30.1 C
Medan
Tuesday, June 25, 2024

Desakan Evaluasi Sistem PPDB Terus Menguat

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) didesak untuk mengevaluasi secara menyeluruh aturan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Desakan ini agar karut marut PPDB tak terus menerus terulang kembali.

Tahun ini, geger PPDB tak hanya sekadar tak masuk kuota zonasi. Tapi, ratusan “anak” yang secara ghoib tiba-tiba masuk 

dalam kartu keluarga orang lain. Belum lagi, dugaan praktik jual beli kursi yang masih terjadi. Aksi demo pun tak terelakkan di sejumlah daerah. Meski sayangnya, respon pemerintah pusat dan daerah masih begitu-begitu saja.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai sumber kegaduhan PPDB adalah pada regulasinya sendiri. Yaitu Permendikbud No 1 tahun 2021. “Aturan ini ditafsirkan secara beragam oleh masing-masing pemerintah daerah,” katanya.

Akibatnya di sejumlah daerah, pelaksanaan PPDB menimbulkan polemic. Mulai dari acuan penerapan seleksi berdasarkan usia. Kemudian jalur prestasi yang tidak jelas parameternya dan manipulasi alamat sehingga masuk dalam radius zonasi sekolah negeri.

Ubaid mengatakan, dari Permendikbud 1/2021 tersebut, melahirkan aturan di daerah yang saling bertabrakan. Sehingga masyarakat menjadi gaduh. “Bila kegaduhan di satu atau dua daerah saja, itu yang bermasalah aturan pemdanya. Tetapi ini yang gaduh di banyak daerah,” jelasnya.

Selain itu Ubaid juga mengkritisi pelaksanaan PPDB yang tidak pernah diaudit. Meskipun banyak masyarakat yang dirugikan atau menjadi korban, Kemendikbudristek sama sekali tidak pernah merevisi peraturan tadi. Dia menegaskan sistem seleksi dalam PPDB harusnya menghilangkan praktik diskriminasi. Baik itu diskriminasi ekonomi atau lainnya. Tetapi ternyata diskriminasi masih saja terjadi. “Permendikbud 1/2021 harus direvisi atau bahkan diganti,” tegasnya.

Kemendikbudristek harus membuat regulasi PPDB yang mengatur sampai tataran teknis. Sehingga menutup peluang untuk munculnya banyak penafsiran dari daerah-daerah.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) pun merangkum sejumlah persoalan PPDB yang sejatinya terus berulang. Pertama, migrasi domisili melalui Kartu Keluarga calon siswa ke wilayah sekitar sekolah yang dinilai favorit oleh orang tua. Ini umumnya terjadi di wilayah yang punya sekolah unggulan. Kasus serupa pernah terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur, dan terbaru di Kota Bogor. “Modusnya dengan memasukkan atau menitipkan nama calon siswa ke KK warga sekitar,” ujar Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim.

Modus pindah KK ini, kata dia, harusnya bisa diketahui dan diantisipasi sejak awal oleh RT/RW dan Disdukcapil. Sehingga, reaksi Walikota Bogor Bima Arya di ujung proses PPDB dinilainya agak telat. Bahkan, menunjukkan Pemda tidak punya sistem deteksi sejak awal. “Apalagi kota Bogor sudah ikut PPDB sejak 2017, jadi bukan hal baru mestinya,” keluhnya.

Sayangnya, modus yang kerap dikeluhkan ini secara tidak langsung justru dibolehkan. Ada cela dari pasal 17 ayat 2, Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB yang bisa dimanfaatkan untuk pindah KK ini. Sebab, dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa domisili calon peserta didik berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB. Artinya, perpindahan alamat KK diperkenankan secara hukum maksimal 1 tahun sebelum pendaftaran PPDB.

Selain itu, fakta ini menunjukkan jika kualitas sekolah di Indonesia juga belum merata. Buktinya, para orang tua masih berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah yang dianggap lebih unggul. Padahal, tujuan awal sistem PPDB adalah pemerataan kualitas pendidikan. mulai dari kualitas sekolah, guru, sarana prasarana, kurikulum, dan standar lainnya. “Sayangnya, tujuan utama PPDB hingga sekarang belum terwujud. Tingkat kesenjangan kualitas antar sekolah negeri masih terjadi bahkan makin tinggi,” keluhnya.

