JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Rutan Guntur itu milik TNI, terletak di kompleks Markas Polisi Militer Komando Daerah Militer (Pomdam) Jaya, yang dipinjamkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dulunya, bilik-bilik jeruji warisan Belanda di Jl. Sultan Agung Nomor 33, Manggarai, Jakarta Selatan, itu untuk menahan oknum-oknum anggota militer nakal, yang sedang disidik Polisi Militer. Di era Orde Baru, tahanan politik ada juga yang dijebloskan ke sana.
Di kalangan anggota militer, sel yang dibangun tahun 1937 itu dikenal dengan sebutan Wisma Sadar. Di sana, di sel yang dikepung tembok-tembok tua itu, Bupati Tapteng Bonaran Situmeang ditahan oleh KPK. Bagi yang sudah pernah berkunjung ke sel tahanan Polda Metro Jaya, atau pun Rutan Salemba, Jakarta Pusat, jangan pernah membayangkan “kenyamanan” dua rutan itu sama dengan di Rutan Guntur.
Para tahanan koruptor titipan KPK di rutan Polda Metro Jaya, bisa setiap saat menemui tamunya, di ruang tamu ber-AC, ada TV-nya, sofanya empuk, sembari nyeruput kopi yang dipesan dari “kantin” dalam. Sepanjang hari, pagi hingga sore, mereka bisa ngobrol apa saja dengan para pembesuknya. Setidaknya, itu dulu yang pernah dilakukan Abdillah, orang nomor satu di Medan kala itu.
Mirip di rutan Polda Metro, di Rutan Salemba, para tahanan koruptor sendiri lah yang menentukan siapa tamu yang boleh masuk. Bahkan, dalam beberapa kasus, para pembesuk para tahanan koruptor mendapatkan perlakuan khusus, tak perlu antre mendaftar. Mereka bisa bercengkerama di ruangan luas, dengan meja yang tertata rapi mirip di kafe. Bahkan bisa menggunakan ruangan tersendiri untuk menemui para politisi, seperti dulu dilakukan Syamsul Arifin.
Nah, di Rutan Guntur, pihak KPK lah yang menentukan siapa yang boleh membesuk. Izinnya pun harus diurus di gedung KPK, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Jadi, jangan harap bisa asal nyelenong masuk ke Rutan Guntur, meski pun dia anggota tim pengacara tersangka. Bisa dipastikan, hari-hari penghuni Rutan Guntur adalah hari-hari diselimuti sepi. Anggota tim pengacara Bonaran mencari akal, menyiasati agar kliennya itu tak terlampau dihantaui rasa sepi.
“Kami atur waktu, bergantian menemani Pak Bonaran. Jadi dari pagi hingga sore selalu ada kawan bicara di sana. Kami berupaya mengisi kekosongan waktu Pak Bonaran,” ujar Charles Hutagalung, anggota tim pengacara Bonaran, di Jakarta, Senin (13/10).
Ada tujuh pengacara yang berada di barisan pembela Bonaran. Yakni pengacara ternama Tommi Sihotang, Teguh Samudera, Bernard Nainggolan, Kores Tambunan, Amor Tampubolon, Ramses Situmorang, dan Charles Hutagalung.
Mereka mengatur waktu, datang bergantian ke Rutan Guntur, yang dibatasi dari pukul 08.00 hingga 17.00 WIB, Senin hingga Jumat. Jika ada tamu, Bonaran sudah pasti lebih nyaman karena harus keluar sel dan berada di ruang khusus yang disediakan untuk bertemu tim penasehat hukum dan keluarga. Ada juga ruang santai, tapi jika tak ada kawan pastinya juga tetap kesepian.
“Karena kalau pas sendirian, tak ada tamu, disuruh masuk sel. Itu yang kami hindari agar Pak Bonaran tak terlalu kesepian,” kata sumber yang merupakan orang dekat Bonaran.
Bonaran sendiri, lanjutnya, sebenarnya tergolong bermental kuat, tidak cengeng, dan tidak merasa “susah” berada di tahanan. “Beliau bilang, saya dulunya juga orang susah, jadi tak masalah. Saya lihat beliau tegar karena yakin tidak bersalah,” imbuhnya lagi.
Bagaimana soal obat pengencer darah? Apakah sudah diterima dari petugas rutan? Charles belum bisa memastikan. “Karena sore saya baru ke sana. Nanti saya kabari,” ujar Charles.
Yang pasti, lanjutnya, sejak ditahan 6 Oktober hingga Jumat (10/10), kiriman obat pengencer darah yang dikirim pihak keluarga, terganjal oleh petugas rutan, hingga belum sampai ke tangan Bonaran. Karenanya, pada Jumat itu, Bonaran protes, dengan mengirim surat pengaduan ke Komnas HAM. Surat yang dikirim ke Komnas HAM dan Ketua DPR itu diberi judul “Jangan Bunuh Saya”. Semoga saja obat itu sudah diterima, agar darah orang nomor satu di Tapteng itu tidak membeku. (sam/deo)