Ia juga menjelaskan, ada kebijakan Perpres Nomor 191/2014. Pertamina diperintahkan untuk menyalurkan sebanyak 12,5 juta kiloliter beberapa jenis BBM, di antaranya premiun bersubsidi. Dengan kondisi keuangan sangat kritis, premium per liternya Rp6.450. Namun harga jual, di luar Jawa, Bali, Madura, harga ekonominya Rp8 ribuan per liter. “Kebijakan ini, dulunya dibebankan oleh APBN. Namun, sekarang tidak dibebankan sesuai dengan Permen ESDM No 36/2016. Dengan hitungan bersama, bisa tanggung subsidinya oleh pemerintah mencapai ratusan triliun,” jelasnya.
Dengan kondisi ini, menurut Sutrisno, Pertamina tidak sanggup untuk membeli minyak mentah dan produk jadi lagi. Ia menyesalkan sikap kebijakan pemerintah untuk melego atau menjual aset Pertagas kepada PGN. Namun, PGN sahamnya 43 persen milik asing. “50 persen saham kita dihargai dengan Rp16,6 triliun, korporasi harus mengambil. Karena ini program sinergi pemerintah. Semua kita pekerja dan elemen masyarakat, kenapa dibuat berdarah-darah seperti ini? Harga minya tidak naik, tapi kita disuruh jual aset kita kepada perusahaan lebih kecil dari pemerintah dan di situ ada saham asing,” kesalnya.
Jadi, Sutrisno menilai, ada privasi bisnis migas Indonesia melalui penjualan aset-aset Pertamina. Apa lagi, ia menyebutkan ada penyelamatan krisis keuangan Pertamina dari 13 blok minyak di Tanah Air, yang berakhir kontraknya dengan pihak asing. “Termasuk Blok Rokan dengan kapasitas produksi 220.000 BOPD yang berakhir kontrak kerja samanya 2021. Namun, semua akan dilego (dijual). Kemudian, ada kebijakan dari Menteri BUMN, segera dipisahkan secepatnya kilang-kilang minyak yang ada dari Pertamina untuk di swastakan, dan bekerja sama dengan pihak asing. Mau jadi apa negara kita ini? Aset-asetnya dijual ke pihak asing, termasuk Pertamina 100 persen saham milik Indonesia. Kita harus menjaga itu,” harap Sutrisno.
Sutrisno mengatakan, jika kebijakan penjualan aset-aset tetap dilakukan pemerintah, FSPBB mengancam akan melakukan mogok operasi secara nasional. Namun itu adalah langkah terakhir dilakukan. “Hentikan penjualan aset Pertamina, atau kami menghentikan operasi Pertamina,” tegasnya.
Terpisah, Unit Manager Communication and CSR Pertamina MOR I, Rudi Ariffianto mengatakan, FSPPB merupakan serikat pekerja independen yang ada di Pertamina. Untuk melakukan aksi, ia mengungkapkan itu hak dari FSPPB. “Upaya-upaya untuk perbaikan Pertamina ke depan berbentuk aspirasi boleh-boleh saja,” katanya.
Rudi enggan berkomentar persoalan krisis keuangan Pertamina hingga penjualan aset. Dengan alasan wewenang menjawab adalah pemerintah pusat. “Kalau kami sifatnya cuma opersional saja,” pungkasnya. (gus/saz)