Karena masih ada perebutan masuk sekolah favorit, PPDB juga sering memunculkan praktik jual beli kursi, pungli, hingga siswa “titipan” dari pejabat atau tokoh di wilayah tersebut. P2G mencatat kasus demikian terjadi di Bali, Bengkulu, Tangerang, Bandung, dan Depok. Karena sudah menyangkut pejabat daerah, biasanya panitia PPDB sekolah merasa tidak punya power untuk menolak. Sehingga praktik ini diam-diam terus terjadi. Tahun lalu, ramai aksi titipan salah satu anggota DPRD kota Bandung dalam PPDB 2022.

Ada juga praktik main mata dan saling kunci. Biasanya, oknum ormas memaksa akan membocorkan ke publik nama-nama siswa dan pejabat yang melakukan titipan. Namun, pihak ormas tersebut juga punya calon siswa yang ingin dimasukkan ke sekolah tersebut.

Praktek jual beli kursi juga terindikasi di Bengkulu dalam PPDB 2023 kali ini. Ada salah satu guru yang diduga melakukan jual beli bangku kepada calon orang tua siswa agar diterima PPDB. “Jadi selama PPDB tak hanya jalur zonasi, prestasi, afirmasi yang ada, tetapi juga ada jalur intervensi, intimidasi, dan surat sakti,” ungkap Feriansyah, Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G.

Permasalahan selanjutnya, sekolah kekurangan siswa. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal ini. Mulai dari jumlah calon siswa yang sedikit, jumlah sekolah negeri yang banyak dan berdekatan lokasinya satu sama lain, serta lokasi sekolah jauh di pelosok pedalaman atau perbatasan yang aksesnya sulit.

Dari catatan P2G, kasus ini telah terjadi di Magelang, Temanggung, Solo, Sleman, Klaten, Batang, dan Pangkal Pinang. Pada PPDB 2022, ada 21 SMP negeri di Batang kekurangan siswa. Lalu, di Jepara, dalam PPDB 2023, hingga akhir Juni tercatat 12 SMP negeri masih kekurangan siswa.

“Di Jogjakarta, ada 3 SMA negeri yang masih kekurangan siswa. Di kabupaten Semarang dalam PPDB 2023 ini, sebanyak 99 SD negeri tak dapat siswa baru sehingga guru harus mencari murid dari rumah ke rumah,” ungkapnya.

Menurutnya, persoalan kekurangan siswa ini dapat berdampak serius kepada jam mengajar guru. Mereka terancam tak menerima tunjangan profesi lantaran kekurangan jam mengajar 24 jam/seminggu seperti yang disyaratkan oleh peraturan.

Dia merekomendasikan agar pemda hendaknya melakukan merger. Sekolah-sekolah tersebut digabungkan dan diperbaiki akses infrastruktur serta transportasinya guna memudahkan menuju sekolah.

Tak hanya kasus kekurangan siswa, kasus sekolah kelebihan calon peserta didik baru pun banyak terjadi. Hal ini dikarenakan terbatasnya daya tampung. Kondisi ini kerap terjadi di wilayah perkotaan. Jumlah sekolah negeri dan daya tampung sekolah umumnya lebih sedikit ketimbang jumlah calon siswa. Sehingga jumlah kursi dan ruang kelas tidak dapat menampung semua calon peserta didik. Alhasil calon siswa terlempar meskipun di satu zona.

Melihat persoalan-persoalan yang terus berulang ini, P2G mendesak Kemdikbud Ristek meninjau ulang dan mengevaluasi total kebijakan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2017 ini. Selain itu, pihak inspektorat daerah, dinas pendidikan, dan Ombudsman juga diminta agresif melakukan monitoring, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan PPDB dan indikasi kecurangannya. “Jika terjadi dugaan pungli yang dilakukan guru, kepala sekolah, atau masyarakat hendaknya diberikan sanksi tegas, bahkan dapat diselesaikan melalui jalur hukum pidana,” pungkas Satriwan.

Desakan evaluasi ini pun juga disampaikan sejumlah anggota Komisi X DPR RI. Diantaranya, Andi Muawiyah Ramly. Politikus PKB itu menyebut, masalah PPDB baik jalur zonasi, afirmasi, dan prestasi ini terus berulang dan tak pernah selesai meski berganti menteri. Karenanya, ia meminta agar kebijakan ini dievaluasi. “Kami minta ada solusi jelas tentang ini karena kami pun sangat resah melihat demo-demo yang terjadi,” ungkapnya.

Hal yang sama disampaikan Anggota Komisi X Dede Yusuf. Ia meminta Kemendikbudristek mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan PPDB agar kecurangan-kecurangan tak terulang kembali. Bila perlu, dia mengusulkan adanya konsep baru untuk PPDB tahun depan. “Tolong Kemendikbud membuat konsep baru untuk di 2024. Zonasi sebagai hak bagi warga sekitar, tetap ada. Tapi sisanya, bisa kembali ke sekolah lagi,” katanya.

