30 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

AstraZeneca Haram, Mengandung Enzim Babi tapi Boleh Digunakan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Vaksin Covid-19 AstraZeneca belakangan menjadi polemik, karena adanya laporan pembekuan darah pada sejumlah pasien yang sudah menggunakannya. Namun kini, ada polemik lain yang menyertai vaksin tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa, vaksin asal perusahaan farmasi Inggris itu haram karena mengandung enzim babi dalam pembuatannya.

HARAM: Seorang petugas medis bersiap untuk menyuntikkan vaksin AstraZeneca kepada pasien. Vaksin buatan perusahaan farmasi Inggris itu dinyatakan haram oleh MUI karena mengandung enzim babi dalam pembuatannya, namun tetap boleh digunakan dengan alasan keadaan darurat.

KENDATI begitu, MUI tetap memberikan lampu hijau untuk penggunaan AstraZeneca, mengingat vaksin ini dinilai merupakan salah satu upaya mengendalikan pandemi Covid-19 di Indonesia. “Intinya vaksin AstraZeneca mengandung unsur vaksin dari babi, sehingga hukumnya haram. Namun demikian, boleh digunakan karena dalam kondisi darurat untuk mencegah bahaya pandemi Covid-19,” kata Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin Abdul Fatah, Jumat (19/3).

Hasanuddin sekaligus menegaskan, meski pihaknya telah memberikan izin, tapi izin tersebut akan dicabut ketika Indonesia mulai kedatangan vaksin merek lain yang kemudian hasil kajiannya halal dan suci. Ia mencontohkan, misalnya vaksin dari perusahaan Pfizer atau Novavax halal, maka izin halal AstraZeneca akan dicabut, sampai ada kajian baru atau pembaharuan lagi komponen yang ada dalam AstraZeneca. “Jelas yan

hukum bolehnya (AstraZeneca) sudah hilang kalau sudah ada vaksin halal yang lain,” terangnya.

Hasanuddin mengaku, izin penggunaan AstraZeneca itu telah melalui banyak pertimbangan. Ketersediaan atau stok vaksin yang terbatas di Indonesia, dan juga angka kesakitan dan kematian Covid-19 yang masih cukup tinggi menjadi alasan MUI membolehkan penggunaan vaksin AstraZeneca tersebut.

Ia juga menjelaskan, kebijakan serupa pernah MUI lakukan mana kala memutuskan izin penggunaan halal vaksin meningitis untuk jemaah haji dan umroh pada 2010 lalu, serta vaksin campak dan rubella (MR) pada 2018 silam. “Iya sudah pernah ada, dulu vaksin meningitis dan MR. Namun saat vaksin ada yang halal, yang lama sudah tidak dipakai lagi begitu,” pungkasnya.

BPOM: Boleh Digunakan

Sebelumnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) juga telah menetapkan keputusan terbaru terkait penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca. BPOM akhirnya menegaskan bahwa vaksin sudah aman untuk mulai digunakan.

BPOM meyakini, kasus pembekuan darah atau tromboemboli merupakan kejadian medis yang sering dijumpai. Penyakit itu menurut BPOM merupakan penyakit kardiovaskuler nomor 3 terbanyak berdasarkan data global. Dan tak disebabkan karena vaksin. “Namun tidak ditemukan bukti peningkatan kasus ini setelah penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca,” tegas BPOM dalam pernyataan tertulis, Jumat (19/3).

Badan POM RI telah melaksanakan pengkajian lebih lanjut bersama dengan tim pakar Kombas Penilai Obat, KOMNAS PP KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) dan ITAGI. Kesimpulannya, kejadian pembekuan darah telah dibahas pada forum pertemuan khusus baik di WHO maupun badan otoritas regulatori obat di Eropa.

European Medicines Agency (EMA) pun sudah memiliki sistem pemantauan risiko pasca pemasaran yang komprehensif dan melihat kemungkinan terjadinya KIPI langka, berupa gangguan pembekuan darah setelah penggunaan 20 juta vaksin Covid-19 AstraZeneca di Eropa. Antara lain kejadian koagulasi intravaskular diseminata (Disseminated Intravascular Coagulation /DIC) dan trombosis sinus venosus sentral (Central Venous Sinus Thrombosis /CVST).

