26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Mantan Petinggi TNI Saling Serang

Jend (purn) Wiranto, mantan Panglima ABRI (TNI saat ini) menggelar konfrensi pers soal dokumen Dewan Kehormatan Panglima (DKP) yang merekomendasikan pemecatan Prabowo.
Jend (purn) Wiranto, mantan Panglima ABRI (TNI saat ini) menggelar konfrensi pers soal dokumen Dewan Kehormatan Panglima (DKP) yang bocor terkait Prabowo.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Perang bintang yang menyertai kompetisi dua pasangan capres-cawapres makin hangat. Kali ini mantan Panglima TNI (dulu ABRI) Wiranto ikut bicara soal polemik bocornya putusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) terkait Prabowo Subianto.

Kemarin (19/6) purnawirawan jenderal bintang empat itu mengadakan konferensi pers di Posko Forum Komunikasi Pembela Kebenaran, Jl H.O.S. Cokroaminoto, Jakarta. Wiranto mengambil posisi membela sejumlah rekannya sesama jenderal yang membeberkan dokumen tersebut. Menurut dia, dokumen itu sejatinya sudah menjadi milik publik dan tidak rahasia lagi.

“Jangan terjebak bocor-membocorkan, tapi bagaimana melakukan langkah-langkah membuktikan otentifikasi surat tersebut,” katanya. Dia menilai, hal itu jauh lebih penting karena menyangkut kredibilitas salah seorang calon dalam agenda kepemimpinan nasional.

Wiranto menyinggung pernyataan Prabowo saat debat capres pertama beberapa waktu lalu. Ketika itu kandidat capres yang diusung Partai Gerindra bersama koalisinya tersebut ditanya tentang persoalan HAM yang melilitnya. Dalam jawabannya, Prabowo menegaskan bahwa semua yang dilakukan ketika 1998 adalah bagian dari tugasnya sebagai prajurit. Selebihnya, dia meminta untuk menanyakan langsung kepada atasannya.

Terkait hal tersebut, Wiranto memaparkan bahwa kasus penculikan aktivis oleh oknum Kopassus dilakukan pada medio Desember 1997-Maret 1998. “Pada saat itu, panglima ABRI masih Faisal Tanjung. Saat 7 Maret 1998, saat kasus harus diusut, saya mengganti sebagai panglima,” bebernya.

Pada saat itulah, Wiranto mengaku berkoordinasi dengan Faisal Tanjung. Intinya, menanyakan apakah pernah memerintahkan untuk menculik aktivis. “Tak ada perintah ekstrem pada waktu itu untuk melakukan penculikan,” ungkapnya.

Lalu, imbuh Wiranto, ketika dirinya berdialog dengan Prabowo, jawaban yang bersangkutan juga membuatnya yakin bahwa penculikan aktivis merupakan inisiatif pribadi. “Hasil analisis pribadi (Prabowo, Red) dengan keadaan saat itu. Jadi, bukan atas perintah atasan beliau,” tegasnya.

Di tempat terpisah, salah seorang anggota Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Letjen TNI (pur) Suryo Prabowo menilai, berbagai pernyataan yang disampaikan Wiranto adalah untuk mencari perhatian Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dengan aksi buka-bukaan itu, kata Suryo, Wiranto bisa dilihat Megawati sebagai sosok yang ikut berperan memenangkan pasangan Jokowi-JK. “Ini semacam investasi politik Wiranto ke Megawati. Semua jenderal di sekitar Mega sudah tampil. Nah, sekarang giliran Wiranto. Sehingga lengkap sudah,” sindir Suryo.

Mantan kepala staf umum (Kasum) TNI itu lalu menyebut beberapa nama purnawirawan jenderal yang kini berkumpul menunjukkan kesetiaan kepada Mega. Mereka adalah Luhut Panjaitan, Agum Gumelar, Hendropriyono, Fahrul Rozi, Samsul Jalal, dan Wiranto.

Selanjutnya, dia menyatakan penilaiannya bahwa pembentukan DKP saat 1998 justru cacat hukum. Sebab, itu bertentangan dengan SK Panglima ABRI No 838/III/1995 tertanggal 27 November 1995 tentang Petunjuk Administrasi Dewan Kehormatan Militer. Di ketentuan nomor 7 (a-3) dan 7 (c-2) disebutkan, pembentukan DKP untuk memeriksa perwira yang bersangkutan hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan hukum yang dijatuhkan peradilan militer.

“Pertanyaannya, kapan dan di mana Prabowo diadili melalui peradilan militer?” ujarnya. Menurut dia, persoalan terkait mantan Danjen Kopassus tersebut tidak diajukan ke Mahkamah Militer justru untuk menutupi keterlibatan petinggi ABRI yang menjadi atasan Prabowo saat itu.

