28.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Hakim Mulai ‘Tobat’

SUMUTPOS.CO – Indonesia Police Watch (IPW) melihat saat ini para hakim sudah mulai memberikan hukuman yang berat kepada pelaku tindak pidana korupsi alias koruptor. Menurut Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, hal ini memperlihatkan para hakim mulai ‘tobat’ alias sudah masuk dalam sebuah gerakan untuk menghukum seberat-beratnya terpidana korupsi.

“Setelah Angelia Sondakh yang hukumannya ditambah Mahkamah Agung (MA), kini Djoko yang ditambah Pengadilan Tinggi DKI,” kata Neta, Kamis (19/12).

“Bagaimana pun upaya yang dilakukan para hakim ini patut diapresiasi publik agar ada efek jera dari para penyelenggara negara untuk tidak melakukan korupsi,” lanjutnya.

Namun, Neta menambahkan KPK harus lebih agresif lagi dalam memburu koruptor. “Termasuk para jenderal lain yang diduga menerima aliran dana simulator SIM,” tegasnya.

Selain hukuman penjara dan membayar uang pengganti, hak politik Jenderal Djoko juga dicabut. Untuk yang terakhir ini, pengamat politik Boni Hargens menilai pencabutan hak politik terhadap seorang koruptor merupakan sesuatu yang tepat. Pasalnya, menurut Boni hal itu bisa memberikan syok terapi sekaligus yang bisa membuat efek jera bagi koruptor.

“Saya kira itu penting sebagai syok terapi, begitu dia kena,” katanya seusai diskusi bertema Kinerja Demokrasi dan Kepemimpinan Politik, Evaluasi 2013 dan Proyeksi 2014 di kantor DPP Perhimpunan Gerakan Keadilan (PGK), Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (19/12).

Namun, sambung dia, harus ada aturan hukum. Misalnya, ketika koruptor itu di penjara lebih dari satu tahun baru dicabut hak politiknya. Dia menambahkan, pencabutan hak politik itu merupakan sesuatu yang lebih baik ketimbang hukuman mati.

“Itu usulan yang baik, ketimbang hukuman mati. Saya lebih setuju ada hukuman sanksi sosial politik, seperti dicabut hak politik. Disita atau dijadikan pekerja kotor seperti pembersih jalan dan pembersih toilet umum. Dan dia bekerja untuk negara, digaji tidak, tapi dikasih makan iya,” papar Boni.

Namun, Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, Mudzakir mengingatkan agar Hakim Tindak Pidana Korupsi berhati-hati memberikan vonis tinggi bagi pelaku korupsi.

Sebab, ia mengatakan, jangan sampai, hukuman tinggi itu hanya bersifat populer lantas menanggalkan prinsip-prinsip pemidanaan yang adil.

Hal itu dikatakan dia menyikapi putusan banding Peradilan Tinggi (PT) DKI Jakarta terhadap terdakwa korupsi simulator SIM Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Susilo. Menurut dia, pemberian tambahan delapan tahun penjara terhadap perwira tinggi Polri itu punya apresiasi sendiri tapi patut untuk dikaji. “Kita harus melihat dulu apa pertimbangan Majelis Hakim,” katanya saat dihubungi, Kamis (19/12).

Pemidanaan, kata dia, harus bebas dari unsur subjektif. Mudzakir meminta agar para hakim dalam perkara ini jujur dan membeberkan unsur pemberat vonis. “Sebab, selain didenda Rp32 miliar, berbagai kekayaan Djoko kan disita negara, jadi sepertinya hukuman tersebut sudah cukup berat, tapi masih ada MA, jika MA melihat dendanya harus ditambah, bisa saja,” tuntasnya. (bbs/jpnn)

SUMUTPOS.CO – Indonesia Police Watch (IPW) melihat saat ini para hakim sudah mulai memberikan hukuman yang berat kepada pelaku tindak pidana korupsi alias koruptor. Menurut Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, hal ini memperlihatkan para hakim mulai ‘tobat’ alias sudah masuk dalam sebuah gerakan untuk menghukum seberat-beratnya terpidana korupsi.

“Setelah Angelia Sondakh yang hukumannya ditambah Mahkamah Agung (MA), kini Djoko yang ditambah Pengadilan Tinggi DKI,” kata Neta, Kamis (19/12).

“Bagaimana pun upaya yang dilakukan para hakim ini patut diapresiasi publik agar ada efek jera dari para penyelenggara negara untuk tidak melakukan korupsi,” lanjutnya.

Namun, Neta menambahkan KPK harus lebih agresif lagi dalam memburu koruptor. “Termasuk para jenderal lain yang diduga menerima aliran dana simulator SIM,” tegasnya.

Selain hukuman penjara dan membayar uang pengganti, hak politik Jenderal Djoko juga dicabut. Untuk yang terakhir ini, pengamat politik Boni Hargens menilai pencabutan hak politik terhadap seorang koruptor merupakan sesuatu yang tepat. Pasalnya, menurut Boni hal itu bisa memberikan syok terapi sekaligus yang bisa membuat efek jera bagi koruptor.

“Saya kira itu penting sebagai syok terapi, begitu dia kena,” katanya seusai diskusi bertema Kinerja Demokrasi dan Kepemimpinan Politik, Evaluasi 2013 dan Proyeksi 2014 di kantor DPP Perhimpunan Gerakan Keadilan (PGK), Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (19/12).

Namun, sambung dia, harus ada aturan hukum. Misalnya, ketika koruptor itu di penjara lebih dari satu tahun baru dicabut hak politiknya. Dia menambahkan, pencabutan hak politik itu merupakan sesuatu yang lebih baik ketimbang hukuman mati.

“Itu usulan yang baik, ketimbang hukuman mati. Saya lebih setuju ada hukuman sanksi sosial politik, seperti dicabut hak politik. Disita atau dijadikan pekerja kotor seperti pembersih jalan dan pembersih toilet umum. Dan dia bekerja untuk negara, digaji tidak, tapi dikasih makan iya,” papar Boni.

Namun, Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, Mudzakir mengingatkan agar Hakim Tindak Pidana Korupsi berhati-hati memberikan vonis tinggi bagi pelaku korupsi.

Sebab, ia mengatakan, jangan sampai, hukuman tinggi itu hanya bersifat populer lantas menanggalkan prinsip-prinsip pemidanaan yang adil.

Hal itu dikatakan dia menyikapi putusan banding Peradilan Tinggi (PT) DKI Jakarta terhadap terdakwa korupsi simulator SIM Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Susilo. Menurut dia, pemberian tambahan delapan tahun penjara terhadap perwira tinggi Polri itu punya apresiasi sendiri tapi patut untuk dikaji. “Kita harus melihat dulu apa pertimbangan Majelis Hakim,” katanya saat dihubungi, Kamis (19/12).

Pemidanaan, kata dia, harus bebas dari unsur subjektif. Mudzakir meminta agar para hakim dalam perkara ini jujur dan membeberkan unsur pemberat vonis. “Sebab, selain didenda Rp32 miliar, berbagai kekayaan Djoko kan disita negara, jadi sepertinya hukuman tersebut sudah cukup berat, tapi masih ada MA, jika MA melihat dendanya harus ditambah, bisa saja,” tuntasnya. (bbs/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/