Rekaman dan pengeras suara
Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia tidak mengeluarkan fatwa terkait rekaman mengaji yang sering diputar secara tidak tepat di mesjid. Juga pengeras suara mesjid yang volumenya terlalu tinggi. Hal yang disampaikan oleh wakil presiden Jusuf Kalla saat membuka Ijtima Komisi Fatwa MUI itu.
Muhyiddin dari MUI mengakui, tak sedikit penggunaan pengeras suara mesjid yang berlebihan, baik volumenya, maupun lamanya, sehingga mengganggu kenyamanan warga. Juga diputarnya rekaman mengaji, di waktu yang terlalu awal. Namun hal itu katanya, seharusnya diselesaikan melalui “kearifan lokal.”
“MUI tidak dalam posisi untuk membahasnya secara serius.”
Terlalu jauh
Bagaimanapun KH Hussein Muhammad, pemimpin Pondok Pesantren Dar At-Tauhid Arjawinangun, Cirebon memandang, fatwa mengenai boleh tidak taat pada pemimpin itu berlebihan karena masuk jauh ke dalam persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan.
“Sudah sering (terjadi hal seperti ini). Dipaksakannya kehendak (melalui fatwa) terhadap yang lain yang berbeda. Seharusnya (fatwa diarahkan) pada memberikan ruang pada kebaikan bersama tanpa mengganggu pihak lain.”
Kyai Husein mengingatkan fatwa hanya merupakan pendapat suatu kalangan ulama yang sifatnya tidak mengikat dan bisa diabaikan.
“MUI itu lembaga sosial, ormas, sebagaimana NU, Muhammadiyah, kendati keanggotaannya banyak dari organisasi keagamaan lain. Mereka bisa membuat fatwa. Namun apakah fatwa itu dipatuhi atau tidak, itu terserah masyarakat,” katanya.
Ditambahkannya, persoalan kenegaraan harus berpatokan pada konstitusi, dan bukan pandangan keagamaan tertentu, kendati itu agama mayoritas. (BBC)
Rekaman dan pengeras suara
Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia tidak mengeluarkan fatwa terkait rekaman mengaji yang sering diputar secara tidak tepat di mesjid. Juga pengeras suara mesjid yang volumenya terlalu tinggi. Hal yang disampaikan oleh wakil presiden Jusuf Kalla saat membuka Ijtima Komisi Fatwa MUI itu.
Muhyiddin dari MUI mengakui, tak sedikit penggunaan pengeras suara mesjid yang berlebihan, baik volumenya, maupun lamanya, sehingga mengganggu kenyamanan warga. Juga diputarnya rekaman mengaji, di waktu yang terlalu awal. Namun hal itu katanya, seharusnya diselesaikan melalui “kearifan lokal.”
“MUI tidak dalam posisi untuk membahasnya secara serius.”
Terlalu jauh
Bagaimanapun KH Hussein Muhammad, pemimpin Pondok Pesantren Dar At-Tauhid Arjawinangun, Cirebon memandang, fatwa mengenai boleh tidak taat pada pemimpin itu berlebihan karena masuk jauh ke dalam persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan.
“Sudah sering (terjadi hal seperti ini). Dipaksakannya kehendak (melalui fatwa) terhadap yang lain yang berbeda. Seharusnya (fatwa diarahkan) pada memberikan ruang pada kebaikan bersama tanpa mengganggu pihak lain.”
Kyai Husein mengingatkan fatwa hanya merupakan pendapat suatu kalangan ulama yang sifatnya tidak mengikat dan bisa diabaikan.
“MUI itu lembaga sosial, ormas, sebagaimana NU, Muhammadiyah, kendati keanggotaannya banyak dari organisasi keagamaan lain. Mereka bisa membuat fatwa. Namun apakah fatwa itu dipatuhi atau tidak, itu terserah masyarakat,” katanya.
Ditambahkannya, persoalan kenegaraan harus berpatokan pada konstitusi, dan bukan pandangan keagamaan tertentu, kendati itu agama mayoritas. (BBC)