di masjid.

Suhairi menuturkan, komunitas kopi subuh yang ada di Banda Aceh ini berbeda-beda dalam besar kecilnya. Ada kelompok kecil yang misalnya berisi kerabat dan jemaah masjid. Ada juga kelompok dengan jumlah person lebih banyak. “Kalau kami ini bertetangga. Biasanya ada enam orang. Hampir di tiap tempat di Aceh ini memang ada (kelompok seperti kami),” tuturnya.

Tempat ngopi di Banda Aceh sangat banyak. Namun, tak semua buka mulai subuh. Biasanya, terang Suhairi, untuk menentukan tempat pilihan ngopi, ada beberapa kriteria.

Pertama, di kedai harus ada camilan-camilan khas Aceh seperti kue meureudu, kue timphan, kue bhoi, hingga gorengan sebagai teman menikmati kopi saring. “Karena kalau di rumah kan belum tentu ada kue-kue,” ujarnya.

Kedua, kedai harus menyediakan koran dan televisi. Tujuannya, agar bisa meng-update informasi terbaru. “Jadi, ketika kami ngopi, semua dibahas. Mulai dari isu politik nasional seperti polemik Jakarta International Stadium, cawe-cawe presiden dalam pilpres, hingga persoalan kedaerahan,’’ paparnya.

Marjuki, rekan “sekomunitas” Suhairi, menambahkan, tiap kali ngopi Subuh tidak ada pembahasan khusus. Obrolannya beragam. “Tergantung (apa isi) di koran dan televisi,” ucapnya.

Kopi subuh sudah menjadi tradisi yang sulit dilepas bagi pria berusia 63 tahun itu. Terlebih ketika sudah pensiun. “Seperti yang ada di tulisan sana kan, sejuta inspirasi dalam secangkir kopi,” katanya seiring tangannya menunjuk gambar bertulisan filosofi kopi yang ada di sudut kedai.

Tulisan-tulisan filosofis memang bertebaran di Budi Warkop. Dari depan pintu sudah disambut kata bertulisan ’’Teurimeung Geunaseh Peumuliaa Jamee Adat Geutanyoe’’ yang berarti kurang lebih “Memuliakan Tamu Adalah Adat Kami”.

Juga di sudut lain dengan kata-kata “Watee Ka Grah Tingat Keu Ie, Watee Ka Lupie Tingat Keu Ija, Watee Ka Susah Tingat Keu Robbi, Watee Teungah Senang Siboek Ta Peuturoet Doenya’’. Dengan arti ’’Waktu Sudah Haus Teringat Sama air, Waktu Sudah Dingin Teringat untuk Kain, Waktu Sudah Susah Teringat sama Allah, Waktu Tengah Senang Sibuk Mengikuti Dunia”.

Karena sudah mentradisi, dalam satu pagi saja tidak ngopi dia merasa ada yang berbeda. Ngopi subuh juga momen mengisi waktu kosong sebelum beraktivitas.

Waktu subuh di Banda Aceh sendiri mulai pukul 05.10. Berbeda 40 menit dengan di Jakarta. ’’Setelah mendapat siraman ceramah, kemudian ngopi dari 05.50 hingga 06.30. Setelah itu barulah melakukan aktivitas lain. Kalau saya biasa antar cucu sekolah,’’ katanya, lantas tersenyum.

Sementara itu, Nazarullah, sang pemilik kedai, tidak tahu persis bagaimana kopi subuh menjadi sebuah tradisi di Aceh. Namun, karena melihat begitu masifnya penikmat kopi subuh, pihaknya mendirikan kedai mulai 2017. Ternyata benar saja. Pasarnya sangat luas. “Biasa sehari tuh bisa seribu gelas,” ucapnya.

“Kalau hari ini agak kurang karena bertepatan dengan puasa Muharam. Tapi ya masih 300 gelas sih,” tambahnya.

Pria 36 tahun itu menuturkan, fenomena kopi subuh juga turut memutar roda ekonomi Banda Aceh. “Di kedai kami saja, dalam satu hari bisa menggaet omzet rata-rata Rp 10 juta,” katanya. (c17/ttg/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/