30 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Guncangan Ekonomi Perburuk KDRT selama Pandemi

Laurence Gillois, Deputy Director UN Women Brussels Office, memberi paparan pada webinar ”Perspektif Global dan Nasional: Kondisi Perempuan di Tengah Pandemi” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan European Union, Selasa (10/11/2020).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kondisi keamanan, kesehatan, dan kekhawatiran soal uang selama pandemi Covid-19 memperburuk situasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh perempuan. Adanya pembatasan ruang gerak, ruang publik, dan isolasi dengan pelaku kekerasan, ikut menambah buruk situasi.

”Sebelum pandemi Covid-19, sebanyak 243 juta perempuan dan anak perempuan berusia 15-49 tahun mengalami kekerasan seksual atau fisik yang dilakukan oleh pasangannya dalam satu tahun terakhir. Sejak pandemi, kekerasan terhadap perempuan khususnya KDRT semakin meningkat,” kata Laurence Gillois, Deputy Director UN Women Brussels Office, pada webinar ”Perspektif Global dan Nasional: Kondisi Perempuan di Tengah Pandemi” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan European Union, Selasa (10/11/2020).

Data dikumpulkan UN Women tentang dampak Covid-19 pada perempuan dan anak perempuan, menunjukkan peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan selama pandemi.

”Sebelum pandemi, kurang dari 40 persen wanita yang mengalami kekerasan melaporkan kejahatan atau mencari bantuan. Namun sejak adanya lockdown, laporan kekerasan dalam rumah tangga atau panggilan telepon meningkat,” ujar Laurence.

Peningkatan laporan kekerasan rumah tangga, misalnya di Singapura (33 persen), Siprus (30 persen), Perancis (30 persen), dan Argentina (25 persen). Bahkan, di Perancis, pada masa pandemi semenjak adanya kebijakan lockdown, laporan KDRT meningkat.

Selama pandemi Covid-19, kata dia, para perempuan di sejumlah negara menghadapi beban ganda. Seperti menangani urusan rumah tangga, namun juga ikut urusan mencari nafkah.

Endah Lismartini, Koordinator Divisi Gender dan Kelompok Marjinal, AJI Indonesia, mengungkapkan, sejak terjadinya pandemi Covid-19, kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan meningkat secara signifikan.

Data diperolehnya dari LBH APIK, terjadi peningkatan kasus KDRT. Dari rata-rata 30 kasus per bulan, meningkat menjadi 110 kasus per bulan dalam periode Maret sampai Juni 2020. Dalam 3 bulan, kasus KDRT mencapai setengah dari kasus KDRT selama tahun 2019. Pada bulan pertama bekerja dari rumah (WFH), kekerasan paling tinggi adalah KDRT.

”Ketika terjadi pembatasan sosial berskala besar, penghuni tidak bisa ke mana-mana, suami kehilangan pekerjaan, istri berpotensi menjadi tempat pelampiasan kemarahan suaminya,” kata Endah.

Stres, terganggunya jejaring perlindungan dan sosial, hilangnya pendapatan, dan menurunnya akses ke layanan publik, semuanya dapat memperburuk risiko kekerasan bagi perempuan.

“Selain isu KDRT, perempuan juga ternyata harus menanggung beban ekonomi keluarga. Para perempuan yang bekerja  menanggung beban lebih banyak. Sudah banyak kerjaan dari kantornya, kemudian memasak untuk rumah tangganya, mesti mendampingi anak yang belajar lagi,” katanya.

Untuk itu, ia berharap jurnalis memiliki sensitif gender dalam melakukan peliputan terhadap kasus-kasus yang melibatkan perempuan. Dan ikut mempromosikan kesetaraan gender dalam penulisan berita. (mea)

Laurence Gillois, Deputy Director UN Women Brussels Office, memberi paparan pada webinar ”Perspektif Global dan Nasional: Kondisi Perempuan di Tengah Pandemi” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan European Union, Selasa (10/11/2020).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kondisi keamanan, kesehatan, dan kekhawatiran soal uang selama pandemi Covid-19 memperburuk situasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh perempuan. Adanya pembatasan ruang gerak, ruang publik, dan isolasi dengan pelaku kekerasan, ikut menambah buruk situasi.

”Sebelum pandemi Covid-19, sebanyak 243 juta perempuan dan anak perempuan berusia 15-49 tahun mengalami kekerasan seksual atau fisik yang dilakukan oleh pasangannya dalam satu tahun terakhir. Sejak pandemi, kekerasan terhadap perempuan khususnya KDRT semakin meningkat,” kata Laurence Gillois, Deputy Director UN Women Brussels Office, pada webinar ”Perspektif Global dan Nasional: Kondisi Perempuan di Tengah Pandemi” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan European Union, Selasa (10/11/2020).

Data dikumpulkan UN Women tentang dampak Covid-19 pada perempuan dan anak perempuan, menunjukkan peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan selama pandemi.

”Sebelum pandemi, kurang dari 40 persen wanita yang mengalami kekerasan melaporkan kejahatan atau mencari bantuan. Namun sejak adanya lockdown, laporan kekerasan dalam rumah tangga atau panggilan telepon meningkat,” ujar Laurence.

Peningkatan laporan kekerasan rumah tangga, misalnya di Singapura (33 persen), Siprus (30 persen), Perancis (30 persen), dan Argentina (25 persen). Bahkan, di Perancis, pada masa pandemi semenjak adanya kebijakan lockdown, laporan KDRT meningkat.

Selama pandemi Covid-19, kata dia, para perempuan di sejumlah negara menghadapi beban ganda. Seperti menangani urusan rumah tangga, namun juga ikut urusan mencari nafkah.

Endah Lismartini, Koordinator Divisi Gender dan Kelompok Marjinal, AJI Indonesia, mengungkapkan, sejak terjadinya pandemi Covid-19, kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan meningkat secara signifikan.

Data diperolehnya dari LBH APIK, terjadi peningkatan kasus KDRT. Dari rata-rata 30 kasus per bulan, meningkat menjadi 110 kasus per bulan dalam periode Maret sampai Juni 2020. Dalam 3 bulan, kasus KDRT mencapai setengah dari kasus KDRT selama tahun 2019. Pada bulan pertama bekerja dari rumah (WFH), kekerasan paling tinggi adalah KDRT.

”Ketika terjadi pembatasan sosial berskala besar, penghuni tidak bisa ke mana-mana, suami kehilangan pekerjaan, istri berpotensi menjadi tempat pelampiasan kemarahan suaminya,” kata Endah.

Stres, terganggunya jejaring perlindungan dan sosial, hilangnya pendapatan, dan menurunnya akses ke layanan publik, semuanya dapat memperburuk risiko kekerasan bagi perempuan.

“Selain isu KDRT, perempuan juga ternyata harus menanggung beban ekonomi keluarga. Para perempuan yang bekerja  menanggung beban lebih banyak. Sudah banyak kerjaan dari kantornya, kemudian memasak untuk rumah tangganya, mesti mendampingi anak yang belajar lagi,” katanya.

Untuk itu, ia berharap jurnalis memiliki sensitif gender dalam melakukan peliputan terhadap kasus-kasus yang melibatkan perempuan. Dan ikut mempromosikan kesetaraan gender dalam penulisan berita. (mea)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/