Tes ini, kata dia, tentu tetap memberi afirmasi sekian persen untuk siswa tidak mampu, disabilitas, dan berprestasi. Sehingga nantinya, tak hanya mengandalkan rapor karena rapor bisa dibesar-besarkan nilainya.

Kemendikbudristek sendiri menegaskan, PPDB menjadi kewenangan pemda. Sebab, penyelenggaraan sekolah- sekolah negeri dilakukan oleh pemda. Sehingga pengawasan atas penyelenggaraan PPDB pun jadi tanggung jawab pemda melalui inspektorat daerah.

Kendati begitu, Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang menampik tegas pihaknya cuci tangan atas persoalan yang terjadi selama PPDB. Dia mengatakan, Kemendikbudristek tetap melakukan pengawasan. Dalam hal ini, mengawasi pemda dalam penyelenggaraan pendidikan. Selain itu, memberikan sosialisasi pada dinas pendidikan mengenai ketentuan-ketentuan PPDB yang harus sesuai dengan peraturan yang ada. “Jadi bukan langsung mengawasi sekolahnya,” tuturnya.

Karenanya, Chatarina mengungkapkan, penguatan pengawasan di daerah penting dilakukan. Agar, inspektorat daerah memahami betul semua peraturan pendidikan. Termasuk, soal PPDB.

Selain itu, dia juga berharap sekolah bisa turut bantu verifikasi KK. Dengan begitu, risiko kecurangan PPDB Jalur Zonasi berupa manipulasi KK bisa berkurang. “Ada satu KK itu 10 anak, bahkan 20 anak. Seharusnya, dalam verifikasi itu dilihat oleh sekolah. Mereka memahami apa itu Kartu Keluarga,” ungkapnya.

Terkait tes, ia memilih untuk tidak mengadakan tes di PPDB, khususnya jalur prestasi. Lagi-lagi, hal ini untuk menghindari adanya manipulasi hasil tes. Menurutnya, sebagian daerah sudah melakukan tes dan banyak tidak transparan hasilnya. “Kami prefer untuk jalur prestasi itu sertifikat yang perlombaannya itu setingkat kabupaten, kota, dari lembaga-lembaga yang dianggap kredibel mengeluarkan sertifikat prestasi tersebut,” jelasnya. (mia/wan/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) didesak untuk mengevaluasi secara menyeluruh aturan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Desakan ini agar karut marut PPDB tak terus menerus terulang kembali.

Tahun ini, geger PPDB tak hanya sekadar tak masuk kuota zonasi. Tapi, ratusan “anak” yang secara ghoib tiba-tiba masuk 

dalam kartu keluarga orang lain. Belum lagi, dugaan praktik jual beli kursi yang masih terjadi. Aksi demo pun tak terelakkan di sejumlah daerah. Meski sayangnya, respon pemerintah pusat dan daerah masih begitu-begitu saja.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai sumber kegaduhan PPDB adalah pada regulasinya sendiri. Yaitu Permendikbud No 1 tahun 2021. “Aturan ini ditafsirkan secara beragam oleh masing-masing pemerintah daerah,” katanya.

Akibatnya di sejumlah daerah, pelaksanaan PPDB menimbulkan polemic. Mulai dari acuan penerapan seleksi berdasarkan usia. Kemudian jalur prestasi yang tidak jelas parameternya dan manipulasi alamat sehingga masuk dalam radius zonasi sekolah negeri.

Ubaid mengatakan, dari Permendikbud 1/2021 tersebut, melahirkan aturan di daerah yang saling bertabrakan. Sehingga masyarakat menjadi gaduh. “Bila kegaduhan di satu atau dua daerah saja, itu yang bermasalah aturan pemdanya. Tetapi ini yang gaduh di banyak daerah,” jelasnya.

Selain itu Ubaid juga mengkritisi pelaksanaan PPDB yang tidak pernah diaudit. Meskipun banyak masyarakat yang dirugikan atau menjadi korban, Kemendikbudristek sama sekali tidak pernah merevisi peraturan tadi. Dia menegaskan sistem seleksi dalam PPDB harusnya menghilangkan praktik diskriminasi. Baik itu diskriminasi ekonomi atau lainnya. Tetapi ternyata diskriminasi masih saja terjadi. “Permendikbud 1/2021 harus direvisi atau bahkan diganti,” tegasnya.

