25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Pilkada Serentak Mundur 2016

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Johan
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Johan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pilkada serentak yang rencananya diselenggarakan Desember 2015 berpeluang mendapat perpanjangan waktu hingga 2016. Kemungkinan itu sedang dipertimbangkan Kementerian Dalam Negeri, bahkan akan dibicarakan dengan DPR.

Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otoda) Kemendagri Djohermansyah Djohan, pembahasan dengan DPR itu memastikan bahwa kepala daerah hasil pilkada serentak di 204 daerah pada 2015 tetap bisa dilantik bersamaan.

“Kita pertimbangkan membahas bersama-sama DPR. Diadakan penyesuaian dari segi waktu. Kita ingin pilkada serentak bukan hanya coblosannya, tapi juga pelantikannya. Kalau pelantikannya enggak serentak, belang-belang lagi akhir masa jabatan kepala daerahnya,” katanya pada rapat koordinasi nasional KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota di Ancol kemarin (17/12).

Namun, kata pria yang akrab disapa Prof Djo itu, perubahan tersebut baru dimungkinkan jika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota disahkan DPR pada masa sidang yang akan datang. “Setelah itu, masuk ke RUU dengan perbaikan-perbaikan. Kita lakukan dengan pembahasan kilat, paling lama dua minggu selesai. Tidak boleh mengganggu jadwal KPU,” katanya.

KPU Sambut Baik

Saat ditanya hal-hal apa saja yang akan direvisi dari perppu setelah diundangkan, Prof Djo mengatakan, hal tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan KPU sebagai lembaga penyelenggara. “Sekarang yang tahu persoalan teknis itu KPU. Sudah menghitung-hitung waktu, tahapan, dan jadwal,” ujarnya.

Sementara itu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ida Budhiati menilai, rencana merevisi waktu pelaksanaan pilkada serentak pada 2015 menjadi 2016 sangat positif. Dia yakin pengelolaannya lebih baik. “Dalam pandangan kami, itu lebih manageable (dapat diatur). Tidak hanya bagi penyelenggara, tapi juga bagi peserta,” katanya.

Rencana merevisi jadwal pelaksanaan, kata Ida, juga akan membawa efek yang lebih baik bagi desain besar penyelenggaraan pilkada dan pemilu serentak pada 2021. “Kalau dilakukan pada 2016, pilkada serentak gelombang kedua dilaksanakan 2018. Kemudian, penataan pemilihan DPR, DPD, DPRD, pilpres dan pilkada, itu bisa 2021. Jadi, jauh lebih manageable. Dengan memperkuat sistem presidensial, akan lebih mudah tercapai,” katanya.

Selain terkait jadwal, Ida menilai terdapat beberapa hal yang perlu direvisi dari Perppu Nomor 1 Tahun 201. Di antaranya, soal penyelesaian sengketa pemilu di tata usaha negara (TUN). Menurut dia, mekanisme penyelesaian sengketa dalam perppu belum sesuai dengan prinsip keadilan pemilu. Yakni, memiliki kepastian prosedur dengan waktu yang singkat dan biaya murah.

“Penyelesaian sengketa TUN pemilu dan perselisihan hasil pemilu itu sebenarnya bisa direkonstruksi ulang dengan memperhatikan prinsip keadilan pemilu tersebut,” ujarnya.

Soal pilkda serentak pada 2016 sempat disuarakan Perkumpulan untuk Demokrasi Indonesia (Perludem)beberapa bulan lalu. Saat itu Perludem mendesak pelaksanaan pemilu serentak lokal dan nasional. Pemilu lokal untuk memilik anggota DPRD kabupaten/ kota, DPRD provinsi, bupati dan gubernur. Sedangkan pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD dan presiden.

Menurut Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, gagasan pemilu serentak harus diluruskan. Pemilu serentak tidak sekadar bertujuan biaya lebih murah dan efisien tapi juga adanya efektivitas pemerintahan.

“Pemilu serentak lokal dan nasional bisa menjadi siklus dua setengah tahunan. Serentak bisa bertahap, kalau pilkada dulu setidaknya satu provinsi serentak,” kata Titi di Jakarta, Minggu (31/8) lalu.

 

Dia membayangkan pilkada serentak itu memilih gubernur, bupati/ wali kota secara serentak. Pihaknya mendorong diundur 2016, sebab gagasan pemilu serentak 2015 dinilai hanya siklus lima tahunan.

Titi mencontohkan Pilkada Sumatra Barat 2015 untuk memilih gubernur dan kepala daerah di 15 kabupaten/ kota serta Pilkada Aceh memilih gubernur dan 21 kepala daerah kabupaten/ kota.

Terkait persoalan belum selesai dan sudah berakhirnya masa jabatan kepala daerah, Titi mengatakan harus diatur dalam undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Sebab, aturan yang sekarang hari pemilihan suara disamakan tapi akhir masa jabatan beda-beda.

“Pilkada 2015 kalau dipaksakan tidak punya makna hanya melanjutkan siklus lima tahunan.

Kita ingin ini ditata, sehingga ada konsekuensi pada masa jabatan. Tidak apa-apa memotong masa jabatan, soal teknis penyelenggaraan bisa diatur,” imbuhnya.