“EMA akan terus melakukan kajian tentang kemungkinan kausalitas kasus ini dengan penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca. EMA juga menekankan bahwa tidak ada permasalahan terkait kualitas vaksin Covid-19 AstraZeneca secara menyeluruh ataupun dengan batch tertentu,” kata pernyataan BPOM.

Menurut BPOM, vaksinasi Covid-19 tidak akan menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan hal lain. Kesakitan dan kematian karena penyebab lainnya akan terus terjadi, walaupun telah divaksinasi, namun kejadian tersebut tidak berhubungan dengan vaksin.

Hingga saat ini, menurut BPOM, manfaat vaksin Covid-19 AstraZeneca masih lebih besar dibandingkan risikonya. Beberapa negara Eropa yang semula menangguhkan vaksinasi menggunakan vaksin Covid-19 AstraZeneca, telah memutuskan untuk melanjutkan kembali program vaksinasi dengan vaksin tersebut.

Saat ini, angka kejadian Covid-19 global termasuk di Indonesia masih tinggi. Sehingga walaupun pada pemberian vaksinasi mungkin dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), namun risiko kematian akibat Covid-19 jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, masyarakat tetap harus mendapatkan vaksinasi Covid-19 sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Dan BPOM akhirnya menegaskan bahwa vaksin sudah aman untuk mulai digunakan.

“Manfaat pemberian vaksin COVID-19 AstraZeneca lebih besar dibandingkan risiko yang ditimbulkan, sehingga vaksin Covid-19 AstraZeneca dapat mulai digunakan,” tegas BPOM.

Dalam informasi produk vaksin Covid-19 AstraZeneca telah dicantumkan peringatan kehati-hatian penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca pada orang dengan trombositopenia dan gangguan pembekuan darah. Vaksin Covid-19 AstraZeneca yang diterima di Indonesia melalui COVAX facility diproduksi di Korea Selatan dengan jaminan mutu sesuai standar persyaratan global untuk Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) BPPM bersama Kementerian Kesehatan dan KOMNAS PP KIPI terus memantau keamanan vaksin yang digunakan di Indonesia dan menindaklanjuti isu setiap kejadian ikutan pasca imunisasi.

Sementara, Pengurus Pusat Muhammadiyah belum mengambil sikap resmi tentang vaksin AstraZeneca yang akan digunakan pemerintah untuk penanganan Covid-19. “Prinsip kami sepanjang MUI dan BPOM tidak ada persoalan, Muhammadiyah akan menyesuaikan,” ujar Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mohammad Masudi, Jumat (19/3).

Marsudi menuturkan, Muhammadiyah sejauh ini memang belum membahas resmi terkait vaksin AstraZeneca itu. Dengan kondisi vaksin yang sebenarnya haram secara keagamaan namun kepentingannya untuk kondisi darurat kemanusiaan, Muhammadiyah tidak akan mempersoalkannya. Terlebih jika MUI dan BPOM sudah merestui.

Marsudi menambahkan, pandangan Muhammadiyah atas vaksin AstraZeneca ini prosedurnya juga seperti halnya ketika organisasi itu menyikapi vaksin Sinovac yang kini digunakan pemerintah. Sebagai organisasi Muhammadiyah akan mendorong MUI melakukan kajian dan BPOM memberi pernyataan resmi atas kajian MUI itu. “Kami juga tidak punya alat untuk mengkaji vaksin itu, kami akan hormati keputusan MUI dan BPOM,” kata Marsudi.

Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Arif Jamali Mu’is juga mengaku belum mendapat instruksi resmi dari PP Muhammadiyah terkait vaksin AstraZeneca ini. Kebijakan soal fatwa itu kami sampai saat ini belum mendapat masukan dan input dari Majelis Tarjih PP Muhammadiyah,” ujar Arif.

Hanya saja, Arif mengatakan, jika MUI dan BPOM sudah mengijinkan meski vaksin itu diketahui haram, maka Muhammadiyah akan menghormati keputusan itu. Arif pun memperkirakan umat Islam yang selama ini berpedoman pada fatwa yang dikeluarkan MUI juga tidak akan mempersoalkan karena kondisinya darurat. “Kami kira jika MUI menyatakan haram tapi mengijinkan vaksin itu untuk digunakan, itu keputusan yang tepat,” ujar Arif.

