31.7 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Teknologi Sukhoi Ketinggalan Zaman

Tidak Terdeteksi Radar, Bikin Lama Pencarian

JAKARTA-Klaim Sukhoi Civil Aircraft Corporation, perusahaan yang membangun Sukhoi Super Jet (SSJ) 100 bahwa pesawatnya menggunakan teknologi terkini patut dipertanyakan. Buktinya Emergeny Locator Transmitter (ELT) pesawat nahas tersebut menggunakan frekuensi lama. Akibatnya jelas, pesawat tersebut jadi lebih lama ditemukan.

Kepastian itu disampaikan oleh Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi usai mengevakuasi alat tersebut dari jurang jatuhnya SSJ 100. Setelah di cek, ternyata ELT tersebut masih menggunakan model lama dengan frekuensi di kanal 121.5, 203 MHz sedangkan yang terbaru frekuensinya berjalan di 121.5, 203 MHz.

“Padahal, Indonesia sudah pakai frekuensi terbaru,” ujar Tatang. Perbedaan frekuensi itulah yang membuat alat tersebut lantas tidak berfungsi dengan baik. Terlebih, posisi jatuhnya bangkai pesawat di dalam jurang membuat sinyal di frekuensi lama tidak bisa keluar.

Itulah kenapa saat menerima kabar SSJ 100 hilang kontak tim pencari tidak bisa segera menemukan bangkai pesawat. Pola pencarian dilakukan dengan cara yang lebih luas, yakni menyisir lokasi disekitar kontak terakhir dengan ATC Atang Sandjaja. Basarnas saat itu juga heran kenapa ELT tidak terdeteksi.
Bahkan, juru bicara Basarnas Gagah Prakoso mengungkapkan tidak hanya satelit Indonesia yang gagal menangkap frekuensi SSJ 100. Dua satelit milik negara tetangga yakni Singapura dan Australia yang menjadi backup satelit Indonesia juga bernasib sama. Idealnya, begitu kecelakaan terjadi pesawat langsung memancarkan ELT.

Dia tidak tahu pasti kenapa pabrikan Sukhoi memasang alat tersebut. Kalaupun alat tersebut merupakan standar pabrikan, terbukti tidak bisa berfungsi baik di Indonesia. Namun, untuk lengkapnya Tatang akan membawa ELT tersebut ke markas KNKT. “Akan kami selidiki lebih lanjut ELT tersebut,” imbuhnya.

Anggota Komisi I DPR Roy Suryo yang ikut ke Posko Cijeruk, Bogor berharap agar fakta itu segera ditindaklanjuti pabrikan Sukhoi. Artinya, kalau serius membuka pasar di Indonesia harusnya peralatan menyesuaikan juga. “Harus jadi koreksi kalau pesawat itu masih dipasarkan,” katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan kalau ELT dulunya bernama ELBA (emergency located beacon aircraft). Alat tersebut disebutnya sudah jadi standar penerbangan sipil. Alat tersebut akan bekerja otomatis saat pesawat jatuh dengan tekanan tinggi. Dengan begitu, tim pencari bisa melakukan pencarian dengan lebih mudah dan cepat.

Saat ini, lanjut Roy, terdapat tiga jenis ELT. Yakni, ELT untuk pendaki gunung, kapal laut, dan pesawat terbang. Dinamisnya dunia penerbangan juga mempengaruhi penggunaan frekuensi tersebut, kalau memaksa di 12.5 VHF yang jenis pancarannya line off sight atau lurus tidak bisa menembus gunung.
Lebih jelas lagi juru bicara Basarnas Gagah Prakoso mengatakan kalau frekuensi di pesawat Sukhoi sudah sangat lama ditinggalkan Indonesia. Frekuensi tersebut pernah dipakai penerbangan Indonesia pada tahun 1980-an. “Akhirnya, regulasi pada 2009 menegaskan semua frekuensi ELT beralih ke 406 MHz,” tuturnya.

Dia lantas menjelaskan bagaimana proses penyampaian titik kordinat melalui ELT ke radar milik Basarnas. Cukup sederhana sebenarnya, saat pesawat mengalami musibah ELT lantas terpancar. Satelit menangkap sinyal tersebut dan diteruskan ke radar. “Di Bumi, satelit mengirimkan data dalam bentuk koordinat,” jelasnya.

Dari titik koordinat itulah lantas di set ke Global Positioning System (GPS) untuk membaca lokasi. Begitu GPS menunjukkan kemana arah yang harus diambil, tim pencari mulai bergerak ke lokasi. Namun, proses tersebut tidak terjadi di ELT milik Sukhoi. “Saya tidak tahu pasti, mungkin hanya Rusia atau Sukhoi saja yang pakai frekuensi lama,” terangnya.