“Pemilu mahal dan boros itu beda, kalau mahal bisa membuat efektivitas pemerintah tidak masalah,” tambahnya. (gir/c6/fat/jpnn/rbb)

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Johan
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Johan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pilkada serentak yang rencananya diselenggarakan Desember 2015 berpeluang mendapat perpanjangan waktu hingga 2016. Kemungkinan itu sedang dipertimbangkan Kementerian Dalam Negeri, bahkan akan dibicarakan dengan DPR.

Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otoda) Kemendagri Djohermansyah Djohan, pembahasan dengan DPR itu memastikan bahwa kepala daerah hasil pilkada serentak di 204 daerah pada 2015 tetap bisa dilantik bersamaan.

“Kita pertimbangkan membahas bersama-sama DPR. Diadakan penyesuaian dari segi waktu. Kita ingin pilkada serentak bukan hanya coblosannya, tapi juga pelantikannya. Kalau pelantikannya enggak serentak, belang-belang lagi akhir masa jabatan kepala daerahnya,” katanya pada rapat koordinasi nasional KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota di Ancol kemarin (17/12).

Namun, kata pria yang akrab disapa Prof Djo itu, perubahan tersebut baru dimungkinkan jika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota disahkan DPR pada masa sidang yang akan datang. “Setelah itu, masuk ke RUU dengan perbaikan-perbaikan. Kita lakukan dengan pembahasan kilat, paling lama dua minggu selesai. Tidak boleh mengganggu jadwal KPU,” katanya.

KPU Sambut Baik

Saat ditanya hal-hal apa saja yang akan direvisi dari perppu setelah diundangkan, Prof Djo mengatakan, hal tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan KPU sebagai lembaga penyelenggara. “Sekarang yang tahu persoalan teknis itu KPU. Sudah menghitung-hitung waktu, tahapan, dan jadwal,” ujarnya.

Sementara itu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ida Budhiati menilai, rencana merevisi waktu pelaksanaan pilkada serentak pada 2015 menjadi 2016 sangat positif. Dia yakin pengelolaannya lebih baik. “Dalam pandangan kami, itu lebih manageable (dapat diatur). Tidak hanya bagi penyelenggara, tapi juga bagi peserta,” katanya.

Rencana merevisi jadwal pelaksanaan, kata Ida, juga akan membawa efek yang lebih baik bagi desain besar penyelenggaraan pilkada dan pemilu serentak pada 2021. “Kalau dilakukan pada 2016, pilkada serentak gelombang kedua dilaksanakan 2018. Kemudian, penataan pemilihan DPR, DPD, DPRD, pilpres dan pilkada, itu bisa 2021. Jadi, jauh lebih manageable. Dengan memperkuat sistem presidensial, akan lebih mudah tercapai,” katanya.

Selain terkait jadwal, Ida menilai terdapat beberapa hal yang perlu direvisi dari Perppu Nomor 1 Tahun 201. Di antaranya, soal penyelesaian sengketa pemilu di tata usaha negara (TUN). Menurut dia, mekanisme penyelesaian sengketa dalam perppu belum sesuai dengan prinsip keadilan pemilu. Yakni, memiliki kepastian prosedur dengan waktu yang singkat dan biaya murah.

“Penyelesaian sengketa TUN pemilu dan perselisihan hasil pemilu itu sebenarnya bisa direkonstruksi ulang dengan memperhatikan prinsip keadilan pemilu tersebut,” ujarnya.

Soal pilkda serentak pada 2016 sempat disuarakan Perkumpulan untuk Demokrasi Indonesia (Perludem)beberapa bulan lalu. Saat itu Perludem mendesak pelaksanaan pemilu serentak lokal dan nasional. Pemilu lokal untuk memilik anggota DPRD kabupaten/ kota, DPRD provinsi, bupati dan gubernur. Sedangkan pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD dan presiden.

Menurut Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, gagasan pemilu serentak harus diluruskan. Pemilu serentak tidak sekadar bertujuan biaya lebih murah dan efisien tapi juga adanya efektivitas pemerintahan.

“Pemilu serentak lokal dan nasional bisa menjadi siklus dua setengah tahunan. Serentak bisa bertahap, kalau pilkada dulu setidaknya satu provinsi serentak,” kata Titi di Jakarta, Minggu (31/8) lalu.

 

Dia membayangkan pilkada serentak itu memilih gubernur, bupati/ wali kota secara serentak. Pihaknya mendorong diundur 2016, sebab gagasan pemilu serentak 2015 dinilai hanya siklus lima tahunan.

Titi mencontohkan Pilkada Sumatra Barat 2015 untuk memilih gubernur dan kepala daerah di 15 kabupaten/ kota serta Pilkada Aceh memilih gubernur dan 21 kepala daerah kabupaten/ kota.

Terkait persoalan belum selesai dan sudah berakhirnya masa jabatan kepala daerah, Titi mengatakan harus diatur dalam undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Sebab, aturan yang sekarang hari pemilihan suara disamakan tapi akhir masa jabatan beda-beda.

“Pilkada 2015 kalau dipaksakan tidak punya makna hanya melanjutkan siklus lima tahunan.

Kita ingin ini ditata, sehingga ada konsekuensi pada masa jabatan. Tidak apa-apa memotong masa jabatan, soal teknis penyelenggaraan bisa diatur,” imbuhnya.

“Pemilu mahal dan boros itu beda, kalau mahal bisa membuat efektivitas pemerintah tidak masalah,” tambahnya. (gir/c6/fat/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/