31.7 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Epidemiolog Nilai Tak Perlu Deklarasi Selesai Pandemi, BPJS Kesehatan akan Biayai Pasien Covid-19

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Rencana mengumumkan masa transisi pandemi Covid-19 oleh Presiden Joko Widodo pada akhir Juni nanti, mendapat berbagai respon. Epidemiolog menilai, pengumuman tersebut tidak mengubah sesuatu yang signifikan. Sementara Kementerian Kesehatan menyatakan, telah melakukan kajian mendalam terkait rencana ini.

Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane kemarin (15/6), menyatakan bahwa sebenarnya tidak terlalu perlu pencabutan status pandemic oleh negara. Sebab setelah WHO mencabut status Public Health Emergency for International Concern (PHEIC) pada 5 Mei lalu, maka seluruh dunia sudah tidak lagi dalam kondisi emergensi Covid-19. Banyak negara juga telah mencabut status pandemi di wilayahnya.

Masdalina berpendapat setelah status PHEIC dicabut oleh WHO sebagai otoritas yang berwenang, maka negara tidak terlalu penting untuk mencabut status pandemi di wilayahnya. Menurutnya cukup statemen tunggal dari WHO saja yang menerangkan soal kegawatan Covid-19. Apalagi menurut catatan Masdalina, Jokowi tidak pernah mengumumkan kapan mulai pandemi Covid-19 di Indonesia. “Toh Presiden hanya menyatakan kasus pertama saja di 2 maret 2020 dan tidak menyatakan Indonesia pandemi,” katanya.

Jika status kedaruratan ini dicabut, maka konsekuensinya adalah kita kembali pada kondisi normal sebelum PHEIC ditetapkan. Berbagai regulasi terkait kedaruratan termasuk Public Health Social Measure tidak berlaku lagi. “Tetapi indikator-indikator pengendalian masih relevan untuk digunakan sebagai sinyal untuk komunikasi risiko jika terjadi peningkatan kasus karena mutasi atau penyakit baru,” katanya.

Masdalina juga mengingatkan bahwa endemi menurut istilah epidemiologi juga termasuk apidemi atau wabah. Sementara pandemic merupakan wabah pada wilayah yang luas. Sementara endemi itu wabah pada waktu yang panjang. “Tapi ketiganya adalah wabah,” katanya.

Apa setelah status kedaruratan dicabut masyarakat harus tetap waspada? Dia dengan pasti menjawab masyarakat tetap harus waspada. Sebab masih ada ancaman penyakit lain. Mungkin juga terjadi pandemic di waktu yang akan datang. “Pemerintah terus melakukan pengawasan berbagai penyakit berpotensi wabah dan memberikan komunikasi risiko secara berkala ke masyarakat terkait dinamika penyakit wabah,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan kementeriannya telah melakukan kajian terkait kondisi Covid-19. Termasuk juga pembahasan dengan para ahli. “Sudah dilaporkan kepada Presiden,” katanya.

Lalu bagaimana kondisi rumah sakit sekarang apakah masih tersedia ruang rawat untuk Covid-19? Nadia mengatakan sampai saat ini masih ada ruang khusus Covid-19. Hanya saja, porsi antara untuk pasien Covid-19 dan non-Covid-19 berbeda. “Yang semula ICU dikhususkan untuk Covid-19, kini untuk penyakit lainnya juga,” katanya.

Setelah Jokowi mengumumkan akhir pandemic Covid-19 di Indonesia, yang dikhawatirkan adalah soal pembiayaan kesehatan. Selama ini jika seseorang terbukti terinfeksi Covid-19, dia akan diberikan obat oleh Kementerian Kesehatan. Vaksinasi hingga suntikan keempat juga gratis. Fasilitas ini yang dikhawatirkan akan hilang. Namun, apakah ada kemungkinan pembiayaan Covid-19 masuk klaim BPJS Kesehatan? Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan lembaganya siap untuk membiayai peserta BPJS Kesehatan yang terkena Covid-19.”Untuk peserta yang terkena Covid-19 akan diklaim ke BPJS,” katanya.

Sementara itu, Menurut Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Tjandra Yoga Aditama, peralihan dari pandemi ke endemi Covid-19 telah dilakukan oleh banyak negara di dunia. Sehingga, posisinya sama seperti penyakit menular lainnya.