Ketua Muhammadiyah Covid Command Center (MCCC) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta Purwadi mengatakan sebagai elemen yang bergerak langsung di lapangan, pihaknya mendorong dalam menyikapi vaksin AstraZeneca itu ada sikap resmi masing-masing lembaga. (jpc/tmp/cnn)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Vaksin Covid-19 AstraZeneca belakangan menjadi polemik, karena adanya laporan pembekuan darah pada sejumlah pasien yang sudah menggunakannya. Namun kini, ada polemik lain yang menyertai vaksin tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa, vaksin asal perusahaan farmasi Inggris itu haram karena mengandung enzim babi dalam pembuatannya.

HARAM: Seorang petugas medis bersiap untuk menyuntikkan vaksin AstraZeneca kepada pasien. Vaksin buatan perusahaan farmasi Inggris itu dinyatakan haram oleh MUI karena mengandung enzim babi dalam pembuatannya, namun tetap boleh digunakan dengan alasan keadaan darurat.

KENDATI begitu, MUI tetap memberikan lampu hijau untuk penggunaan AstraZeneca, mengingat vaksin ini dinilai merupakan salah satu upaya mengendalikan pandemi Covid-19 di Indonesia. “Intinya vaksin AstraZeneca mengandung unsur vaksin dari babi, sehingga hukumnya haram. Namun demikian, boleh digunakan karena dalam kondisi darurat untuk mencegah bahaya pandemi Covid-19,” kata Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin Abdul Fatah, Jumat (19/3).

Hasanuddin sekaligus menegaskan, meski pihaknya telah memberikan izin, tapi izin tersebut akan dicabut ketika Indonesia mulai kedatangan vaksin merek lain yang kemudian hasil kajiannya halal dan suci. Ia mencontohkan, misalnya vaksin dari perusahaan Pfizer atau Novavax halal, maka izin halal AstraZeneca akan dicabut, sampai ada kajian baru atau pembaharuan lagi komponen yang ada dalam AstraZeneca. “Jelas yan

hukum bolehnya (AstraZeneca) sudah hilang kalau sudah ada vaksin halal yang lain,” terangnya.

Hasanuddin mengaku, izin penggunaan AstraZeneca itu telah melalui banyak pertimbangan. Ketersediaan atau stok vaksin yang terbatas di Indonesia, dan juga angka kesakitan dan kematian Covid-19 yang masih cukup tinggi menjadi alasan MUI membolehkan penggunaan vaksin AstraZeneca tersebut.

Ia juga menjelaskan, kebijakan serupa pernah MUI lakukan mana kala memutuskan izin penggunaan halal vaksin meningitis untuk jemaah haji dan umroh pada 2010 lalu, serta vaksin campak dan rubella (MR) pada 2018 silam. “Iya sudah pernah ada, dulu vaksin meningitis dan MR. Namun saat vaksin ada yang halal, yang lama sudah tidak dipakai lagi begitu,” pungkasnya.

BPOM: Boleh Digunakan

Sebelumnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) juga telah menetapkan keputusan terbaru terkait penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca. BPOM akhirnya menegaskan bahwa vaksin sudah aman untuk mulai digunakan.

BPOM meyakini, kasus pembekuan darah atau tromboemboli merupakan kejadian medis yang sering dijumpai. Penyakit itu menurut BPOM merupakan penyakit kardiovaskuler nomor 3 terbanyak berdasarkan data global. Dan tak disebabkan karena vaksin. “Namun tidak ditemukan bukti peningkatan kasus ini setelah penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca,” tegas BPOM dalam pernyataan tertulis, Jumat (19/3).

Badan POM RI telah melaksanakan pengkajian lebih lanjut bersama dengan tim pakar Kombas Penilai Obat, KOMNAS PP KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) dan ITAGI. Kesimpulannya, kejadian pembekuan darah telah dibahas pada forum pertemuan khusus baik di WHO maupun badan otoritas regulatori obat di Eropa.

European Medicines Agency (EMA) pun sudah memiliki sistem pemantauan risiko pasca pemasaran yang komprehensif dan melihat kemungkinan terjadinya KIPI langka, berupa gangguan pembekuan darah setelah penggunaan 20 juta vaksin Covid-19 AstraZeneca di Eropa. Antara lain kejadian koagulasi intravaskular diseminata (Disseminated Intravascular Coagulation /DIC) dan trombosis sinus venosus sentral (Central Venous Sinus Thrombosis /CVST).

“EMA akan terus melakukan kajian tentang kemungkinan kausalitas kasus ini dengan penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca. EMA juga menekankan bahwa tidak ada permasalahan terkait kualitas vaksin Covid-19 AstraZeneca secara menyeluruh ataupun dengan batch tertentu,” kata pernyataan BPOM.