Bukan tanpa alasan Gagah menyebut demikian. Saat ini, maskapai penerbangan rata-rata menggunakan pesawat dari pabrikan Eropa dan Amerika. Nah, dua benua tersebut sepakat untuk sama-sama menggunakan frekuensi 406 MHz. Dia yakin betul frekuensi tersebut dianut oleh beberapa negara lain mengingat dominasi pesawat Eropa dan Amerika di dunia.

Black Box Belum Ditemukan

Di luar itu, Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Daryatmo menyampaikan kalau tim SAR gabungan telah mendekati bangkai ekor SSJ 100. Seperti diberitakan sebelumnya, ekor tersebut berada di dasar jurang sedalam 500 meter dan diprediksi banyak jenazah korban. “Cuaca dan medan masih jadi kendali, tapi kami sudah dekat di ekor pesawat,” urainya.

Untuk black box, Daryatmo mengatakan belum ada di tangan tim pencari. Benda yang di duga black box sebelumnya ternyata hanya ELT, GPS dan alat komunikasi lainnya. Jadinya, pencarian masih terus dilakukan dan asumsi black box ada diantara ekor pesawat tidak berubah.

Skenario untuk pencarian hari ini tidak berubah. Tetap kombinasi SAR udara dan SAR darat. Begitu juga dengan pola evakuasi, kalau malam hari ditemukan akan dibawa ke Jakarta melalui jalan darat atau menunggu keesokan paginya. “Ada belasan helicopter dilokasi, kalau tidak bisa diatur bisa muncul persoalan baru,” tegasnya.

Identifikasi Jenazah akan Lama

Sementara itu, pengumuman hasil identifikasi jenazah korban Sukhoi tampaknya bakal berlangsung lama. Tim Disaster Victim Identification (DVI) Mabes Polri mengaku akan mengumumkan identitas ke-45 jenazah secara bersamaan, tidak satu persatu. Menurut Kepala Rumah Sakit Polri Dr. Soekanto, Brigjen Pol Agus Prayitno, cara tersebut dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam proses pendistribusian jenazah kepada pihak keluarga.

“Kita umumkan bersamaan juga agar bagian tubuh korban yang diserahkan sudah utuh dan tidak ada yang kurang. Memang butuh waktu lama, karena itu kita minta pihak keluarga untuk bersabar,”jelasnya di Gedung RS Polri, kemarin.

Agus menuturkan, estimasi waktu identifikasi jenazah sekitar dua minggu. Prediksi tersebut bisa meleset. Namun, dia mengungkapkan pihaknya terus berupaya bergerak cepat dalam melakukan proses identifikasi. “Setiap kali kita menerima kantong jenazah, langsung kita kerjakan,”jelasnya.

Hingga kemarin, lanjut dia, sudah ada 25 kantong jenazah yang masuk ke RS Polri. Rinciannya, 21 kantong berisi potongan tubuh korban (body parts), sementara sisanya berisi property milik korban. “Tim DVI sudah lakukan pemeriksaan terhadap 22 kantong jenazah. Tadi pagi, datang lagi tiga kantong jenazah dan saat ini dilakukan pemeriksaan post morthem. Saat ini laboratorium DNA kita sudah running, tujuannya agar segera bisa dicocokkan dengan DNA dari body parts yang diperoleh,”ujarnya.

Direktur Eksekutif Disaster Victim Identification (DIV) Polri, Kombes Pol Dr Anton Castilani menambahkan, proses identifikasi korban memang tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru. Sebab, hal tersebut membutuhkan tingkat ketelitian yang tinggi. Apalagi, nantinya tim DVI harus merekonstruksi kembali potongan-potongan tubuh jenazah hingga menjadi kesatuan yang utuh. “Mohon pihak keluarga bersabar, kita berusaha tidak ada sepotong kecil dari bagian tubuh korban yang tidak sampai pada keluarga yang benar,”kata Anton.

Kadis Penum Mabes Polri Boy Rafli Amar mengatakan, sampai kemarin, tim DVI masih menunggu proses evakuasi yang belum tuntas. Dia meyakini, masih akan datang lagi potongan-potongan tubuh yang dievakuasi dari lokasi jatuhnya pesawat (crash site). “Potongan-potongan tubuh yang sudah kita terima, sifatnya masih parsial, padahal kita harus mendapatkan gambaran secara utuh untuk memperoleh identitas korban. Kita menggunakan pemeriksaan DNA karena tingkat akurasinya paling tinggi,”ungkapnya. (dim/fal/ken/jpnn)

Tidak Terdeteksi Radar, Bikin Lama Pencarian

JAKARTA-Klaim Sukhoi Civil Aircraft Corporation, perusahaan yang membangun Sukhoi Super Jet (SSJ) 100 bahwa pesawatnya menggunakan teknologi terkini patut dipertanyakan. Buktinya Emergeny Locator Transmitter (ELT) pesawat nahas tersebut menggunakan frekuensi lama. Akibatnya jelas, pesawat tersebut jadi lebih lama ditemukan.