Menurutnya, ada tiga hal yang perlu dilakukan masyarakat untuk antisipasi kebijakan pemerintah tentang Covid-19 sebagai endemi. Pertama, masyarakat perlu mengetahui apa yang masih tetap perlu dilakukan meski telah berganti endemi. Misalnya, terkait tidak diwajibkannya lagi penggunaan masker di transportasi umum dan ruang publik.

Dengan kondisi ini, kata dia, masyarakat perlu tahu adanya risiko tertular penyakit yang menular lewat udara ketika tak menggunakan masker dalam ruangan. Karenanya, baiknya tetap menggunakan masker. Lalu, bagi yang sedang sakit di saluran pernapasan jenis apapun, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara juga menyarankan untuk tetap menggunakan masker. Supaya, tidak menulari orang lain. “Kalau daerah kita sedang polusi udara berat maka baik juga pakai masker,” katanya.

Selain masker, cuci tangan tentu harus tetap dilakukan. Ini salah satu upaya jitu dalam mencegah penularan berbagai penyakit.

Kedua, vaksinasi booster kedua harus diselesaikan sebagai langkah antisipasi. Tjandra mengungkapkan, upaya ini bisa tetap dilakukan sambil menunggu perkembangan ilmu selanjutnya untuk tahu apakah vaksin masih diperlukan atau ada temuan ilmiah lainnya. Maka dari itu, dia menyarankan, agar vaksin Covid-19 tetap digratiskan.

Ketiga, pola hidup bersih dan sehat, termasuk kebiasaan CERDIK (cek kesehatan secara berkala, enyahkan asap rokok, rajin beraktivitas fisik, diet yang sehat dan seimbang, istirahat yang cukup, dan kelola stress). Tjandra menegaskan, bahwa pola hidup sehat yang sudah dijalani saat pandemi jadi modal penting untuk hidup lebih sehat di hari-hari mendatang.

Selain itu, pemerintah juga diharapkan agar surveilan Covid-19 terus dijalankan, baik pendeteksi kasus dan kematian maupun surveilans biomolekuler genomic. Agar, Indonesia bisa segera mendeteksi adanya varian baru. “Penelitan dan pengembangan ilmu pengetahuan kedokteran dan kesehatan di bidang Covid-19 juga perlu terus didukung pemerintah,” pungkasnya. (mia/lyn/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Rencana mengumumkan masa transisi pandemi Covid-19 oleh Presiden Joko Widodo pada akhir Juni nanti, mendapat berbagai respon. Epidemiolog menilai, pengumuman tersebut tidak mengubah sesuatu yang signifikan. Sementara Kementerian Kesehatan menyatakan, telah melakukan kajian mendalam terkait rencana ini.

Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane kemarin (15/6), menyatakan bahwa sebenarnya tidak terlalu perlu pencabutan status pandemic oleh negara. Sebab setelah WHO mencabut status Public Health Emergency for International Concern (PHEIC) pada 5 Mei lalu, maka seluruh dunia sudah tidak lagi dalam kondisi emergensi Covid-19. Banyak negara juga telah mencabut status pandemi di wilayahnya.

Masdalina berpendapat setelah status PHEIC dicabut oleh WHO sebagai otoritas yang berwenang, maka negara tidak terlalu penting untuk mencabut status pandemi di wilayahnya. Menurutnya cukup statemen tunggal dari WHO saja yang menerangkan soal kegawatan Covid-19. Apalagi menurut catatan Masdalina, Jokowi tidak pernah mengumumkan kapan mulai pandemi Covid-19 di Indonesia. “Toh Presiden hanya menyatakan kasus pertama saja di 2 maret 2020 dan tidak menyatakan Indonesia pandemi,” katanya.

Jika status kedaruratan ini dicabut, maka konsekuensinya adalah kita kembali pada kondisi normal sebelum PHEIC ditetapkan. Berbagai regulasi terkait kedaruratan termasuk Public Health Social Measure tidak berlaku lagi. “Tetapi indikator-indikator pengendalian masih relevan untuk digunakan sebagai sinyal untuk komunikasi risiko jika terjadi peningkatan kasus karena mutasi atau penyakit baru,” katanya.

Masdalina juga mengingatkan bahwa endemi menurut istilah epidemiologi juga termasuk apidemi atau wabah. Sementara pandemic merupakan wabah pada wilayah yang luas. Sementara endemi itu wabah pada waktu yang panjang. “Tapi ketiganya adalah wabah,” katanya.

