Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf mengatakan, kebijakan kuota impor komoditas pangan di Indonesia bermasalah dari sisi hukum pidana dan hukum persaingan usaha.
Syarkawi menjelaskan, secara pidana instrumen kebijakan kuota impor berpotensi menyebabkan persekongkolan dalam menentukan pemegang kuota impor. Ditambah lagi, disparitas harga hampir semua komoditas pangan sangat besar antara harga dalam dan luar negeri.
“Hal ini memberi insentif bagi calon pemegang kuota impor untuk menyuap dalam jumlah sangat besar,” kata Syarkawi, Minggu (18/9).
Syarkawi mencontohkan kuota impor gula. Menurutnya, harga pokok gula di dalam negeri mencapai Rp9 ribu per kilogram (kg), sementara harga swasta domestik sekitar Rp4.500 per kg, dan harga yang lebih murah lagi di pasar internasional.
Disparitas harga domestik- harga pokok pembelian yang ditetapkan pemerintah- dengan harga internasional yang sangat lebar, ditambah birokrasi yang tidak transparan dalam penentuan pemegang kuota impor juga memicu praktik korupsi.
“Bahkan bisa terjadi persekongkolan untuk mengendalikan harga komoditas pangan di dalam negeri (kartel) dan persekongkolan penetapan harga (price fixing). Hal ini menyebabkan harga di konsumen mahal dan fluktuatif, sementara keuntungan besar bagi pelaku kartel,” tutur Syarkawi.
Syarkawi menyoroti, kebijakan kuota impor yang hanya diberikan kepada pelaku usaha dengan afiliasi tertentu. Akurasi data yang lemah terkait besaran produksi gula, kebutuhan pasokan, dan tingkat konsumi per kapita per tahun, membuat kuota impor menjadi tidak jelas.
“Pola pemberian kuota yang diduga sarat korupsi akan bermuara pada kartel pangan, kelangkaan barang, dan harga tinggi yang merampas pendapatan masyarakat berpendapatan tetap dan rendah,” kata Syarkawi. (jpg/jpnn/bbs/val)