Kemendikbudristek harus membuat regulasi PPDB yang mengatur sampai tataran teknis. Sehingga menutup peluang untuk munculnya banyak penafsiran dari daerah-daerah.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) pun merangkum sejumlah persoalan PPDB yang sejatinya terus berulang. Pertama, migrasi domisili melalui Kartu Keluarga calon siswa ke wilayah sekitar sekolah yang dinilai favorit oleh orang tua. Ini umumnya terjadi di wilayah yang punya sekolah unggulan. Kasus serupa pernah terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur, dan terbaru di Kota Bogor. “Modusnya dengan memasukkan atau menitipkan nama calon siswa ke KK warga sekitar,” ujar Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim.

Modus pindah KK ini, kata dia, harusnya bisa diketahui dan diantisipasi sejak awal oleh RT/RW dan Disdukcapil. Sehingga, reaksi Walikota Bogor Bima Arya di ujung proses PPDB dinilainya agak telat. Bahkan, menunjukkan Pemda tidak punya sistem deteksi sejak awal. “Apalagi kota Bogor sudah ikut PPDB sejak 2017, jadi bukan hal baru mestinya,” keluhnya.

Sayangnya, modus yang kerap dikeluhkan ini secara tidak langsung justru dibolehkan. Ada cela dari pasal 17 ayat 2, Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB yang bisa dimanfaatkan untuk pindah KK ini. Sebab, dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa domisili calon peserta didik berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB. Artinya, perpindahan alamat KK diperkenankan secara hukum maksimal 1 tahun sebelum pendaftaran PPDB.

Selain itu, fakta ini menunjukkan jika kualitas sekolah di Indonesia juga belum merata. Buktinya, para orang tua masih berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah yang dianggap lebih unggul. Padahal, tujuan awal sistem PPDB adalah pemerataan kualitas pendidikan. mulai dari kualitas sekolah, guru, sarana prasarana, kurikulum, dan standar lainnya. “Sayangnya, tujuan utama PPDB hingga sekarang belum terwujud. Tingkat kesenjangan kualitas antar sekolah negeri masih terjadi bahkan makin tinggi,” keluhnya.

Karena masih ada perebutan masuk sekolah favorit, PPDB juga sering memunculkan praktik jual beli kursi, pungli, hingga siswa “titipan” dari pejabat atau tokoh di wilayah tersebut. P2G mencatat kasus demikian terjadi di Bali, Bengkulu, Tangerang, Bandung, dan Depok. Karena sudah menyangkut pejabat daerah, biasanya panitia PPDB sekolah merasa tidak punya power untuk menolak. Sehingga praktik ini diam-diam terus terjadi. Tahun lalu, ramai aksi titipan salah satu anggota DPRD kota Bandung dalam PPDB 2022.

Ada juga praktik main mata dan saling kunci. Biasanya, oknum ormas memaksa akan membocorkan ke publik nama-nama siswa dan pejabat yang melakukan titipan. Namun, pihak ormas tersebut juga punya calon siswa yang ingin dimasukkan ke sekolah tersebut.

Praktek jual beli kursi juga terindikasi di Bengkulu dalam PPDB 2023 kali ini. Ada salah satu guru yang diduga melakukan jual beli bangku kepada calon orang tua siswa agar diterima PPDB. “Jadi selama PPDB tak hanya jalur zonasi, prestasi, afirmasi yang ada, tetapi juga ada jalur intervensi, intimidasi, dan surat sakti,” ungkap Feriansyah, Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G.

Permasalahan selanjutnya, sekolah kekurangan siswa. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal ini. Mulai dari jumlah calon siswa yang sedikit, jumlah sekolah negeri yang banyak dan berdekatan lokasinya satu sama lain, serta lokasi sekolah jauh di pelosok pedalaman atau perbatasan yang aksesnya sulit.

Dari catatan P2G, kasus ini telah terjadi di Magelang, Temanggung, Solo, Sleman, Klaten, Batang, dan Pangkal Pinang. Pada PPDB 2022, ada 21 SMP negeri di Batang kekurangan siswa. Lalu, di Jepara, dalam PPDB 2023, hingga akhir Juni tercatat 12 SMP negeri masih kekurangan siswa.

“Di Jogjakarta, ada 3 SMA negeri yang masih kekurangan siswa. Di kabupaten Semarang dalam PPDB 2023 ini, sebanyak 99 SD negeri tak dapat siswa baru sehingga guru harus mencari murid dari rumah ke rumah,” ungkapnya.

Menurutnya, persoalan kekurangan siswa ini dapat berdampak serius kepada jam mengajar guru. Mereka terancam tak menerima tunjangan profesi lantaran kekurangan jam mengajar 24 jam/seminggu seperti yang disyaratkan oleh peraturan.

