JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melantik anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang berjumlah sembilan orang, Senin (19/1). Mereka ini para penasihatnya. Keraguan menyeruak karena sebagian besar anggota Wantimpres itu berasal dari partai politik pendukungnya, meski beberapa di antara mereka telah menyatakan bakal melepas jabatannya dari partai.
Keraguan antara lain dikemukakan pengamat politik LIPI Syamsuddin Haris. Dari sembilan anggota Wantimpres, enam di antaranya merupakan pejabat partai, yakni Jan Darmadi yang merupakan Ketua Majelis Tinggi NasDem, M Yusuf Kertanegara sebagai Sekjen PKPI, Rusdi Kirana selaku Wakil Ketua Umum PKB, Sidarto Danusubroto sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Subagyo Hadi Siswoyo selaku pendiri Hanura, dan Suharso Monoarfa sebagai Wakil Ketua Umum PPP kubu Romahurmuziy.
Mari menilik lebih jauh keahlian keenam petinggi partai politik yang duduk di Wantimpres itu. Jan Darmadi yang Ketua Majelis Tinggi NasDem merupakan pengusaha properti senior. Ia pendiri PT Jakarta Setiabudi Internasional –perusahaan yang membangun Plaza Setiabudi, Menara Cakrawala, Setiabudi One, Bali Collection, dan sejumlah hotel serta perumahan di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali.
Jan Darmadi pertama kali masuk dunia politik lewat NasDem. Pengusaha yang dikenal dekat dengan mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin itu sebelumnya dikenal sebagai pengusaha murni yang tak tertarik urusan politik.
Selanjutnya, M Yusuf Kertanegara yang Sekjen PKPI merupakan mantan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Perwira ABRI dan mantan Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan. Pada Pemilu 2014, Yusuf merupakan salah satu purnawirawan militer yang menyebut Prabowo Subianto dan anggota Tim Mawar Kopassus melanggar Sapta Marga TNI.
Sementara nama Rusdi Kirana sudah banyak diketahui orang. Wakil Ketua Umum PKB itu merupakan pengusaha penerbangan. Ia Presiden Direktur Lion Air. Namanya semakin santer disebut ketika Lion Air membeli 210 pesawat Boeing seharga Rp214 triliun pada tahun 2011, dan 234 pesawat Airbus A320 senilai sekitar Rp233 triliun pada tahun 2013. Tahun 2012, Rusdi Kirana berada di nomor 33 dari 40 orang terkaya di Indonesia.
Sesaat sebelum dilantik sebagai Wantimpres di Istana, Rusdi mengatakan belum tahu akan diberi tugas di bidang apa dalam lembaga itu. Ia diangkat sebagai Wantimpres asal usul dari PKB, dan akan melepaskan jabatannya di perusahaan serta partai setidaknya tiga bulan setelah dilantik hari ini.
Anggota Wantimpres lainnya yang berasal dari partai ialah Sidarto Danusubroto. Sidarto bukan orang baru di dunia politik. Ketua DPP PDIP itu mantan Ketua MPR, telah tiga periode berturut-turut duduk di DPR, dan paling penting: mantan ajudan Soekarno. Posisi terakhir itu yang membuat dia diseniorkan di partai karena memiliki hubungan langsung dengan presiden pertama RI dan dianggap memahami pemikiran Soekarno.
Pendiri Hanura Subagyo Hadi Siswoyo yang juga duduk di kursi Wantimpres merupakan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat penerus Wiranto –yang kini Ketua Umum Hanura. Ia merupakan mantan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) era Soeharto, mantan Komandan Jenderal Kopassus, dan mantan Panglima Kodam IV/Diponegoro. Subagyo juga Ketua Dewan Kehormatan Perwira yang memeriksa Prabowo Subianto –yang ironisnya merupakan teman dekat dia.
Berikutnya, Suharso Monoarfa dikenal sebagai pengusaha sekaligus politikus. Wakil Ketua Umum PPP kubu Romy itu sejak lama berkiprah di Partai Persatuan Pembangunan. Dia mantan Menteri Perumahan Rakyat pada periode Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan anggota DPR. Seperti Rusdi, Suharso pun menyatakan akan melepas jabatannya di partai usai dilantik menjadi Wantimpres.
Tiga anggota Wantimpres lainnya –Abdul Malik Fajar, Hasyim Muzadi, dan Sri Adiningsih– tak diambil dari partai politik. Abdul Malik Fajar merupakan perwakilan Muhammadiyah. Dia mantan Menteri Agama Kabinet Reformasi Pembangunan era BJ Habibie, dan Menteri Pendidikan Nasional Kabinet Gotong Royong era pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Bila Abdul Malik Fajar perwakilan Muhammadiyah, Hasyim Muzadi adalah perwakilan Nahdlatul Ulama. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar NU itu mendampingi Megawati dalam Pemilu 2004 selaku calon wakil presiden. Mereka kalah dari pasangan SBY-Jusuf Kalla pada putaran kedua.
Sementara Sri Adiningsih merupakan ekonom yang dikenal dekat dengan Megawati. Dosen Fakultas Ekonomi UGM itu sempat disebut-sebut menjadi salah satu calon Menteri Keuangan kabinet Jokowi. Namun ia dianggap belum memiliki rekam jejak cukup dalam mengelola keuangan pemerintah.
Sri merupakan salah satu penyusun konsep ekonomi Megawati saat Ketua Umum PDIP itu maju dalam Pemilu 2004 bersama Hasyim Muzadi. Mantan Tim Ahli Panitia Ad Hoc MPR itu juga terhitung aktif berkontribusi dalam Megawati Institute, lembaga yang didirikan Megawati sebagai ‘think tank’ yang terafiliasi dengan PDIP.
Lazim memang bila orang-orang yang duduk di Wantimpres adalah barisan yang menyokong kemenangan capres/cawapres meraih kemenangan. Setiap presiden melestarikan tradisi itu. Di bagian lain, lembaga ini juga bagian dari cara strategis presiden untuk merangkul para pemikir, ilmuwan, dan aktivis yang cenderung berseberangan dengan kebijakannya ke depan.
Sedikit ke belakang, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sembilan nama yang mengisi posisi Wantimpres sesuai dengan pembidangannya yaitu Emil Salim (Ketua/anggota Bidang Ekonomi dan Lingkungan Hidup), KH Ma’ruf Amin (anggota Bidang Hubungan Antaragama), Meutia Hatta (anggota Bidang Pendidikan dan Kebudayaan), Ginandjar Kartasasmita (anggota Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah), Widodo (anggota Bidang Pertahanan dan Keamanan), Hassan Wirajuda (anggota Bidang Hubungan Luar Negeri), Ryaas Rasyid (anggota Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi), Siti Fadilah Supari (anggota Bidang Kesejahteraan Rakyat), dan Albert Hasibuan (anggota Bidang Hukum dan HAM).
Maka kesembilan penasihat Jokowi saat ini, jika bukan merupakan para petinggi partai politik koalisi pendukungnya pada Pemilu 2014 –Koalisi Indonesia Hebat, merupakan orang-orang dekat Megawati –yang pernah berhubungan langsung dengan sang ketua umum partai tempat Jokowi bernaung.
Pertanyaannya kini: mampukah para pejabat partai dan ‘orang-orang’ Megawati itu memberikan nasihat independen bagi Jokowi, tanpa ditunggangi kepentingan politik? (bbs/val)