Kepastian itu disampaikan oleh Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi usai mengevakuasi alat tersebut dari jurang jatuhnya SSJ 100. Setelah di cek, ternyata ELT tersebut masih menggunakan model lama dengan frekuensi di kanal 121.5, 203 MHz sedangkan yang terbaru frekuensinya berjalan di 121.5, 203 MHz.

“Padahal, Indonesia sudah pakai frekuensi terbaru,” ujar Tatang. Perbedaan frekuensi itulah yang membuat alat tersebut lantas tidak berfungsi dengan baik. Terlebih, posisi jatuhnya bangkai pesawat di dalam jurang membuat sinyal di frekuensi lama tidak bisa keluar.

Itulah kenapa saat menerima kabar SSJ 100 hilang kontak tim pencari tidak bisa segera menemukan bangkai pesawat. Pola pencarian dilakukan dengan cara yang lebih luas, yakni menyisir lokasi disekitar kontak terakhir dengan ATC Atang Sandjaja. Basarnas saat itu juga heran kenapa ELT tidak terdeteksi.
Bahkan, juru bicara Basarnas Gagah Prakoso mengungkapkan tidak hanya satelit Indonesia yang gagal menangkap frekuensi SSJ 100. Dua satelit milik negara tetangga yakni Singapura dan Australia yang menjadi backup satelit Indonesia juga bernasib sama. Idealnya, begitu kecelakaan terjadi pesawat langsung memancarkan ELT.

Dia tidak tahu pasti kenapa pabrikan Sukhoi memasang alat tersebut. Kalaupun alat tersebut merupakan standar pabrikan, terbukti tidak bisa berfungsi baik di Indonesia. Namun, untuk lengkapnya Tatang akan membawa ELT tersebut ke markas KNKT. “Akan kami selidiki lebih lanjut ELT tersebut,” imbuhnya.

Anggota Komisi I DPR Roy Suryo yang ikut ke Posko Cijeruk, Bogor berharap agar fakta itu segera ditindaklanjuti pabrikan Sukhoi. Artinya, kalau serius membuka pasar di Indonesia harusnya peralatan menyesuaikan juga. “Harus jadi koreksi kalau pesawat itu masih dipasarkan,” katanya.
Lebih lanjut dia menjelaskan kalau ELT dulunya bernama ELBA (emergency located beacon aircraft). Alat tersebut disebutnya sudah jadi standar penerbangan sipil. Alat tersebut akan bekerja otomatis saat pesawat jatuh dengan tekanan tinggi. Dengan begitu, tim pencari bisa melakukan pencarian dengan lebih mudah dan cepat.

Saat ini, lanjut Roy, terdapat tiga jenis ELT. Yakni, ELT untuk pendaki gunung, kapal laut, dan pesawat terbang. Dinamisnya dunia penerbangan juga mempengaruhi penggunaan frekuensi tersebut, kalau memaksa di 12.5 VHF yang jenis pancarannya line off sight atau lurus tidak bisa menembus gunung.
Lebih jelas lagi juru bicara Basarnas Gagah Prakoso mengatakan kalau frekuensi di pesawat Sukhoi sudah sangat lama ditinggalkan Indonesia. Frekuensi tersebut pernah dipakai penerbangan Indonesia pada tahun 1980-an. “Akhirnya, regulasi pada 2009 menegaskan semua frekuensi ELT beralih ke 406 MHz,” tuturnya.

Dia lantas menjelaskan bagaimana proses penyampaian titik kordinat melalui ELT ke radar milik Basarnas. Cukup sederhana sebenarnya, saat pesawat mengalami musibah ELT lantas terpancar. Satelit menangkap sinyal tersebut dan diteruskan ke radar. “Di Bumi, satelit mengirimkan data dalam bentuk koordinat,” jelasnya.

Dari titik koordinat itulah lantas di set ke Global Positioning System (GPS) untuk membaca lokasi. Begitu GPS menunjukkan kemana arah yang harus diambil, tim pencari mulai bergerak ke lokasi. Namun, proses tersebut tidak terjadi di ELT milik Sukhoi. “Saya tidak tahu pasti, mungkin hanya Rusia atau Sukhoi saja yang pakai frekuensi lama,” terangnya.