Dia merekomendasikan agar pemda hendaknya melakukan merger. Sekolah-sekolah tersebut digabungkan dan diperbaiki akses infrastruktur serta transportasinya guna memudahkan menuju sekolah.

Tak hanya kasus kekurangan siswa, kasus sekolah kelebihan calon peserta didik baru pun banyak terjadi. Hal ini dikarenakan terbatasnya daya tampung. Kondisi ini kerap terjadi di wilayah perkotaan. Jumlah sekolah negeri dan daya tampung sekolah umumnya lebih sedikit ketimbang jumlah calon siswa. Sehingga jumlah kursi dan ruang kelas tidak dapat menampung semua calon peserta didik. Alhasil calon siswa terlempar meskipun di satu zona.

Melihat persoalan-persoalan yang terus berulang ini, P2G mendesak Kemdikbud Ristek meninjau ulang dan mengevaluasi total kebijakan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2017 ini. Selain itu, pihak inspektorat daerah, dinas pendidikan, dan Ombudsman juga diminta agresif melakukan monitoring, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan PPDB dan indikasi kecurangannya. “Jika terjadi dugaan pungli yang dilakukan guru, kepala sekolah, atau masyarakat hendaknya diberikan sanksi tegas, bahkan dapat diselesaikan melalui jalur hukum pidana,” pungkas Satriwan.

Desakan evaluasi ini pun juga disampaikan sejumlah anggota Komisi X DPR RI. Diantaranya, Andi Muawiyah Ramly. Politikus PKB itu menyebut, masalah PPDB baik jalur zonasi, afirmasi, dan prestasi ini terus berulang dan tak pernah selesai meski berganti menteri. Karenanya, ia meminta agar kebijakan ini dievaluasi. “Kami minta ada solusi jelas tentang ini karena kami pun sangat resah melihat demo-demo yang terjadi,” ungkapnya.

Hal yang sama disampaikan Anggota Komisi X Dede Yusuf. Ia meminta Kemendikbudristek mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan PPDB agar kecurangan-kecurangan tak terulang kembali. Bila perlu, dia mengusulkan adanya konsep baru untuk PPDB tahun depan. “Tolong Kemendikbud membuat konsep baru untuk di 2024. Zonasi sebagai hak bagi warga sekitar, tetap ada. Tapi sisanya, bisa kembali ke sekolah lagi,” katanya.

Tes ini, kata dia, tentu tetap memberi afirmasi sekian persen untuk siswa tidak mampu, disabilitas, dan berprestasi. Sehingga nantinya, tak hanya mengandalkan rapor karena rapor bisa dibesar-besarkan nilainya.

Kemendikbudristek sendiri menegaskan, PPDB menjadi kewenangan pemda. Sebab, penyelenggaraan sekolah- sekolah negeri dilakukan oleh pemda. Sehingga pengawasan atas penyelenggaraan PPDB pun jadi tanggung jawab pemda melalui inspektorat daerah.

Kendati begitu, Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang menampik tegas pihaknya cuci tangan atas persoalan yang terjadi selama PPDB. Dia mengatakan, Kemendikbudristek tetap melakukan pengawasan. Dalam hal ini, mengawasi pemda dalam penyelenggaraan pendidikan. Selain itu, memberikan sosialisasi pada dinas pendidikan mengenai ketentuan-ketentuan PPDB yang harus sesuai dengan peraturan yang ada. “Jadi bukan langsung mengawasi sekolahnya,” tuturnya.

Karenanya, Chatarina mengungkapkan, penguatan pengawasan di daerah penting dilakukan. Agar, inspektorat daerah memahami betul semua peraturan pendidikan. Termasuk, soal PPDB.

Selain itu, dia juga berharap sekolah bisa turut bantu verifikasi KK. Dengan begitu, risiko kecurangan PPDB Jalur Zonasi berupa manipulasi KK bisa berkurang. “Ada satu KK itu 10 anak, bahkan 20 anak. Seharusnya, dalam verifikasi itu dilihat oleh sekolah. Mereka memahami apa itu Kartu Keluarga,” ungkapnya.

Terkait tes, ia memilih untuk tidak mengadakan tes di PPDB, khususnya jalur prestasi. Lagi-lagi, hal ini untuk menghindari adanya manipulasi hasil tes. Menurutnya, sebagian daerah sudah melakukan tes dan banyak tidak transparan hasilnya. “Kami prefer untuk jalur prestasi itu sertifikat yang perlombaannya itu setingkat kabupaten, kota, dari lembaga-lembaga yang dianggap kredibel mengeluarkan sertifikat prestasi tersebut,” jelasnya. (mia/wan/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/