Apa setelah status kedaruratan dicabut masyarakat harus tetap waspada? Dia dengan pasti menjawab masyarakat tetap harus waspada. Sebab masih ada ancaman penyakit lain. Mungkin juga terjadi pandemic di waktu yang akan datang. “Pemerintah terus melakukan pengawasan berbagai penyakit berpotensi wabah dan memberikan komunikasi risiko secara berkala ke masyarakat terkait dinamika penyakit wabah,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan kementeriannya telah melakukan kajian terkait kondisi Covid-19. Termasuk juga pembahasan dengan para ahli. “Sudah dilaporkan kepada Presiden,” katanya.

Lalu bagaimana kondisi rumah sakit sekarang apakah masih tersedia ruang rawat untuk Covid-19? Nadia mengatakan sampai saat ini masih ada ruang khusus Covid-19. Hanya saja, porsi antara untuk pasien Covid-19 dan non-Covid-19 berbeda. “Yang semula ICU dikhususkan untuk Covid-19, kini untuk penyakit lainnya juga,” katanya.

Setelah Jokowi mengumumkan akhir pandemic Covid-19 di Indonesia, yang dikhawatirkan adalah soal pembiayaan kesehatan. Selama ini jika seseorang terbukti terinfeksi Covid-19, dia akan diberikan obat oleh Kementerian Kesehatan. Vaksinasi hingga suntikan keempat juga gratis. Fasilitas ini yang dikhawatirkan akan hilang. Namun, apakah ada kemungkinan pembiayaan Covid-19 masuk klaim BPJS Kesehatan? Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan lembaganya siap untuk membiayai peserta BPJS Kesehatan yang terkena Covid-19.”Untuk peserta yang terkena Covid-19 akan diklaim ke BPJS,” katanya.

Sementara itu, Menurut Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Tjandra Yoga Aditama, peralihan dari pandemi ke endemi Covid-19 telah dilakukan oleh banyak negara di dunia. Sehingga, posisinya sama seperti penyakit menular lainnya.

Menurutnya, ada tiga hal yang perlu dilakukan masyarakat untuk antisipasi kebijakan pemerintah tentang Covid-19 sebagai endemi. Pertama, masyarakat perlu mengetahui apa yang masih tetap perlu dilakukan meski telah berganti endemi. Misalnya, terkait tidak diwajibkannya lagi penggunaan masker di transportasi umum dan ruang publik.

Dengan kondisi ini, kata dia, masyarakat perlu tahu adanya risiko tertular penyakit yang menular lewat udara ketika tak menggunakan masker dalam ruangan. Karenanya, baiknya tetap menggunakan masker. Lalu, bagi yang sedang sakit di saluran pernapasan jenis apapun, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara juga menyarankan untuk tetap menggunakan masker. Supaya, tidak menulari orang lain. “Kalau daerah kita sedang polusi udara berat maka baik juga pakai masker,” katanya.

Selain masker, cuci tangan tentu harus tetap dilakukan. Ini salah satu upaya jitu dalam mencegah penularan berbagai penyakit.

Kedua, vaksinasi booster kedua harus diselesaikan sebagai langkah antisipasi. Tjandra mengungkapkan, upaya ini bisa tetap dilakukan sambil menunggu perkembangan ilmu selanjutnya untuk tahu apakah vaksin masih diperlukan atau ada temuan ilmiah lainnya. Maka dari itu, dia menyarankan, agar vaksin Covid-19 tetap digratiskan.

Ketiga, pola hidup bersih dan sehat, termasuk kebiasaan CERDIK (cek kesehatan secara berkala, enyahkan asap rokok, rajin beraktivitas fisik, diet yang sehat dan seimbang, istirahat yang cukup, dan kelola stress). Tjandra menegaskan, bahwa pola hidup sehat yang sudah dijalani saat pandemi jadi modal penting untuk hidup lebih sehat di hari-hari mendatang.

Selain itu, pemerintah juga diharapkan agar surveilan Covid-19 terus dijalankan, baik pendeteksi kasus dan kematian maupun surveilans biomolekuler genomic. Agar, Indonesia bisa segera mendeteksi adanya varian baru. “Penelitan dan pengembangan ilmu pengetahuan kedokteran dan kesehatan di bidang Covid-19 juga perlu terus didukung pemerintah,” pungkasnya. (mia/lyn/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/