Bukan tanpa alasan Gagah menyebut demikian. Saat ini, maskapai penerbangan rata-rata menggunakan pesawat dari pabrikan Eropa dan Amerika. Nah, dua benua tersebut sepakat untuk sama-sama menggunakan frekuensi 406 MHz. Dia yakin betul frekuensi tersebut dianut oleh beberapa negara lain mengingat dominasi pesawat Eropa dan Amerika di dunia.

Black Box Belum Ditemukan

Di luar itu, Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Daryatmo menyampaikan kalau tim SAR gabungan telah mendekati bangkai ekor SSJ 100. Seperti diberitakan sebelumnya, ekor tersebut berada di dasar jurang sedalam 500 meter dan diprediksi banyak jenazah korban. “Cuaca dan medan masih jadi kendali, tapi kami sudah dekat di ekor pesawat,” urainya.

Untuk black box, Daryatmo mengatakan belum ada di tangan tim pencari. Benda yang di duga black box sebelumnya ternyata hanya ELT, GPS dan alat komunikasi lainnya. Jadinya, pencarian masih terus dilakukan dan asumsi black box ada diantara ekor pesawat tidak berubah.

Skenario untuk pencarian hari ini tidak berubah. Tetap kombinasi SAR udara dan SAR darat. Begitu juga dengan pola evakuasi, kalau malam hari ditemukan akan dibawa ke Jakarta melalui jalan darat atau menunggu keesokan paginya. “Ada belasan helicopter dilokasi, kalau tidak bisa diatur bisa muncul persoalan baru,” tegasnya.

Identifikasi Jenazah akan Lama

Sementara itu, pengumuman hasil identifikasi jenazah korban Sukhoi tampaknya bakal berlangsung lama. Tim Disaster Victim Identification (DVI) Mabes Polri mengaku akan mengumumkan identitas ke-45 jenazah secara bersamaan, tidak satu persatu. Menurut Kepala Rumah Sakit Polri Dr. Soekanto, Brigjen Pol Agus Prayitno, cara tersebut dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam proses pendistribusian jenazah kepada pihak keluarga.

“Kita umumkan bersamaan juga agar bagian tubuh korban yang diserahkan sudah utuh dan tidak ada yang kurang. Memang butuh waktu lama, karena itu kita minta pihak keluarga untuk bersabar,”jelasnya di Gedung RS Polri, kemarin.

Agus menuturkan, estimasi waktu identifikasi jenazah sekitar dua minggu. Prediksi tersebut bisa meleset. Namun, dia mengungkapkan pihaknya terus berupaya bergerak cepat dalam melakukan proses identifikasi. “Setiap kali kita menerima kantong jenazah, langsung kita kerjakan,”jelasnya.

Hingga kemarin, lanjut dia, sudah ada 25 kantong jenazah yang masuk ke RS Polri. Rinciannya, 21 kantong berisi potongan tubuh korban (body parts), sementara sisanya berisi property milik korban. “Tim DVI sudah lakukan pemeriksaan terhadap 22 kantong jenazah. Tadi pagi, datang lagi tiga kantong jenazah dan saat ini dilakukan pemeriksaan post morthem. Saat ini laboratorium DNA kita sudah running, tujuannya agar segera bisa dicocokkan dengan DNA dari body parts yang diperoleh,”ujarnya.

Direktur Eksekutif Disaster Victim Identification (DIV) Polri, Kombes Pol Dr Anton Castilani menambahkan, proses identifikasi korban memang tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru. Sebab, hal tersebut membutuhkan tingkat ketelitian yang tinggi. Apalagi, nantinya tim DVI harus merekonstruksi kembali potongan-potongan tubuh jenazah hingga menjadi kesatuan yang utuh. “Mohon pihak keluarga bersabar, kita berusaha tidak ada sepotong kecil dari bagian tubuh korban yang tidak sampai pada keluarga yang benar,”kata Anton.

Kadis Penum Mabes Polri Boy Rafli Amar mengatakan, sampai kemarin, tim DVI masih menunggu proses evakuasi yang belum tuntas. Dia meyakini, masih akan datang lagi potongan-potongan tubuh yang dievakuasi dari lokasi jatuhnya pesawat (crash site). “Potongan-potongan tubuh yang sudah kita terima, sifatnya masih parsial, padahal kita harus mendapatkan gambaran secara utuh untuk memperoleh identitas korban. Kita menggunakan pemeriksaan DNA karena tingkat akurasinya paling tinggi,”ungkapnya. (dim/fal/ken/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/