“Jangan percaya Wiranto karena dia oportunis dan kutu loncat. Habis numpang hidup di zaman Soeharto, dia loncat ke Habibie. Ketika Gus Dur jadi Presiden, dia dipecat karena Gus Dur paham Wiranto adalah pelanggar HAM sebenarnya,” tuding Suryo balik. (dyn/c6/fat)

Jend (purn) Wiranto, mantan Panglima ABRI (TNI saat ini) menggelar konfrensi pers soal dokumen Dewan Kehormatan Panglima (DKP) yang merekomendasikan pemecatan Prabowo.
Jend (purn) Wiranto, mantan Panglima ABRI (TNI saat ini) menggelar konfrensi pers soal dokumen Dewan Kehormatan Panglima (DKP) yang bocor terkait Prabowo.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Perang bintang yang menyertai kompetisi dua pasangan capres-cawapres makin hangat. Kali ini mantan Panglima TNI (dulu ABRI) Wiranto ikut bicara soal polemik bocornya putusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) terkait Prabowo Subianto.

Kemarin (19/6) purnawirawan jenderal bintang empat itu mengadakan konferensi pers di Posko Forum Komunikasi Pembela Kebenaran, Jl H.O.S. Cokroaminoto, Jakarta. Wiranto mengambil posisi membela sejumlah rekannya sesama jenderal yang membeberkan dokumen tersebut. Menurut dia, dokumen itu sejatinya sudah menjadi milik publik dan tidak rahasia lagi.

“Jangan terjebak bocor-membocorkan, tapi bagaimana melakukan langkah-langkah membuktikan otentifikasi surat tersebut,” katanya. Dia menilai, hal itu jauh lebih penting karena menyangkut kredibilitas salah seorang calon dalam agenda kepemimpinan nasional.

Wiranto menyinggung pernyataan Prabowo saat debat capres pertama beberapa waktu lalu. Ketika itu kandidat capres yang diusung Partai Gerindra bersama koalisinya tersebut ditanya tentang persoalan HAM yang melilitnya. Dalam jawabannya, Prabowo menegaskan bahwa semua yang dilakukan ketika 1998 adalah bagian dari tugasnya sebagai prajurit. Selebihnya, dia meminta untuk menanyakan langsung kepada atasannya.

Terkait hal tersebut, Wiranto memaparkan bahwa kasus penculikan aktivis oleh oknum Kopassus dilakukan pada medio Desember 1997-Maret 1998. “Pada saat itu, panglima ABRI masih Faisal Tanjung. Saat 7 Maret 1998, saat kasus harus diusut, saya mengganti sebagai panglima,” bebernya.

Pada saat itulah, Wiranto mengaku berkoordinasi dengan Faisal Tanjung. Intinya, menanyakan apakah pernah memerintahkan untuk menculik aktivis. “Tak ada perintah ekstrem pada waktu itu untuk melakukan penculikan,” ungkapnya.

Lalu, imbuh Wiranto, ketika dirinya berdialog dengan Prabowo, jawaban yang bersangkutan juga membuatnya yakin bahwa penculikan aktivis merupakan inisiatif pribadi. “Hasil analisis pribadi (Prabowo, Red) dengan keadaan saat itu. Jadi, bukan atas perintah atasan beliau,” tegasnya.

Di tempat terpisah, salah seorang anggota Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Letjen TNI (pur) Suryo Prabowo menilai, berbagai pernyataan yang disampaikan Wiranto adalah untuk mencari perhatian Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dengan aksi buka-bukaan itu, kata Suryo, Wiranto bisa dilihat Megawati sebagai sosok yang ikut berperan memenangkan pasangan Jokowi-JK. “Ini semacam investasi politik Wiranto ke Megawati. Semua jenderal di sekitar Mega sudah tampil. Nah, sekarang giliran Wiranto. Sehingga lengkap sudah,” sindir Suryo.

Mantan kepala staf umum (Kasum) TNI itu lalu menyebut beberapa nama purnawirawan jenderal yang kini berkumpul menunjukkan kesetiaan kepada Mega. Mereka adalah Luhut Panjaitan, Agum Gumelar, Hendropriyono, Fahrul Rozi, Samsul Jalal, dan Wiranto.

Selanjutnya, dia menyatakan penilaiannya bahwa pembentukan DKP saat 1998 justru cacat hukum. Sebab, itu bertentangan dengan SK Panglima ABRI No 838/III/1995 tertanggal 27 November 1995 tentang Petunjuk Administrasi Dewan Kehormatan Militer. Di ketentuan nomor 7 (a-3) dan 7 (c-2) disebutkan, pembentukan DKP untuk memeriksa perwira yang bersangkutan hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan hukum yang dijatuhkan peradilan militer.

“Pertanyaannya, kapan dan di mana Prabowo diadili melalui peradilan militer?” ujarnya. Menurut dia, persoalan terkait mantan Danjen Kopassus tersebut tidak diajukan ke Mahkamah Militer justru untuk menutupi keterlibatan petinggi ABRI yang menjadi atasan Prabowo saat itu.

“Jangan percaya Wiranto karena dia oportunis dan kutu loncat. Habis numpang hidup di zaman Soeharto, dia loncat ke Habibie. Ketika Gus Dur jadi Presiden, dia dipecat karena Gus Dur paham Wiranto adalah pelanggar HAM sebenarnya,” tuding Suryo balik. (dyn/c6/fat)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/