29 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Wacana Full Day School Bikin Khawatir

Psikolog pendidikan Karina Adistiana menyatakan, yang terpenting dalam full day school adalah bentuknya seperti apa. Dia mengaku kurang setuju dengan sekolah yang memakan waktu panjang tersebut. Sebab, banyak faktor yang mesti dipertimbangkan. Misalnya, dari segi nilai. Menurut Anyi, sapaan akrab Karina Adistiani, bagaimanapun tangung jawab pendidikan nilai ada di tangan orang tua.

“Peran tersebut tidak bisa diambil alih sekolah. Apalagi melihat ketika anak pulang sekolah sore, dia sudah capek sehingga rumah mungkin hanya dijadikan seperti hotel. Hanya tempat istirahat. Peran ayah dan ibu itu sangat penting dan tidak bisa digantikan, ” tegasnya.

Dari sisi eksplorasi lingkungan, sekolah sehari penuh juga buruk bagi tumbuh kembang anak. Waktu anak untuk mengenal lingkungan akan berkurang. “Bukan hanya lingkungan secara fisik, tetapi juga nuansa masyarakat yang akan berkurang,” imbuhnya.

Meski full day school bertujuan untuk mencetak anak menjadi tangguh, dia menegaskan, pendidikan tidak hanya mencetak anak menjadi tenaga kerja. “Meskipun di sekolah diajari bersosialisasi, itu hanya simulasi, bukan sebenarnya,” terangnya.

Belum lagi soal gizi. Di daerah, hal itu akan menjadi isu besar. Apakah sekolah bisa memenuhi kebutuhan gizi anak?

PETISI TOLAK FULL DAY
Petisi menolak rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menerapkan sekolah sehari penuh (full day school)sudah ditandatangani lebih dari 20 ribu orang. Petisi ini digagas seorang orangtua murid, Deddy M Kresnoputro. Penolakan hadir, karena menilai wacana Mendikbud itu sangat tidak tepat.

“Hingga Pukul 15.00 WIB tadi, petisi berjudul ‘tolak pendidikan full day/sehari penuh di Indonesia’ telah didukung lebih dari 20 ribu tanda tangan,” ujar Direktur Komunitas Change.org Desmarita Murni, Selasa (9/8).

Menurut Desmarita, dalam petisi tersebut Deddy menyebut beberapa alasan menggalang penolakan. Antara lain, karena wacana tersebut memperlihatkan kecenderungan pengambil kebijakan kerap mengacak-acak sistem kurikulum yang ada.

“Sekarang muncul wacana untuk anak sekolah sehari penuh, dengan alasan pendidikan dasar saat ini tidak siap menghadapi perubahan jaman yang begitu pesat. Semoga bapak-bapak dan ibu-ibu tahu bahwa tren sekolah di negara-negara maju saat ini adalah mengurangi waktu sekolah, tidak ada pekerjaan rumah, dan lebih pada pembangunan karakter anak,” ujar Desmaritas mengutip pernyataan Deddy.

Selain itu, Deddy kata Desmarita, juga mengutip tulisan seorang guru yang menggarisbawahi bahwa membiarkan anak sehari penuh bersekolah, seperti melepas tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya ke sekolah. Selain itu, juga merenggut interaksi antara anak dengan orang tua.

“Jika kondisi pendidikan seperti itu terjadi, Deddy mengatakan orang akan memilih metode home schooling atau bersekolah di rumah sebagai opsi pendidikan bagi anaknya,” ujar Desmarita. (jpg/ris/ted/adz)

Psikolog pendidikan Karina Adistiana menyatakan, yang terpenting dalam full day school adalah bentuknya seperti apa. Dia mengaku kurang setuju dengan sekolah yang memakan waktu panjang tersebut. Sebab, banyak faktor yang mesti dipertimbangkan. Misalnya, dari segi nilai. Menurut Anyi, sapaan akrab Karina Adistiani, bagaimanapun tangung jawab pendidikan nilai ada di tangan orang tua.

“Peran tersebut tidak bisa diambil alih sekolah. Apalagi melihat ketika anak pulang sekolah sore, dia sudah capek sehingga rumah mungkin hanya dijadikan seperti hotel. Hanya tempat istirahat. Peran ayah dan ibu itu sangat penting dan tidak bisa digantikan, ” tegasnya.

Dari sisi eksplorasi lingkungan, sekolah sehari penuh juga buruk bagi tumbuh kembang anak. Waktu anak untuk mengenal lingkungan akan berkurang. “Bukan hanya lingkungan secara fisik, tetapi juga nuansa masyarakat yang akan berkurang,” imbuhnya.

Meski full day school bertujuan untuk mencetak anak menjadi tangguh, dia menegaskan, pendidikan tidak hanya mencetak anak menjadi tenaga kerja. “Meskipun di sekolah diajari bersosialisasi, itu hanya simulasi, bukan sebenarnya,” terangnya.

Belum lagi soal gizi. Di daerah, hal itu akan menjadi isu besar. Apakah sekolah bisa memenuhi kebutuhan gizi anak?

PETISI TOLAK FULL DAY
Petisi menolak rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menerapkan sekolah sehari penuh (full day school)sudah ditandatangani lebih dari 20 ribu orang. Petisi ini digagas seorang orangtua murid, Deddy M Kresnoputro. Penolakan hadir, karena menilai wacana Mendikbud itu sangat tidak tepat.

“Hingga Pukul 15.00 WIB tadi, petisi berjudul ‘tolak pendidikan full day/sehari penuh di Indonesia’ telah didukung lebih dari 20 ribu tanda tangan,” ujar Direktur Komunitas Change.org Desmarita Murni, Selasa (9/8).

Menurut Desmarita, dalam petisi tersebut Deddy menyebut beberapa alasan menggalang penolakan. Antara lain, karena wacana tersebut memperlihatkan kecenderungan pengambil kebijakan kerap mengacak-acak sistem kurikulum yang ada.

“Sekarang muncul wacana untuk anak sekolah sehari penuh, dengan alasan pendidikan dasar saat ini tidak siap menghadapi perubahan jaman yang begitu pesat. Semoga bapak-bapak dan ibu-ibu tahu bahwa tren sekolah di negara-negara maju saat ini adalah mengurangi waktu sekolah, tidak ada pekerjaan rumah, dan lebih pada pembangunan karakter anak,” ujar Desmaritas mengutip pernyataan Deddy.

Selain itu, Deddy kata Desmarita, juga mengutip tulisan seorang guru yang menggarisbawahi bahwa membiarkan anak sehari penuh bersekolah, seperti melepas tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya ke sekolah. Selain itu, juga merenggut interaksi antara anak dengan orang tua.

“Jika kondisi pendidikan seperti itu terjadi, Deddy mengatakan orang akan memilih metode home schooling atau bersekolah di rumah sebagai opsi pendidikan bagi anaknya,” ujar Desmarita. (jpg/ris/ted/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/