Menurut BPOM, vaksinasi Covid-19 tidak akan menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan hal lain. Kesakitan dan kematian karena penyebab lainnya akan terus terjadi, walaupun telah divaksinasi, namun kejadian tersebut tidak berhubungan dengan vaksin.

Hingga saat ini, menurut BPOM, manfaat vaksin Covid-19 AstraZeneca masih lebih besar dibandingkan risikonya. Beberapa negara Eropa yang semula menangguhkan vaksinasi menggunakan vaksin Covid-19 AstraZeneca, telah memutuskan untuk melanjutkan kembali program vaksinasi dengan vaksin tersebut.

Saat ini, angka kejadian Covid-19 global termasuk di Indonesia masih tinggi. Sehingga walaupun pada pemberian vaksinasi mungkin dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), namun risiko kematian akibat Covid-19 jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, masyarakat tetap harus mendapatkan vaksinasi Covid-19 sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Dan BPOM akhirnya menegaskan bahwa vaksin sudah aman untuk mulai digunakan.

“Manfaat pemberian vaksin COVID-19 AstraZeneca lebih besar dibandingkan risiko yang ditimbulkan, sehingga vaksin Covid-19 AstraZeneca dapat mulai digunakan,” tegas BPOM.

Dalam informasi produk vaksin Covid-19 AstraZeneca telah dicantumkan peringatan kehati-hatian penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca pada orang dengan trombositopenia dan gangguan pembekuan darah. Vaksin Covid-19 AstraZeneca yang diterima di Indonesia melalui COVAX facility diproduksi di Korea Selatan dengan jaminan mutu sesuai standar persyaratan global untuk Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) BPPM bersama Kementerian Kesehatan dan KOMNAS PP KIPI terus memantau keamanan vaksin yang digunakan di Indonesia dan menindaklanjuti isu setiap kejadian ikutan pasca imunisasi.

Sementara, Pengurus Pusat Muhammadiyah belum mengambil sikap resmi tentang vaksin AstraZeneca yang akan digunakan pemerintah untuk penanganan Covid-19. “Prinsip kami sepanjang MUI dan BPOM tidak ada persoalan, Muhammadiyah akan menyesuaikan,” ujar Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mohammad Masudi, Jumat (19/3).

Marsudi menuturkan, Muhammadiyah sejauh ini memang belum membahas resmi terkait vaksin AstraZeneca itu. Dengan kondisi vaksin yang sebenarnya haram secara keagamaan namun kepentingannya untuk kondisi darurat kemanusiaan, Muhammadiyah tidak akan mempersoalkannya. Terlebih jika MUI dan BPOM sudah merestui.

Marsudi menambahkan, pandangan Muhammadiyah atas vaksin AstraZeneca ini prosedurnya juga seperti halnya ketika organisasi itu menyikapi vaksin Sinovac yang kini digunakan pemerintah. Sebagai organisasi Muhammadiyah akan mendorong MUI melakukan kajian dan BPOM memberi pernyataan resmi atas kajian MUI itu. “Kami juga tidak punya alat untuk mengkaji vaksin itu, kami akan hormati keputusan MUI dan BPOM,” kata Marsudi.

Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Arif Jamali Mu’is juga mengaku belum mendapat instruksi resmi dari PP Muhammadiyah terkait vaksin AstraZeneca ini. Kebijakan soal fatwa itu kami sampai saat ini belum mendapat masukan dan input dari Majelis Tarjih PP Muhammadiyah,” ujar Arif.

Hanya saja, Arif mengatakan, jika MUI dan BPOM sudah mengijinkan meski vaksin itu diketahui haram, maka Muhammadiyah akan menghormati keputusan itu. Arif pun memperkirakan umat Islam yang selama ini berpedoman pada fatwa yang dikeluarkan MUI juga tidak akan mempersoalkan karena kondisinya darurat. “Kami kira jika MUI menyatakan haram tapi mengijinkan vaksin itu untuk digunakan, itu keputusan yang tepat,” ujar Arif.

Ketua Muhammadiyah Covid Command Center (MCCC) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta Purwadi mengatakan sebagai elemen yang bergerak langsung di lapangan, pihaknya mendorong dalam menyikapi vaksin AstraZeneca itu ada sikap resmi masing-masing lembaga. (jpc/tmp/cnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/