29 C
Medan
Sunday, December 8, 2024
spot_img

Prabowo Menang Konsep, Jokowi Terlalu Mikro

Debat Capres Minggu (15/06) dipimpin oleh Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika.
Debat Capres Minggu (15/06) dipimpin oleh Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mengevaluasi debat dua calon presiden yang digelar Komisi Pemilihan Umum, Minggu (15/6), di Jakarta. Lembaga kajian perekonomian independen itu merasa tidak puas, lantaran masing-masing capres memberikan jawaban mengawang-awang. Kendati demikian, dalam hal konsep makro, Prabowo dinilai lebih unggul.

Calon presiden nomor urut satu itu menyinggung kebijakan menggerakkan sektor riil dan berani bersikap tegas dalam mengatasi kebocoran setoran negara dari kontrak-kontrak penjualan hasil migas.

Hal tersebut disampaikan Direktur Indef Enny Sri Hartati. Dia melihat, baik Prabowo Subianto dan Joko Widodo lebih pada mempertegas dan mengulang gagasan yang sudah dipaparkan di visi misi tertulis.

Keduanya dinilai cari aman, dengan tidak mau membahas isu-isu ‘sulit’ seperti strategi menggenjot penerimaan pajak, mengelola keseimbangan fiskal di era otonomi, serta menumbuhkan investasi.

Kendati demikian, Enny melihat ada sedikit keunggulan di pihak Prabowo. “Dari seluruh isu perekonomian, menurut Indef ini sedikit terjawab dengan penjelasan Pak Prabowo. Dia bilang akan mendorong sektor-sektor riil. Bagaimanapun, secara obyektif jika dilihat, Pak Prabowo lebih komprehensif dibandingkan Pak Jokowi karena ada konsep dan target yang diinginkan,” kata Enny.

Salah satu penjelasan yang riil oleh Prabowo adalah janji untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Janji yang tegas inilah yang bisa jadi merebut hati pemilih mengambang (swing voters) yang jumlahnya sekitar 30 persen dari total pemilih.

“Dia janji akan mampu membuka sawah baru dari hutan yang rusak dapat menyerap 24 juta lapangan kerja selama lima tahun ke depan. Ini menarik dan kongkret,” kata dia.

Tapi memang, Enny meyakini kebijakan Prabowo yang unggul dari segi konsep masih rentan dikritik. “Kita tahu itu masih konsep. Itu kan akan. Target-target yang disampaikan terlalu optimistis,” kata doktor dari IPB ini.

Di sisi lain, Enny juga mengapresiasi Jokowi, sang calon nomor urut dua, yang berhasil menjual pengalaman sebagai pengusaha. Sayangnya, kata dia, Jokowi tidak bisa mengkolaborasi semua gagasannya dalam kerangka besar mendorong kemajuan ekonomi Indonesia.

“Jokowi masih terlalu mikro. Pak Jokowi ingin mengeksploitasi kemampuan eksekusi kebijakan dan contoh-contoh kongkret yang selalu jadi marketing selama ini. Karena itu, dari timses Jokowi yang harus dievaluasi jangan terus mengulang kaset yang sama, seperti berkaitan dengan kartu indonesia sehat yang jelas sudah pernah dilakukan di Jakarta,” kata Enny. Sebagai calon presiden, Jokowi wajib menjawab tantangan global.

Enny khawatir pemilih dari kalangan terdidik serta dunia usaha mempertanyakan kapabilitasnya menghadapi perkembangan tata ekonomi dunia. “Yang kita hadapi ke depan tidak hanya persoalan remeh seperti pemberian kartu sehat, tapi juga persoalan pertumbuhan ekonomi, Masyarakat Ekonomi ASEAN, perjanjian kita dengan WTO, dan ini memerlukan konsep pembangunan yang lebih luas,” tandasnya.(mdc/ril)

Debat Capres Minggu (15/06) dipimpin oleh Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika.
Debat Capres Minggu (15/06) dipimpin oleh Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mengevaluasi debat dua calon presiden yang digelar Komisi Pemilihan Umum, Minggu (15/6), di Jakarta. Lembaga kajian perekonomian independen itu merasa tidak puas, lantaran masing-masing capres memberikan jawaban mengawang-awang. Kendati demikian, dalam hal konsep makro, Prabowo dinilai lebih unggul.

Calon presiden nomor urut satu itu menyinggung kebijakan menggerakkan sektor riil dan berani bersikap tegas dalam mengatasi kebocoran setoran negara dari kontrak-kontrak penjualan hasil migas.

Hal tersebut disampaikan Direktur Indef Enny Sri Hartati. Dia melihat, baik Prabowo Subianto dan Joko Widodo lebih pada mempertegas dan mengulang gagasan yang sudah dipaparkan di visi misi tertulis.

Keduanya dinilai cari aman, dengan tidak mau membahas isu-isu ‘sulit’ seperti strategi menggenjot penerimaan pajak, mengelola keseimbangan fiskal di era otonomi, serta menumbuhkan investasi.

Kendati demikian, Enny melihat ada sedikit keunggulan di pihak Prabowo. “Dari seluruh isu perekonomian, menurut Indef ini sedikit terjawab dengan penjelasan Pak Prabowo. Dia bilang akan mendorong sektor-sektor riil. Bagaimanapun, secara obyektif jika dilihat, Pak Prabowo lebih komprehensif dibandingkan Pak Jokowi karena ada konsep dan target yang diinginkan,” kata Enny.

Salah satu penjelasan yang riil oleh Prabowo adalah janji untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Janji yang tegas inilah yang bisa jadi merebut hati pemilih mengambang (swing voters) yang jumlahnya sekitar 30 persen dari total pemilih.

“Dia janji akan mampu membuka sawah baru dari hutan yang rusak dapat menyerap 24 juta lapangan kerja selama lima tahun ke depan. Ini menarik dan kongkret,” kata dia.

Tapi memang, Enny meyakini kebijakan Prabowo yang unggul dari segi konsep masih rentan dikritik. “Kita tahu itu masih konsep. Itu kan akan. Target-target yang disampaikan terlalu optimistis,” kata doktor dari IPB ini.

Di sisi lain, Enny juga mengapresiasi Jokowi, sang calon nomor urut dua, yang berhasil menjual pengalaman sebagai pengusaha. Sayangnya, kata dia, Jokowi tidak bisa mengkolaborasi semua gagasannya dalam kerangka besar mendorong kemajuan ekonomi Indonesia.

“Jokowi masih terlalu mikro. Pak Jokowi ingin mengeksploitasi kemampuan eksekusi kebijakan dan contoh-contoh kongkret yang selalu jadi marketing selama ini. Karena itu, dari timses Jokowi yang harus dievaluasi jangan terus mengulang kaset yang sama, seperti berkaitan dengan kartu indonesia sehat yang jelas sudah pernah dilakukan di Jakarta,” kata Enny. Sebagai calon presiden, Jokowi wajib menjawab tantangan global.

Enny khawatir pemilih dari kalangan terdidik serta dunia usaha mempertanyakan kapabilitasnya menghadapi perkembangan tata ekonomi dunia. “Yang kita hadapi ke depan tidak hanya persoalan remeh seperti pemberian kartu sehat, tapi juga persoalan pertumbuhan ekonomi, Masyarakat Ekonomi ASEAN, perjanjian kita dengan WTO, dan ini memerlukan konsep pembangunan yang lebih luas,” tandasnya.(mdc/ril)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/