29 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Setnov Dianggap Intervensi Penyidikan

Foto: DANIL SIREGAR/SUMUT POS/Kombinasi
Ketua DPR RI, Setya Novanto.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Surat Setya Novanto yang dikirim ke KPK menimbulkan polemik. Sebab,  tersangka kasus korupsi e-KTP itu meminta agar penyidikan perkara yang menjeratnya dihentikan sebelum ada putusan praperadilan. Langkah itu pun dianggap upaya intervenasi terhadap penanganan kasus yang merugikan negara itu.

Apalagi surat itu ditandatangani Fadli Zon sebagai wakil Ketua DPR dan dikirim langsung oleh Kepala Biro Pimpinan Kesetjenan DPR Hani Tahapsari ke gedung KPK pada Selasa (12/9) malam lalu.

Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, pengiriman surat itu melampaui kewenangan pimpinan DPR. Sebab pimpinan itu merupakan corong atau perpanjangan mulut anggota. “Harusnya pimpinan DPR tidak melakukannya. Kami sayangkan pimpinan melampaui batas kewenangannya,” terang dia saat ditemui di gedung DPR sebelum rapat paripurna kemarin (13/9).

Menurut dia, surat tersebut terkesan ingin mengintervensi terhadap penanganan perkara yang ditangani komisi antirasuah. Seharusnya, tutur dia, pimpinan DPR menghormati proses hukum yang sedang dilaksanakan KPK dan juga menghormati proses praperadilan yang ditempuh Setnov.

Jika nanti pengadilan memutuskan bahwa penetapan Setnov sebagai tersangka itu tidak sah, maka semua pihak harus menghormati keputusan itu. Begitu juga sebaliknya. Jadi, apa pun keputusan pengadilan harus dihormati, baik oleh Setnov maupun KPK.

Dadang Rusdiana, anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura mengatakan, pihaknya tidak sepakat jika ada surat yang meminta menghentikan perkara yang ditangani KPK. Sebab, proses hukum di komisi yang diketuai Agus Rahardjo itu tidak boleh diintervensi. Berbeda jika permohonan penangguhan, sebab hal itu sudah diatur. “Kita harus hormati proses di KPK, seperti kita menginginkan KPK agar menghormati proses politik di DPR,” terang dia.

Apalagi, tutur legislator asal Dapil Jawa Barat II itu, surat tersebut dikirim kepala biro pimpinan kesetjenan. Seharusnya, pejabat kesetjenan tidak boleh melaksanakan perintah pengiriman surat ke KPK. Seolah-olah DPR yang menginginkan penghentian penyidikan itu. Berbeda jika hal itu dilakukan penasehat hukum Setnov.

Aktivis antikorupsi pun bereaksi keras terhadap surat itu. Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) langsung melaporkan Fadli Zon ke Mahkamah Kehomratan Dewan (MKD). Fadli diduga melanggar kode etik, karena mengirim surat kepada KPK. Dia dianggap menyalahgunakan wewenang dan melakukan intervensi terhadap proses hukum. “Perbuatan itu tidak patut dan merendahkan harkat martabat DPR,” terang Koordinator MAKI Boyamin Saiman saat melapor ke MKD kemarin.

Sepatutnya pimpinan DPR menolak permintaan Setnov yang memerintahkan surat. Seharusnya, Setnov sendiri yang menyampaikan surat tersebut ke KPK. Menurut Boyamin, Setnov memanfaatkan jabatannya untuk menggunakan lembaga DPR. “Menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi,” tegasnya.

Foto: DANIL SIREGAR/SUMUT POS/Kombinasi
Ketua DPR RI, Setya Novanto.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Surat Setya Novanto yang dikirim ke KPK menimbulkan polemik. Sebab,  tersangka kasus korupsi e-KTP itu meminta agar penyidikan perkara yang menjeratnya dihentikan sebelum ada putusan praperadilan. Langkah itu pun dianggap upaya intervenasi terhadap penanganan kasus yang merugikan negara itu.

Apalagi surat itu ditandatangani Fadli Zon sebagai wakil Ketua DPR dan dikirim langsung oleh Kepala Biro Pimpinan Kesetjenan DPR Hani Tahapsari ke gedung KPK pada Selasa (12/9) malam lalu.

Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, pengiriman surat itu melampaui kewenangan pimpinan DPR. Sebab pimpinan itu merupakan corong atau perpanjangan mulut anggota. “Harusnya pimpinan DPR tidak melakukannya. Kami sayangkan pimpinan melampaui batas kewenangannya,” terang dia saat ditemui di gedung DPR sebelum rapat paripurna kemarin (13/9).

Menurut dia, surat tersebut terkesan ingin mengintervensi terhadap penanganan perkara yang ditangani komisi antirasuah. Seharusnya, tutur dia, pimpinan DPR menghormati proses hukum yang sedang dilaksanakan KPK dan juga menghormati proses praperadilan yang ditempuh Setnov.

Jika nanti pengadilan memutuskan bahwa penetapan Setnov sebagai tersangka itu tidak sah, maka semua pihak harus menghormati keputusan itu. Begitu juga sebaliknya. Jadi, apa pun keputusan pengadilan harus dihormati, baik oleh Setnov maupun KPK.

Dadang Rusdiana, anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura mengatakan, pihaknya tidak sepakat jika ada surat yang meminta menghentikan perkara yang ditangani KPK. Sebab, proses hukum di komisi yang diketuai Agus Rahardjo itu tidak boleh diintervensi. Berbeda jika permohonan penangguhan, sebab hal itu sudah diatur. “Kita harus hormati proses di KPK, seperti kita menginginkan KPK agar menghormati proses politik di DPR,” terang dia.

Apalagi, tutur legislator asal Dapil Jawa Barat II itu, surat tersebut dikirim kepala biro pimpinan kesetjenan. Seharusnya, pejabat kesetjenan tidak boleh melaksanakan perintah pengiriman surat ke KPK. Seolah-olah DPR yang menginginkan penghentian penyidikan itu. Berbeda jika hal itu dilakukan penasehat hukum Setnov.

Aktivis antikorupsi pun bereaksi keras terhadap surat itu. Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) langsung melaporkan Fadli Zon ke Mahkamah Kehomratan Dewan (MKD). Fadli diduga melanggar kode etik, karena mengirim surat kepada KPK. Dia dianggap menyalahgunakan wewenang dan melakukan intervensi terhadap proses hukum. “Perbuatan itu tidak patut dan merendahkan harkat martabat DPR,” terang Koordinator MAKI Boyamin Saiman saat melapor ke MKD kemarin.

Sepatutnya pimpinan DPR menolak permintaan Setnov yang memerintahkan surat. Seharusnya, Setnov sendiri yang menyampaikan surat tersebut ke KPK. Menurut Boyamin, Setnov memanfaatkan jabatannya untuk menggunakan lembaga DPR. “Menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi,” tegasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/